Minggu, 19 Juli 2015

Sebuah Kesalahan dan Penyesalan


            Aku berdiri diantara nyanyian orang bahagia ketika mereka sedang jatuh cinta. Ketika itu, keadaan berbalik denganku. Aku sedang merasakan patah hati yang amatlah dalam. Cintaku, membawaku kepada sebuah perpisahan yang sungguh sangat membuatku menyesal. Kini, hanya sebuah penyesalan yang hingga kini masih sangat terasa, penyesalanku untuk memintanya pergi dan tak memperdulikanku. Aku tak mengerti mengapa aku begitu tega menyakitinya. Penyesalanku, masih terasa hingga detik ini, bahkan semakin terasa ketika aku melihat seorang gadis di gambar tampilan BBM miliknya.
            Hari itu adalah hari terakhir aku menemuinya, setelah beberapa hari yang lalu aku dan dia bertengkar karena sebuah permasalahan yang cukup rumit mengenai masa depan. Esok aku sudah harus kembali ke Malang karena 3 hari lagi KRS akan segera dilaksanakan. Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun dan mulai membereskan rumah dan juga barang-barang yang akan ku bawa besok. Sebenarnya, aku sangat takut untuk menemuinya. Aku tahu sesuatu tentangnya, Ia akan memarahiku atas apa yang telah aku katakan beberapa hari lalu, yang membuat kami bertengkar. Namun, aku meyakini semua akan baik-baik saja. Sedangkan hati ini selalu gelisah, bahkan hingga beberapa langkah aku akan sampai ke tempat kami akan bertemu. Ketika itu, aku tak melihat seorangpun yang nampak seperti dirinya disana. Aku hanya melihat beberapa pegawai kabupaten yang sedang berkeliaran entah sedang apa. Ketika itu, aku duduk di depan sebuah pemandangan sekumpulan kijang yang sedang menikmati sarapan paginya. Aku menghitung waktu dan hatiku tetap masih gugup. Kemudian aku melihat seseorang dengan jaket berwarna biru dari kejauhan sedang berjalan sendirian, aku memperhatikannya. Ketika Ia semakin dekat, aku semakin kacau dan sedikit semakin cepat detakkan jantung aku rasakan. Aku sedikit berkeringat disana karena pagi sudah menjelang siang dan kegugupanku masih merajai diriku. Setelah tinggal beberapa meter saja kami akan bertemu, aku mencoba mengalihkan pikiranku dan membuat diriku nyaman akan situasinya.
“Udah lama nunggunya?” Ahmad membuka kata.
“Sekitar 10 menit aku udah disini.” Aku menjawab singkat.
“Jadi, apa yang mau kamu omongin?” Ahmad mulai bertanya.
Aku mulai membicarakan permasalahannya dan menjelaskannya sesuai apa yang ingin aku katakan. Aku tidak takut padanya, bahkan aku ikhlas jika Ia ingin memarahiku dan jika Ia mau, Ia bisa saja mencubitku seperti biasa. Ia mulai berbicara sangat panjang dan lebar tentang perasannya juga tentang apa yang Ia rasakan hingga membuatnya tak bisa tertidur malam tadi. Hingga waktu membuatku ingin pergi karena tak tahan mendengar ucapannya yang cukup pedih. Namun, aku hanya bisa diam dan menunggu waktu untukku menjelaskan lagi kepadanya apa maksudku. Sampai pada akhirnya kami kembali baikkan dan kembali kerumah masing-masing karena hari semakin terik. Kami melewati jalan yang tak biasa kami lalui ketika kami bersama. Saat kami jalan bersama, tak banyak hal yang bisa kami bicarakan. Mungkin karena pikiran terlalu sulit membuat hal baru yang dapat mengubah suasana beku itu menjadi cair kembali. Akhirnya, kami berpisah di antara ramainya jalan raya siang itu. Ketika aku di dalam angkutan umum, aku memperhatikannya dari jauh, hingga aku tak lagi melihatnya.
