Aku berdiri diantara nyanyian orang
bahagia ketika mereka sedang jatuh cinta. Ketika itu, keadaan berbalik
denganku. Aku sedang merasakan patah hati yang amatlah dalam. Cintaku,
membawaku kepada sebuah perpisahan yang sungguh sangat membuatku menyesal.
Kini, hanya sebuah penyesalan yang hingga kini masih sangat terasa,
penyesalanku untuk memintanya pergi dan tak memperdulikanku. Aku tak mengerti
mengapa aku begitu tega menyakitinya. Penyesalanku, masih terasa hingga detik
ini, bahkan semakin terasa ketika aku melihat seorang gadis di gambar tampilan
BBM miliknya.
Hari itu adalah hari terakhir aku
menemuinya, setelah beberapa hari yang lalu aku dan dia bertengkar karena
sebuah permasalahan yang cukup rumit mengenai masa depan. Esok aku sudah harus
kembali ke Malang karena 3 hari lagi KRS akan segera dilaksanakan. Pagi-pagi
sekali aku sudah terbangun dan mulai membereskan rumah dan juga barang-barang
yang akan ku bawa besok. Sebenarnya, aku sangat takut untuk menemuinya. Aku
tahu sesuatu tentangnya, Ia akan memarahiku atas apa yang telah aku katakan
beberapa hari lalu, yang membuat kami bertengkar. Namun, aku meyakini semua
akan baik-baik saja. Sedangkan hati ini selalu gelisah, bahkan hingga beberapa
langkah aku akan sampai ke tempat kami akan bertemu. Ketika itu, aku tak
melihat seorangpun yang nampak seperti dirinya disana. Aku hanya melihat
beberapa pegawai kabupaten yang sedang berkeliaran entah sedang apa. Ketika
itu, aku duduk di depan sebuah pemandangan sekumpulan kijang yang sedang
menikmati sarapan paginya. Aku menghitung waktu dan hatiku tetap masih gugup.
Kemudian aku melihat seseorang dengan jaket berwarna biru dari kejauhan sedang
berjalan sendirian, aku memperhatikannya. Ketika Ia semakin dekat, aku semakin
kacau dan sedikit semakin cepat detakkan jantung aku rasakan. Aku sedikit
berkeringat disana karena pagi sudah menjelang siang dan kegugupanku masih
merajai diriku. Setelah tinggal beberapa meter saja kami akan bertemu, aku
mencoba mengalihkan pikiranku dan membuat diriku nyaman akan situasinya.
“Udah
lama nunggunya?” Ahmad membuka kata.
“Sekitar
10 menit aku udah disini.” Aku menjawab singkat.
“Jadi,
apa yang mau kamu omongin?” Ahmad mulai bertanya.
Aku
mulai membicarakan permasalahannya dan menjelaskannya sesuai apa yang ingin aku
katakan. Aku tidak takut padanya, bahkan aku ikhlas jika Ia ingin memarahiku
dan jika Ia mau, Ia bisa saja mencubitku seperti biasa. Ia mulai berbicara sangat
panjang dan lebar tentang perasannya juga tentang apa yang Ia rasakan hingga
membuatnya tak bisa tertidur malam tadi. Hingga waktu membuatku ingin pergi
karena tak tahan mendengar ucapannya yang cukup pedih. Namun, aku hanya bisa
diam dan menunggu waktu untukku menjelaskan lagi kepadanya apa maksudku. Sampai
pada akhirnya kami kembali baikkan dan kembali kerumah masing-masing karena
hari semakin terik. Kami melewati jalan yang tak biasa kami lalui ketika kami
bersama. Saat kami jalan bersama, tak banyak hal yang bisa kami bicarakan.
Mungkin karena pikiran terlalu sulit membuat hal baru yang dapat mengubah
suasana beku itu menjadi cair kembali. Akhirnya, kami berpisah di antara
ramainya jalan raya siang itu. Ketika aku di dalam angkutan umum, aku
memperhatikannya dari jauh, hingga aku tak lagi melihatnya.
Hari terakhirku di Bandung akhirnya
tiba. Setelah beberapa waktu lalu aku merasa seperti pengangguran tanpa acara.
Tasku begitu penuh dengan baju dan
beberapa perlengkapan pribadi. Aku sudah berdandan sejak setelah dzuhur dan
butuh beberapa menit di depan kaca untuk meyakinkan bahwa aku telah rapi dan
siap berangkat.
“Mah,
aku berangkat dulu ya. Mamah di rumah hati-hati dan jangan sampai kelelahan.”
Aku mengucap kata perpisahan.
“Iya,
kamu disana jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa makan dan jangan banyak
tingkah.” Mamah berpesan padaku.
“Iya
Mah, terimakasih ya Mah. Tunggu sampai nanti aku pulang ya. Aku sayang Mamah.”
Aku mengatakan kata perpisahan lagi.
Aku
mulai berangkat dan di antar oleh Ayahku. Saat itu Ayahku sedang kurang sehat,
namun Ayahku rela mengantarku pulang karena khawatir terjadi sesuatu padaku.
Ketika itu, ayahku mengantarku hingga suatu tempat bernama Warung Lobak.
“Teh,
Papah Cuma bisa antar sampai sini nggak
apa-apa ya? Ingat juga pesan Papah dan Mamah ya. Baik-baik disana.” Ayahku
berkata.
“Iya
Pah, terimakasih ya sudah mengangtar. Semua pesan papah akan selalu saya
ingat.” Aku menjawab.
Aku
kemudian menaiki angkutan umum yang sudah menungguku sejak perpisahan dengan
Ayahku. Aku begitu sayang padanya, Ia rela mengantarku bahkan ketika Ia sedang
sakit seperti ini.. Mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat Ayahku beranjak
dari tempat terakhir mengantarku dan Ia mulai tak terlihat dan akhirnya hilang
dari pandaganku.
Sepanjang perjalanan itu, aku
mendengarkan musik yang beberapa kali aku ganti karena kurang sesuai dengan
perasaanku. Hingga musik terhenti ketika di layarnya mengisyaratkan ada pesan
baru. Ketika aku lihat lebih jelas, pesan itu berasal dari Ahmad, kekasihku.
Aku membacanya dan kami mulai saling membalas pesan. Hingga aku sampai di kereta
dan masih saja tersenyum dengan caranya yang tak jarang aneh cenderung lucu.
Aku mulai tenang dan merasa bahagia saat itu dan menikmati perjalanannya.
Esoknya, aku sudah tiba di Malang.
Aku merasa ini sebuah mimpi. Rasanya baru kemarin aku melihat keadaan dan
menghirup udara Bandung, kini aku sudah harus memulai lagi kegiatanku sebagai
mahasiswa semester 3. Aku merasakan lagi suasana Malang yang sejuk dan beberapa
supir taksi menghampiriku berharap aku akan memakai jasa nya. Sejak awal aku
menginjakkan kaki di kota itu, belum pernah aku menaiki taksi, karena harganya
yang mahal dan akan cukup menguras uangku yang seharusnya aku gunakan untuk
bertahan hidup.
Setelah satu pekan aku selesai
mengisi KRS, aku kembali mengisi hariku dengan berbagai kesibukan. Seperti yang
di umumkan dan bukan rahasia lagi bagi mahasiswa semester 3 di BP, bahwa
semester ini kita akan berperang habis-habisan dengan yang namanya laporan. Cukup
padat kegiatan itu membuat hari-hariku sedikit berwarna kelabu. Semua yang
terjadi pada mahasiswa BP saat itu, cukup membuat mereka berubah menjadi
emosional dan begitupun denganku. Aku tak ingin mengeluh dengan tugasku yang
bertumpuk, aku hanya menjalaninya dengan wajar. Walaupun pada akhirnya aku
Inhole pada praktikum FHA.