            Hari terakhirku di Bandung akhirnya tiba. Setelah beberapa waktu lalu aku merasa seperti pengangguran tanpa acara. Tasku  begitu penuh dengan baju dan beberapa perlengkapan pribadi. Aku sudah berdandan sejak setelah dzuhur dan butuh beberapa menit di depan kaca untuk meyakinkan bahwa aku telah rapi dan siap berangkat.
“Mah, aku berangkat dulu ya. Mamah di rumah hati-hati dan jangan sampai kelelahan.” Aku mengucap kata perpisahan.
“Iya, kamu disana jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa makan dan jangan banyak tingkah.” Mamah berpesan padaku.
“Iya Mah, terimakasih ya Mah. Tunggu sampai nanti aku pulang ya. Aku sayang Mamah.” Aku mengatakan kata perpisahan lagi.
Aku mulai berangkat dan di antar oleh Ayahku. Saat itu Ayahku sedang kurang sehat, namun Ayahku rela mengantarku pulang karena khawatir terjadi sesuatu padaku. Ketika itu, ayahku mengantarku hingga suatu tempat bernama Warung Lobak.
“Teh, Papah Cuma bisa antar sampai sini nggak apa-apa ya? Ingat juga pesan Papah dan Mamah ya. Baik-baik disana.” Ayahku berkata.
“Iya Pah, terimakasih ya sudah mengangtar. Semua pesan papah akan selalu saya ingat.” Aku menjawab.
Aku kemudian menaiki angkutan umum yang sudah menungguku sejak perpisahan dengan Ayahku. Aku begitu sayang padanya, Ia rela mengantarku bahkan ketika Ia sedang sakit seperti ini.. Mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat Ayahku beranjak dari tempat terakhir mengantarku dan Ia mulai tak terlihat dan akhirnya hilang dari pandaganku.
            Sepanjang perjalanan itu, aku mendengarkan musik yang beberapa kali aku ganti karena kurang sesuai dengan perasaanku. Hingga musik terhenti ketika di layarnya mengisyaratkan ada pesan baru. Ketika aku lihat lebih jelas, pesan itu berasal dari Ahmad, kekasihku. Aku membacanya dan kami mulai saling membalas pesan. Hingga aku sampai di kereta dan masih saja tersenyum dengan caranya yang tak jarang aneh cenderung lucu. Aku mulai tenang dan merasa bahagia saat itu dan menikmati perjalanannya.
            Esoknya, aku sudah tiba di Malang. Aku merasa ini sebuah mimpi. Rasanya baru kemarin aku melihat keadaan dan menghirup udara Bandung, kini aku sudah harus memulai lagi kegiatanku sebagai mahasiswa semester 3. Aku merasakan lagi suasana Malang yang sejuk dan beberapa supir taksi menghampiriku berharap aku akan memakai jasa nya. Sejak awal aku menginjakkan kaki di kota itu, belum pernah aku menaiki taksi, karena harganya yang mahal dan akan cukup menguras uangku yang seharusnya aku gunakan untuk bertahan hidup.
            Setelah satu pekan aku selesai mengisi KRS, aku kembali mengisi hariku dengan berbagai kesibukan. Seperti yang di umumkan dan bukan rahasia lagi bagi mahasiswa semester 3 di BP, bahwa semester ini kita akan berperang habis-habisan dengan yang namanya laporan. Cukup padat kegiatan itu membuat hari-hariku sedikit berwarna kelabu. Semua yang terjadi pada mahasiswa BP saat itu, cukup membuat mereka berubah menjadi emosional dan begitupun denganku. Aku tak ingin mengeluh dengan tugasku yang bertumpuk, aku hanya menjalaninya dengan wajar. Walaupun pada akhirnya aku Inhole pada praktikum FHA.
            Aku tak menyalahkan semua karena kesibukanku dan juga beberapa hal yang menekanku saat itu. Aku mulai berubah menjadi seperti orang lain dan mungkin beberapa orang akan tidak menyukaiku karena sifat baruku saat itu. Aku seperti  bukan diriku. Aku mulai memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Ahmad tanpa berpikir panjang. Aku mulai memberinya pesan lewat Facebook dan mulai mengatakan beberapa kata yang mungkin menyakitinya.
“Ahmad, jangan pernah like atau apapun yang berhubungan dengan aku.” Aku membuka kata.
“Kenapa memagnya? Kamu kenapa kok jadi gini?” Ahmad bertanya.
“Aku mau kita udahan aja hubungannya, dan kamu jagan pernah hubungin aku lagi.” Aku meminta.
“Iya aku mau tahu alasan kamu apa? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus? Apa karena ada seseorang?” Ahmad bertanya lagi.
Aku mulai menjelaskan mengapa aku ingin putus dengannya. Aku benar-benar tak memikirkan tentangnya apalagi dengan perasaannya. Aku hanya mengingat saat-saat ketika Ia memarahiku dan berkata cukup keras kepadaku. Hingga akhirnya Ia mengiyakan permintaanku dengan 1 syarat.
“Yasudah kalau begitu mau kamu, aku terima. Tapi, jangan pernah berharap kamu bisa balik lagi sama aku.”
Kata-kata yang tak akan aku lupakan karena bagiku itu sebuah tantangan. Aku mengiyakan katanya dan memang kami sudah sering membicarakan masalah ini jika suatu saat kami berpisah. Aku hanya terdiam beberapa saat dan meyakinkan yang aku lakukan ini sudah tepat.  Setelah itu aku berjalan menuju kelas di gedung C karena saat itu pelajaran kedua akan segera dimulai.
            Untuk beberapa waktu setelah kejadian itu, aku mulai merasakan Ia benar-benar menghilang dari hidupku. Aku tak lagi melihat tentangnya di berandaku dan juga beberapa statusku yang biasaya Ia Like atau berkomentar atasnya. Aku benar-benar merasa kehilangan seorang yang mengisi hatiku. Hingga waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan dan bulan terus berjalan. Aku tak mengerti akan satu hal pada diri ini. Aku merindukan tentangnya. Sosok yang kini sudah lama pergi dari hatiku namun Ia tetap nyata keberadaannya. Bukan hanya sekali untukku melihat profilnya, menyukai beberapa hal tentangnya dan mengirim pesan padanya yang tanpa satupun balasan. Aku mengira ini adalah karma bagiku karena telah menyakiti hatinya. Jujur dalam hati ini, aku masih sangat menyayanginya dan semua tentangnya masih aku ingat. Bahkan raut wajah yang tak ingin aku lihat, masih sangat jelas terpampang di depan wajahku. Sebuah waktu yang tak mungkin aku lupakan, sebuah hati yang begitu tulus menyayangiku dan sebuah keterlambatan untuk menyayanginya kembali.
            Setelah waktu yang begitu cepat berlalu itu masih berlalu, aku melihat gambar tampilan BBM nya akan seorang gadis dengan sosok ibu-ibu yang mungkin ibu si gadis itu. Aku menerka-nerka siapakah gadis itu. “Mungkinkah itu pacar barunya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku tau, aku tak pantas untuk menanyakan hal ini padanya. Aku bukanlah lagi apa-apa baginya. Aku hanya berharap hatiku dapat lagi dekat dengannya. Sekalipun kemungkinan sangatlah kecil, disisi lain tentangnya yang sudah tak mau lagi tau apa-apa tentangku.

            Aku terdiam di sudut kamar dengan beberapa tulisan tentangnya. Aku hanya berharap sebuah penyesalan dan kesalahanku dapat Ia maafkan. Dengan udara pagi yang masih sejuk ini, aku lambungkan anganku tentangnya yang masih aku simpan dalam hati dan berharap Ia akan memikirkanku saat ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design