Aku tak menyalahkan semua karena
kesibukanku dan juga beberapa hal yang menekanku saat itu. Aku mulai berubah
menjadi seperti orang lain dan mungkin beberapa orang akan tidak menyukaiku
karena sifat baruku saat itu. Aku seperti
bukan diriku. Aku mulai memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan
Ahmad tanpa berpikir panjang. Aku mulai memberinya pesan lewat Facebook dan
mulai mengatakan beberapa kata yang mungkin menyakitinya.
“Ahmad,
jangan pernah like atau apapun yang berhubungan dengan aku.” Aku membuka kata.
“Kenapa
memagnya? Kamu kenapa kok jadi gini?” Ahmad bertanya.
“Aku
mau kita udahan aja hubungannya, dan kamu jagan pernah hubungin aku lagi.” Aku
meminta.
“Iya
aku mau tahu alasan kamu apa? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus? Apa karena ada
seseorang?” Ahmad bertanya lagi.
Aku
mulai menjelaskan mengapa aku ingin putus dengannya. Aku benar-benar tak
memikirkan tentangnya apalagi dengan perasaannya. Aku hanya mengingat saat-saat
ketika Ia memarahiku dan berkata cukup keras kepadaku. Hingga akhirnya Ia mengiyakan
permintaanku dengan 1 syarat.
“Yasudah
kalau begitu mau kamu, aku terima. Tapi, jangan pernah berharap kamu bisa balik
lagi sama aku.”
Kata-kata
yang tak akan aku lupakan karena bagiku itu sebuah tantangan. Aku mengiyakan
katanya dan memang kami sudah sering membicarakan masalah ini jika suatu saat
kami berpisah. Aku hanya terdiam beberapa saat dan meyakinkan yang aku lakukan
ini sudah tepat. Setelah itu aku
berjalan menuju kelas di gedung C karena saat itu pelajaran kedua akan segera
dimulai.
Untuk beberapa waktu setelah
kejadian itu, aku mulai merasakan Ia benar-benar menghilang dari hidupku. Aku
tak lagi melihat tentangnya di berandaku dan juga beberapa statusku yang
biasaya Ia Like atau berkomentar atasnya. Aku benar-benar merasa kehilangan seorang
yang mengisi hatiku. Hingga waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan dan
bulan terus berjalan. Aku tak mengerti akan satu hal pada diri ini. Aku
merindukan tentangnya. Sosok yang kini sudah lama pergi dari hatiku namun Ia
tetap nyata keberadaannya. Bukan hanya sekali untukku melihat profilnya,
menyukai beberapa hal tentangnya dan mengirim pesan padanya yang tanpa satupun
balasan. Aku mengira ini adalah karma bagiku karena telah menyakiti hatinya.
Jujur dalam hati ini, aku masih sangat menyayanginya dan semua tentangnya masih
aku ingat. Bahkan raut wajah yang tak ingin aku lihat, masih sangat jelas
terpampang di depan wajahku. Sebuah waktu yang tak mungkin aku lupakan, sebuah
hati yang begitu tulus menyayangiku dan sebuah keterlambatan untuk menyayanginya
kembali.
Setelah waktu yang begitu cepat
berlalu itu masih berlalu, aku melihat gambar tampilan BBM nya akan seorang
gadis dengan sosok ibu-ibu yang mungkin ibu si gadis itu. Aku menerka-nerka
siapakah gadis itu. “Mungkinkah itu pacar barunya?” Aku bertanya pada diriku
sendiri. Aku tau, aku tak pantas untuk menanyakan hal ini padanya. Aku bukanlah
lagi apa-apa baginya. Aku hanya berharap hatiku dapat lagi dekat dengannya.
Sekalipun kemungkinan sangatlah kecil, disisi lain tentangnya yang sudah tak
mau lagi tau apa-apa tentangku.
Aku terdiam di sudut kamar dengan
beberapa tulisan tentangnya. Aku hanya berharap sebuah penyesalan dan
kesalahanku dapat Ia maafkan. Dengan udara pagi yang masih sejuk ini, aku
lambungkan anganku tentangnya yang masih aku simpan dalam hati dan berharap Ia
akan memikirkanku saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar