Selasa, 15 Maret 2016

Si Pemimpi di Banjar Anyar

Aku dapat mendengar derit jantung Si Pemimpi. Begitu menggebu dan kurasa Si Pemimpi itu akan membuat aliran di pipinya yang tirus. Ingin rasanya aku menjadi obat kegelisahannya. Ah... Ia hanyalah seorang pemimpi yang mencoba teguh. Ia tersenyum dan memamerkan kacamata yang retak di ujung bagian atas.
Si Pemimpi ini adalah sosok yang sangat sibuk. Hari-harinya dipenuhi dengan jurnal, presentasi, makalah, dan—yang paling penting adalah rapat. Selain aktif, Si Pemimpi ini adalah sosok yang penyayang. Ia sangat mencintai Halimah, ibunya. Pun padaku yang selalu menemani kesehariannya.
Peluh bersarang di ujung-ujung keningnya. Sesekali ia menghisap es teh yang ia beli di depan kampusnya. Tertangkap tatapan gelisah di ujung tugas yang harus dikumpulkan pagi ini. Dengan harap-harap cemas ia menanti Firman, teman sekelasnya. Sembari mengoreksi tugasnya, ia mencoba menelpon ibu di rumah.
Halo?
Iya Bu. Ini anakmu.
Gimana Le kabarmu?
Alhamdulillah baik bu. Ibu sudah baikan? Kata Rahmat, ibu sakit.
Alhamdulillah sudah baik. Gimana kuliahnya?
Banyak tugas Bu. Ini sedang dikerjakan.
Syukur kalau begitu. Jaga kesehatan ya Le. Ibu belum bisa kirim uang.
Ndak apa-apa bu. Masih ada uang cukup sampai akhir bulan ini. Kemarin ada karya yang di muat di Kompas.
Alhamdulillah. Ibu senang mendengarnya.
Bu. Sudah dulu ya. Besok disambung lagi.
Iya Le.
Assalammualaikum.
Waalaikumsalam.
***
Pagi itu sangat sepi. Si Pemimpi berjalan sempoyongan menuju kontrakannya setelah bermalam di basecamp-nya. Langkahnya kadang gemetar setelah menahan lapar sejak semalam. Aku tahu dia terlalu sibuk. Kini Si Pemimpi tengah duduk menatap kosong halaman kontrakan yang memang kosong. Ia penuh rahasia, menggetarkan, dan menanarkan setiap orang yang memandangnya. Tapi, seketika itu pula sabit muncul. Mengundang serta semangat minatnya dalam dunia jurnalistik. Dinyalakannya netbook berwarna birunya dan mulai mengawang. Aku tahu. Ia sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dengan keadaan seperti ini—terlihat seolah kuat. Nyatanya, ia tak bisa berbohong padaku. Ia sangat kebingungan, penuh masalah, dan dibawah tekanan.
Hei. Diam saja. Ayo ke kampus!
Iya sek. Aku lagi bikin opini buat minggu ini.
Ealah. Nanti aja sih. Kan bisa.
Mumpung ada inspirasi.
Siapa tuh inspirator yang menggugah hati sang pemimpi? Cie.
Ada deh. Yang jelas bukan kamu. Haha.
Begitu. Sekalipun aku melihatnya sebuah kebahagiaan. Aku bisa merasakan kesedihan dalam hatinya. Aku tau pasti itu. Aku sudah lama hidup bersamanya.
Puluhan mentari berlalu. Si Pemimpi memutuskan untuk pulang ke Banjar Anyar kampungnya. Penampilannya selalu sederhana. Berbeda dengan mimpinya yang luar biasa: memperjuangkan putra daerah untuk mendapat pendidikan yang layak, membangun desa tercinta menjadi lebih baik. Kini matanya tak bisa mendustai siapa pun. Aliran sungai benar tercipta di pipinya. Bening mengalir menyentuhku. Ketika itu, aku berada di pangkuannya.
Kereta api datang. Udara dingin berhembus tepat ke wajahnya. Dengan penutup wajah, Si Pemimpi benar-benar bermimpi. Bersama setumpuk koran berisi setiap karya yang di muat di media. Tiba-tiba, aku merasakan kehangatan. Ya... Hangat sekali. Mungkin aku berada dalam pelukannya.
3 jam berlalu. Ridwan, adiknya sudah menunggu di pintu keluar. Dengan penuh rindu, Si Pemimpi memeluknya. Ridwan pun tak kalah haru, namun tak sampai mengalirkan sungai di pipinya yang tembam. Lalu, Si Pemimpi naik ke atas motor dan menikmati suasana Banjar Anyar yang selalu sama—panas.
Sawah masih membentang hijau bak lapangan sepak bola. Burung-burung bernyayi. Beberapa diantaranya menyangkut di jaring yang sengaja di pasang oleh petani. Di persimpangan dekat rumah, seorang pemuda menghampiri Si Pemimpi.
Mas? Mas jadi pulang ternyata. Anak-anak banyak yang menanyakan Mas.
Iya Mas. Alhamdulillah. Memangnya ada apa ya Mas?
Mereka meminta Mas untuk mengisi materi jurnalistik. Aku pun melihat karya Mas banyak di muat di media online dan cetak. Selamat ya mas.
Hehehe. Terimakasih Mas. Insha Allah nanti datang ke HPBA (Himpunan Pemuda Banjar Anyar).
Iya Mas. Ditunggu ya.
Lalu, Ridwan melanjutkan perjalanan yang sekitar 1 km lagi. Beberapa warga berbisik, “Dia sudah dewasa sekarang. Ibunya bilang kalau dia sudah bisa membiayai hidupnya sendiri. Bahkan sering mengirim uang ke rumah.” Yang lainnya menimpali. “Alhamdulillah. Dia memang anak yang sholeh.”
Ibu sudah menanti di halaman rumah. Senyumnya pun merekah-rekah melihat Si Pemimpi yang kembali ke rumah. Lalu, tanpa rasa apapun, semua perasaan tercurah dalam dekapan Halimah. Peluknya begitu erat. Bahkan nafasnya tak beraturan. Deritan jantungnya menjadi-jadi. Dulu—lewat halaman rumahnya, sampai berbagai caci-maki ke telinga Halimah dan Si Pemimpi. Namun, agaknya Si Pemimpi sudah dewasa kini. Ya... Si Pemimpi masih terus bermimpi untuk membangun Banjar Anyar lebih baik lagi.
***
Nb: Aku adalah novel yang selalu menemani perjalanannya.

Pulang

Ibu. Pagi ini aku melangkahkan kaki ke Universitas ternama di Indonesia. Ini bukan pulang kampung pertama untukku. Tapi, rindu yang kupendam selama setahun ini membuatku menjadi pilu. Ya... Aku mengerti bahwa semua yang terjadi memang harus seperti ini. Terutama—rindu yang sangat mencengkam batin.
3 bulan masa liburanku pun telah usai. Hari ini—pagi-pagi sekali—aku melihat Ibu sudah sibuk di dapur. Memasak tempe manis dicampur kentang. Sementara Ayah pergi ke Margahayu membelikanku telur asin. Aku merasa sedih—hari itu adalah hari terakhirku berada di Bandung.
Tasku sudah kuisi penuh dengan barang-barang. Minum, makan, headset, sudah lengkap semua. Bahkan tak lupa aku bawa pakaian pemberian ibu. Warnanya merah jambu bunga-bunga. Kata ibu, aku terlihat manis saat mengenakannya. Sementara Ibu hari itu tidak membeli satu pakaian pun. Aku ingat: seorang Ibu akan selalu bahagia melihat anaknya bahagia. Sekalipun ia tak harus memakai baju baru di hari raya.
Hari itu, ibu ingin memakai jilbab yang modern. Aku diminta ayah untuk memasangkannya pada ibu. Ibu terlihat cantik, bersemangat dan—begitu bahagia. Ayah mengendarai mobil, mengantarku ke stasiun agar Ibu bisa ikut. Ibu duduk di belakang. Tangannya kadang menggapai kepalaku, mungkin Ibu sangat menyayangiku.
Menuju sore, radio Urban memperdengarkan lagu-lagu yang sering aku dan Ibu nyanyikan bersama. “Kalau denger lagu ini, pasti jadi inget Teteh,” begitu kata ibu. Sepanjang jalan aku pandangi sudut yang cukup asing. Aku jarang melintasi jalan itu, karena memang aku jarang mengitari kota Bandung.
Tak terasa aku sudah sampai di stasiun Bandung. Ayah memrkirkan mobil cukup jauh ke pintu masuk. Aku menikmati detik-detik terakhirku bersama mereka—mendengarkan Ayu Andara mengudara. Sekitar 30 menit sebelum kereta berangkat aku turun dari mobil dan menuju pintu pemeriksaan tiket. Ayah dan ibu berjalan beriringan di belakangku. Sementara aku kesusahan dengan barang bawaan yang begitu—menggunung. “Biarin aja. Nanti kan Teteh juga bawa barangnya sendiri.” Ucap ayah ketika Ibu hendak membantuku.
Aku terdiam sejenak. Menatap kereta yang akan memisahkan aku dengan orang tuaku. Aku berbalik dan memeluk mereka. Sungguh haru. Dadaku cukup sesak menahan tangis yang hendak pecah di antara keramaian sore itu. Ayah mengusap kepalaku. Sementara Ibu berkaca-kaca di hadapanku. Aku tak kuasa menahan lebih lama. Aku berbalik dan meninggalkan mereka dengan lapang dada.
Hati-hati ya Teh. Nanti telpon ayah kalau sudah sampai.
Iya, Ayah.
Jaga diri baik-baik ya Teh. Maaf Ibu belum bisa kasih apa-apa.
Aku bergeming. Bagaimana mungkin mengatakan tidak memberi apa-apa? Aku bisa bersekolah tinggi dan memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka. Aku sungguh tak mampu berkata-kata selain—tersenyum dan memendam air mataku.
Sore itu, aku merenung dalam batin. Betapa bahagianya aku memiliki orang tua yang hebat—sangat hebat seperti mereka. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang mampu membiayai hidupku. Ayah. Walau usianya sama dengan kemerdekaan RI, Ayahku masih bekerja di sebuah CV. Aku sungguh bangga. Suatu saat nanti, aku akan pulang dan membuat mereka bangga kepadaku.

Senin, 14 Maret 2016

Kolase (Rasa-Rasa yang Tertahan)

Alam mengerti tentang kegelisahan para hati yang berjalan tanpa kepastian. Kadang, kau bisa melihat sabit tersimpul rapih. Namun, jika kau telusup dalam ke matanya, kau akan melihat jelas guratan kesedihan terpancar darinya. Hari ini, aku bertemu dengan gadis yang sedang membaca novel di halte Jl. Solo di Sleman.
Tatapnya tertuju pada lembar demi lembar yang teralih setiap 5 menit sekali. Dari penampilannya, aku bisa perkirakan bahwa ia adalah seorang penjaga toko. Pakaiannya hitam dan putih. Rambutnya dikucir ekor kuda. Tapi aku masih memperhatikannya. Tatapan yang teralih pada ponselnya yang berkedip-kedip.
Dia ambil ponsel itu. Beriringan dengannya, bus yang akan membawaku ke Jogja pun datang. Aku duduk bersebelahan dengan wanita itu. Sampai seorang pria datang dan membuatnya duduk bersebrangan denganku. Penumpang belum terlalu ramai. Tapi perdebatan itu cukup membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Nanti malam jadi ke alun-alun?
Jadi.
Kamu pulang jam berapa?
Mungkin jam 17:00 aku udah pulang.
Hmm... Gimana kalau kita ajak Fajar? Dia pasti seneng.
Tapi kan ini acara kita.
Tapi dia juga temen aku.
Yaudah kalau gitu. Kamu pergi sama Fajar. Aku jalan sama yang lain.
Yaudah. Kamu emang gak berubah. Terus aja kekanak-kanakan.
Kamu tuh yang mentingin sahabat mulu.
Aku lebih dulu kenal dia dari pada kamu. Lagian aku kan tetep sayang kamu.
Jangan-jangan. Kamu jatuh cinta sama dia. Aku tahu kok kalau dia suka datang buat beli buku di toko kamu.
Hei. Kamu jangan nuduh gitu dong. Dia kan ngajarin anak-anak jalanan.
Terus aja belain dia.
Terus aja nuduh-nuduh dan buruk sangka.
Udah lah! Aku capek gini terus.
Yaudah.
Yaudah. Kita putus.
Yaudah.
***
Kini aku sedang memandangi jalanan yang ramai. Menikmati suasana Jogja di malam hari. Wedang ronde mengepul di atas meja kecil yang menghadap para penikmat alam.
Dari jauh, samar-samar kulihat langkah yang derapnya terhenti-henti. Salam remang, kulihat ponselnya diangkat-angkat ke udara. Mungkin ia kesusahan mencari sinyal.
Aku sedang tidak menunggu siapa pun. Aku hanya penikmat malam yang kesepian. Sampai orang itu menghampiriku dan...
Maaf. Boleh minta tolong nggak?
Boleh. Apa?
Boleh pinjem HPnya? Sinyal aku nyala mati.
Boleh.
Terimakasih.
Kemudian, datang seorang pria dengan motor matik plat H.
Hai. Akhirnya kamu nyampe. Maaf ya? Tadi sinyalnya jelek.
Iya gapapa. Wah... Kamu nggak berubah ya. Masih cantik kayak dulu.
Ah kamu bisa aja.
Gimana kabar kamu?
Alhamdulillah baik. Kamu gimana?
Baik juga. Eh... Katanya kamu udah nikah ya?
Belum dong. Hahaha. Emang wajahku kayak emak-emak?
Nggak kok. Hehehe.
Aku ada yang mau diomongin nih.
Apa?
Setelah 3 tahun terpisah. Aku sebenernya ke sini datang untuk--melamar kamu.
Hah? Kamu yakin?
Beneran. Datang dari Kalimantan buat apa kalau bukan nemuin kamu?
Gimana ya?
Kenapa? Kamu gak bisa ya?
Tapi... Aku udah dijodohin sama orang tua aku.
Dia orangnya.
Aku?
Malam itu sungguh tak pernah aku sangka. Ternyata aku bertemu dengan jodohku. Setelah 30 menit mengobrol dengannya. Ternyata ia adalah Rahma, pacarku ketika SMP. Sejak itu, hidupmu tak sendiri lagi.


A Wish at Sapporo Clock Tower 2


Semi hampir berlalu. Udara dingin berhembus dari celah-celah jendela. Dering alarm mengantarkan Ratih pada tumpukan tugas yang masih tertata rapih di meja belajarnya. Tangannya yang kuning langsat itu dengan sigap mematikan alaramnya. Dengan semangat, Ratih bersiap menyelesaikan seluruh tugasnya untuk menyambut musim panas yang akan segera datang.
Mentari perlahan menyinari kamarnya yang bernuansa serba putih. Selepas sarapan dan menghabiskan minumnya, Ratih duduk sigap menatap layar laptopnya. Di tengah keseriusan Ratih, sebuah pesan dari Helen datang menggoyah konsentrasinya. “Aku di depan apatermen kamu nih. Jadi kumpul kan?”
Ratih langsung menuruni tangga dan membukakan pintu.
“Hei. Aduh, sori banget ya. Aku lagi ngerjain rieset aku nih. Kayaknya gak bisa jalan deh.”
“Hmm... Sayang banget. Arsya juga udah nungguin loh padahal.”
“...”
“Aku bantuin deh. Gimana? Tapi Arsya ajak ke sini juga. Dia nunggu di mobil soalnya.”
“Aduh. Gak usah deh. Hehehe.”
“Gapapa kali. Ya udah. Bentar ya, aku ke Arsya dulu.”
“Oke deh. Nanti masuk aja ya.”
“Oke.”
Ruangan itu hangat dipenuhi tawa mereka yang khas. Setelah beberapa lama mengerjakan tugas, Helen pergi ke super market untuk membeli makanan. Arsya dan Ratih tampak serius menatapi lembar demi lembar di atas pangkuannya.
“Nanti Setsubun no Hi (puncak musim semi), kamu ada acara?”
“Nggak, Sya. Kenapa?”
“Pengen ke Kyoto nih. Lihat Hanami.”
“Jauh banget, Sya. Sama siapa aja?”
“Ya, kamu sama aku aja. Helen mau pergi sama Anton.”
“Oh gitu.”
Percakapan menuju sore itu cukup membuat keadaan sedikit terguncang. Ketika Ratih harus merelakan perasaannya demi sahabatnya. Ratih pun tersenyum tipis lalu mencoba mengerjakan kembali tugasnya.
***
Anak padi sudah berbaris rapih. Pohon hijau berderet sepanjang jalan. Semi (serangga di musim panas) saling bersautan menemani langkah yang menikmati keindahan—pun kesendirian. Musim panas ini membawa Ratih pada sebuah keindahan alam di sekitar Kyoto—sendirian. Tanpa Arsya, apalagi Anton, sosok yang diam-diam mencuri hatinya.
Geshi (puncak musim panas) akan segera tiba. Ratih berjalan menyusuri pertokoan, berharap menemukan satu yukata yang akan digunakan saat pesta kembang api. Pandangannya menjamah ke semua sudut unik berbunga di etalase. Kadang tatapnya seoalah pengumpulan semua kegelisahan. Ya... Dia gagal bertemu dengannya di festival yang sangat dinantinya. Diantara perhatiannya yang bercabang itu, Ratih menghempaskan keras-keras pengharapannya pada sebuah pilihan—yukata merah jambu. “Kirei desu.” Cantik.
“Kamu kok gak ada kabar? Kita jadi kan ke festival kembang api?” Tanya Arsya di ujung telepon.
“Maaf, Sya. Aku nggak bisa deh kayaknya. Aku lagi pengen sendiri.”
“...”
Langkahnya perlahan menelusuri jalanan yang sangat ramai. Pasangan muda-mudi saling berdampingan. Hingga sebuah genggaman yang ia kenali, merampas tangan yang kesepian begitu saja.
“Hai! Kamu ngilang aja. Kayak  jin.” Deretan gigi menyapa Ratih.
“Anton! Ngapain kok di sini? Kamu bukannya pergi sama Helen, ya?”
“Ih. Kamu cemburu ya? Aku kan mau pergi ke sini sama kamu. Ingat? Aku kan mau jadi tour guide kamu.”
“Ta ta tapi...”
“Ayo. Festivalnya hampir di mulai.”
“Jadi, kenapa kamu pergi gak kasih kabar? Kamu pikir gampang, cari anak ilang di lautan yukata?”
“Kok malah kamu yang marah. Aku kan lagi pengen sendiri. Ya... Wajar aja dong kalau aku ke sini.”
“Non... Sendiri itu mojok di sudut kamar. Di pinggir sungai. Bukannya di festival kembang api. Sendirian pula.”
“...”
“Bilang saja. Kamu ingin ke sini sama aku.” Senyumnya mengembang.
Suasana hening.
“Anton. Boleh nggak kita melihat daun Momoji (daun berwarna kuning, tembaga, ke-emasan. Khas musim gugur)?”
“Kenapa tidak?”
“Apa, kamu gak mau pergi sama pacar kamu?”
Kembang api merekah di semesta alam yang gelap.
“Ayo. Kita buat pengharapan.”
“Emangnya bintang jatuh?”
“Bukan sih. Tapi—aku—lagi jatuh cinta.”
“...”
“Lupain Helen. Aku cinta kamu, Ratih. Sudah lama. Sejak pertama mata yang indah itu menatapku. Dingin. Namun penuh kedamaian.”
“Gimana sama Momoji?”
“Kita akan datang. Duduk bersama dan tentunya—kita sepasang kekasih di musim panas.”
“Setuju.”
Alam berbahagia.

Minggu, 13 Maret 2016

A Wish at Sapporo Clock Tower

Hari itu hujan turun cukup deras. Jalanan perlahan mulai sepi. “Kiri atau kanan ya?” Rautnya menimbang lokasi yang tepat menuju apatermen barunya. “Kiri.” Dan itu adalah jalan yang salah.
Suara langkahnya ditemani riuh hujan yang masih deras. Wajahnya pucat. Tangannya gemetaran. Sudah 1 jam langkahnya masih belum membawanya pulang. Ratih, mahasiswa semester 1 yang masih menyesuaikan diri di Jepang, tepatnya di Hokkaido. Matanya tertuju pada sebuah kafe yang sudah tutup. Lampunya pun bahkan sudah mati. Ia berdiri di teras yang dingin itu berharap hujan segera reda.
Sunyi sekali. Hanya ada suara perut yang kelaparan, juga rintik hujan yang masih deras. Antoni namanya. Pekerja kafe tersebut yang kebetulan bagian piket hari itu. Antoni terkelu melihat seorang gadis tengah berdiri di depan pintu kafenya. Kadang, tubuh gadis itu menahan-nahan keseimbangannya. Dengan gesit Antoni beranjak mengambil kunci pintunya.
Sreet. Antoni membuka pintu. Ratih langsung berbalik badan dan melihat siapa di baliknya.
“Im sorry. Im waiting for the subside.”
“It’s ok, Ms. It doesn't matter if you want to come in. The weather is so cold here.”
“Oh... Thank you. But i think it will be subside soon.”
“Please. Come in.”
“...”
“By the way, what are you doing in this night?”
“I think, i lost my apartement’s way.”
“Oh... Okay. I’ll guide you then.”
“...”
“My name’s Antoni Refalindo. You can call me Anton.”
“Ratih.”
“Well Ratih, i’ll make a glass of tea for us.”
“Im sorry.”
“It’s oke Ms. Just wait a moment.”
Tak lama kemudian, Anton datang bersama 2 gelas tehnya. Ratih sedang memandang kosong ke luar yang semakin sepi.
“Here you are.”
“Thanks, Anton.”
“Hmm... Ratih, are you Indonesian?”
“Yes. Why?
“Its clearly hear on your accent.”
“Hahaha... I see. Im not fluent enough.”
“Well, Ratih. Im Indonesian too.”
“Really? How lucky im. So, you can guide me here?”
“Why not. But, we can use Indonesian for next meet up.”
“Agree!”
Teh yang hangat itu pun lenyap seketika. Percakapan di antara mereka cukup berkesan untuk pertemuan pertama di sebuah malam yang sangat dingin.
***
Pagi itu sudah ramai. Mata sipit mulai terbiasa menghiasi pemandangan Ratih. Langkah orang-orang begitu tergesa-gesa. Itu lah mengapa langkah yang biasa perlahan itu sudah terkikis. Lingkungan mulai membuat langkahnya kian memburu. Dollyn cabella warna krem pemberian dari ibu Ratih pun menemani langkahnya ke kampus.
Arsya dan Helen adalah teman barunya di kampus. Mereka adalah salah satu anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia di Jepang. Percakapan setelah mata kuliah selesai pun memenuhi ruang kelas. Arsya termasuk anak yang aktif, bahkan terlalu aktif. Sementara Helen adalah sosok yang cenderung pendiam, namun tetap asik jika sedang bersama Arsya dan Ratih.
“Mau kemana nih kita?”
“Lapar nih. Makan yuk.” Jawab Ratih.
“Aku juga nih. Kita ke kafe Cure Maid aja. Sekilas aku lihat tadi ada menu baru.”
“Oke deh. Ayo cabut!”
Perjalanan menuju Cure Maid kafe ditempuh dalam 30 menit berjalan kaki. Alunan musik tradisional Jepang mengalun merdu menemani hembusan angin lembut. Tawa mereka tak henti-henti mewarnai perjalanan yang terasa singkat itu. Hingga langkah Ratih terhenti sejenak.
“Kenapa Ratih? Sakit perut lagi?”
“Bukan.” Hening sejenak. “Kita mau ke kafe itu?”
“Iya. Ini kan kafe terkenal di sini. Pelayannya juga ganteng loh.”
“Hmm.. Baiklah.” Sambil memastikan langkahnya.
Ratih ingat betul. Ini adalah kafe tempat Anton bekerja. Langkahnya mantap melintasi pintu kafe itu.
“Over here Ms and Mr.”
“Thanks.”
“Here.” Memberikan buku menu
“Mau pesen apa nih?
“Umi katsu and Honoka 1.”
“Minalinsky Omurice and Nozomi 1.”
“Hanayo onigiri and Rin 1.”
“Well. Wait a moment.”
Beberapa saat kemudian, Antoni datang membawakan pesanan mereka.
“Hai, Antoni.”
“Eh.. Helen. Arsya. Oh... Ada Ratih juga.” Sembari menaruh pesanan.
“Kalian udah saling kenal?”
“Hehe... Begitulah.” Jawab Ratih terkekeh.
“Wah... Gak nyangka ketemu kalian. Udah lama kan gak mampir ke sini.”
“Iya. Dosennya ngasih tugas terus nih,”
“Heem. Bener tuh.”
“Oh iya. Ratih, aku lupa save nomor kamu. Jadi aku gak bisa hubungi kamu.”
“Hmm... Aku kira kamu lupa. Hehe.” Menulis pada kertas tissue. “Ini.”
“Oke. Makasih Ratih.”
“...”
“Aku balik lagi ya. Sibuk banget soalnya.”
“Oke Anton. Semangat. Hehe.” Arsya menimpali di antara langkah Anton yang tergesa-gesa.”
“Ternyata kamu udah kenal dia. Dia banyak yang naksir loh.” Helen memecah keramaian
“Iya tuh. Termasuk Helen.” Arsya menjawab sambil tertawa.
“Apaan sih. Kamu kali. Kan kamu LGBT.”
“...”
***
Ratih. Sore ini sibuk gak? Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat nih. WA Anton melintas di tengah tugas Ratih. Sejenak ia melirik pada tumpukan revisi tugas yang akan dikumpulkan esok pagi.
“Nggak juga. Mau ke mana emangnya?”
“Ada deh. Aku jemput di depan kampus kamu ya. Kamu kuliah siang kan? Kebetulan aku free hari ini.”
“Oke deh. Aku tunggu ya.”
Dengan sigap Ratih terfokus pada tugas-tugasnya. Matanya melirik dari ujung ke ujung artikel yang menjadi risetnya. Perlahan hujan turun deras. Matanya melirik pada jendela yang tirainya tersibak angin. “Hujan membuatku bertemu dengannya. Ya. Sudah sebulan ini aku seperti jatuh cinta padanya.”
“Mau kemana kita?”
“Kamu kayak Dora deh. Terus aku harus jawab, tanyakan pada peta?”
“Hahaha.” Mengusap-usap kepala yang tak gatal.
“Kita ke Sapporo Clock Tower. Di sana ada festival.”
“I’ll follow you.” Ratih menyeringai.
Sepanjang perjalanan menuju SCT, Anton menjelaskan tempat-tempat penting di sepanjang jalan seperti pemandu wisata. Terkadang, badannya setengah membungkuk ketika suaranya terlalu keras. Ratih tertawa melihat tingkahnya yang begitu—lucu. Kedua tangan Ratih pun juga menutup mulutnya khawartir tawanya mengganggu penumpang yang lain.
Sampailah mereka di SCT. Senja sudah terlalu senja. Lampu kota bersinar indah menemani keberadaan pengunjung festival. Entah sejak kapan itu terjadi—genggaman erat Anton. Langkahnya beriringan menelusupi ramainya SCT saat itu.
“Kita di sini saja. Sebentar lagi festival akan dimulai.”
“Hmm... Baiklah. Tapi, bisa nggak kamu lepasin tangan aku?” Matanya melirik tajam.
“Oh... Iya maaf. Aku takut kamu ilang. Di sini kan ramai.” Kilahnya
“...”

Orang bilang, ini adalah festival penuh cinta. Siapapun yang datang kemari bersama seseorang yang dikasihi, mereka akan hidup bahagia. Apa itu berarti Anton menyukaiku? Ah... Tidak mungkin. Pikirnya teringat kedua sahabatnya yang mungkin—menyukai Anton.

Bersambung (*)

Jumat, 11 Maret 2016

Kilas-Kilas Kesunyian


Di kehidupan ini tak ada yang abadi. Semua datang dan pergi silih berganti. Perasaan hati manusia bermain bersama waktu dan tak ada yang tahu selain Yang Maha Kuasa. Kehidupanku sangat luarbiasa—awalnya. Dia selalu menemaniku. Bahkan hanya untuk meluapkan kekesalanku, dia masih mendampingiku. Duniaku yang indah. Hingga kilas-kilas itu menghampiriku dan menemani sisa hidupku.
***
Aku sandarkan anak tangga sampai ke atas dapur milik ibu. Kuambil sebuah buku dan memberinya goresan yang orang umum menyebutnya keindahan. Angin semilir menerbangkan rambutku sampai menutupi sebagian wajahku. Di ujung pandang aku melihat Wandi bersama Edo, adiknya. Tawanya riuh memecah konsentrasi yang sebenarnya tak seberapa fokus. Aku menatap kosong kedepan. Pada sebuah kejadian yang menghilangkan dia dari duniaku.
Maulana, adikku. Matanya sayu, wajahnya tampan, kulitnya sawo matang, dan tingginya tepat sebahuku. Nana. Begitu biasa aku memanggilnya. Dia sedikit pemalu pada dunia baru. Aku pernah sekali menemaninya sepanjang hari di kelas 1 SD. Bu Yuli memanggilku lantaran ia tak mau belajar dan terus menangis. Tak jauh berbeda dengan hari yang lain. Matanya pasti akan berkaca-kaca ketika aku hampir melewati pintu keluar kelasnya. “Dia harus berani. Dia adalah laki-laki.”
Iringan langkahnya membawa serta teman-temannya. Ia mulai terbuka dengan dunianya setelah beberapa kali aku memaksanya pergi dan pulang sekolah sendirian. Itu pun setelah vakum 1 tahun untuk memberanikan dirinya.
Seperti halnya adik-kakak pada umumnya. Siapa sih yang tak pernah bertengkar?
Hari itu adalah hari jumat. Seperti biasa aku mengaji di Madrasah Al-Muslimun selepas magrib. Ringan saja. Jemariku mencubit tangan adikku karena menghabiskan semua air di penampungan. Selepas ia menangis, aku pergi mengaji. Aku tak merasa bersalah—awalnya. Namun sepanjang perjalanan, perasaanku tak enak karena mencubitnya cukup keras. “Aku akan meminta maaf selepas mengaji.” Begitu pikirku.
Matanya sudah tertutup. Nana sudah terlelap. Aku melihat ransel milikku sudah menggantung di paku yang dipasang dekat tempat tidurnya. Aku ingat betul, tas itu baru ingin ia pakai esok hari. Niatku untuk meminta maaf pun aku tunda. Sejak itu aku membuatnya menangis, aku belum lagi mendengar suaranya. Aku pun terlelap tanpa diiringi kegelisahan.
***
Aku ingat betul. Itu adalah ruang melati. Semerbak bahan-bahan kimia memaksa indraku untuk menikmatinya. Kututup rapat-rapat penciumanku dengan sepuluh jari mungilku. Tak jarang mataku mencuri pandang ke dalam ruangan putih itu. semua ditutupi tirai hijau. Aku tak percaya kini kakiku tegap mematung menemani hati yang masih tak menyadari suatu kejadian. Belasan menit yang lalu aku mendengar suara tangisan memecah keheningan di pukul 11:30. Hingga aku menemaninya dan membacakan ayat suci. Kukira ia kesurupan. Matanya memandangi langit-langit tak santai. Aku mungkin sudah kehilangannya. Ia tak menjawab sepatah kata pun yang aku lontarkan. Sampai sebuah mobil kijang milik Pak Karna datang dan membawaku mematung di sini.
Detikan  jam di ruang tunggu terasa hambar. Sudah 2 jam berlalu dan aku masih mematung di depan ruangan itu. Orang-orang tak henti-hentinya hilir mudik melintas di hadapanku. Tepatnya karena ruang tunggu itu berada di dekat akses keluar-masuk rumah sakit.
Roda itu berputar sangat cepat—beberapa menit yang lalu. Kini putarannya melambat setelah sekitar 30 menit lalu. Kain berwarna putih menutupi seluruh tubuh orang itu. Tiba-tiba dingin menyergapku. Aku lemparkan pandanganku pada sosok yang tidak terlihat di balik tirai hijau. Ayahku belum kembali. Ibuku masih menemaninya di dalam. Aku cemas-cemas berharap bisa menelusup masuk ke ruanganan yang aku rasa sangat dingin itu.
***
Dokter memasukkan selang ke dalam mulut Nana. Menarik dan lalu memasukkannya lagi. Sesekali aku melihat selang itu dilapisi warna merah. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirku saat itu. Yang pasti, mataku terus mengikuti gerak-gerik tangan Dokter itu.
Tadi sore makan apa, Bu?
Cuma makan tempe aja. Itu pun Cuma satu. Katanya buat besok saja.
Selain itu, apa ada lagi?
Tidak ada, Dok.
Sepertinya anak ibu keracunan.
Lalu, dokter itu kembali memasukkan selang ke dalam mulut Nana.
Aku memandang lurus ke arah ruangan itu. Tak ada tanda-tanda ibuku mengkomando untuk aku masuk ke dalam. Langkahku terasa berat sekali untuk melangkah. Aku begitu ingin masuk ke dalam dan melihat keadaan Nana. Namun, usiaku masih di bawah umur untuk masuk ke ruangan itu. Jujur—ini seperti sebuah pertanda. “Kalau kamu tidak masuk, kamu akan menyesal.”
Ayahku datang dengan satu kresek putih. Isinya kue balok. Aku memakannya karena udara cukup dingin dan membuatku sedikit lapar. Sembari makan, aku menyusun rencana. Setelah adikku sadar, aku akan meminta maaf padanya, pulang ke rumah untuk sekolah dan menjaga adikku di siang harinya. Begitu. Hingga sebuah tangis terdengar nyaring—nyaring sekali. Aku sangat mengenali suara itu—suara ibu.
Nanaa.. Jangan pergi!!
Begitu kedengarannya. Jantungku terpacu hebat mendengar kata-kata itu. Aku sangat berharap bahwa itu hanyalah halusinasiku saja. Hingga tangisan itu semakin menjadi dan ayahku masuk ke ruangan itu. Langkahku tiba-tiba saja ringan sekali. Aku langsung menembus kerumunan orang-orang di sana. Kulihat di dada adikku sudah terpasang selang dan alat perekat. Juga alat pacu jantung dikejutkan beberapa kali pada Nana. Aku tak percaya semua ini.
Nana masih hidup kan?
Alam seketika sunyi senyap. Tak sadar aku sudah berada di rumah kecil itu. Aku melihat setumpukan baju yang kesepian. Semua warna terlihat memudar. Dan tentu saja yang sangat pasti aku rasakan—semua ini seperti mimpi. (*)

Kamis, 10 Maret 2016

Sebuah Upaya


Ini tentang upaya membangun sebuah kebiasaan. Menulis namanya. Aku rasa, terdengar mudah bila hanya untuk mengetik atau membuat manuskrip. Nyatanya, ide-ide itu tak jua muncul ketika telah lama menatapi layar netbook yang cahayanya sudah aku redupkan. Aku ingin menulis agar aku abadi di dalamnya. Lebih abadi dari sebuah luka yang telah lama terpendam dan tak bisa dilupakan. Bukan karena tak ada hal yang lebih penting dari sekedar melupakan kenangan pahit. Tapi waktu belum mengizinkan luka itu disapu oleh kebahagiaan.
Menulis bebas katanya. Begitu orang bijak mengatkan ketika kita sedang tidak punya ide untuk menulis. Hal tersebut sudah menjadi hal umum selain ampuhnya sebuah pengalaman pribadi.
Ini tentang sebuah kegalauan. Boleh kan seorang penulis galau? Tentu saja boleh. Apakah terlalu banyak ide di kepala ini? Atau kalimat indah dan motorik masih belum bertemu tepat? Aku masih saja sebuah kata yang tak ingin aku biarkan bersarang di dalamnya—bingung.
Kadang aku merasa, waktu sedang mempermainkanku. Perihal menulis ini sungguh sangat krusial. Karena terlampau krusial-lah semuanya serba menyeramkan. Takut-takut yang ditulis itu tidak seindah yang dibayangkan. Kan memang begitu. Yang terencana saja bisa berntakan. Ekspektasi kadang berbalik dengan realita.
Jadi, apa maksudnya tulisan ini? Tentulah perkara waktu. Ia adalah paten tidak bisa diulang. Hanya diratapi dan masihlah sebuah kenangan. Jika ini adalah waktumu untuk mengabadikan diri, maka lalukanlah. Sekalipun menuliskan sebuah kata itu sangat sulit. Seperti halnya saat aku menulis untaian yang entah apa. (*)

Selasa, 08 Maret 2016

Ketika Angin Jatuh Cinta

Aku terlahir ketika mentari pagi berpendar. Aku tinggal di sebuah padang rumput di kota Karuma. Setiap hari, aku berhembus menelusupi celah rerumputan yang berbaris rapih. Jika aku sedang berada di atas, aku dapat melihat lapangan hijau membentang. Lalu ia muncul dan membuatku jatuh cinta.
***
Hari ini aku berhembus bersama turunnya hujan. Aku sedikit terseok ketika hendak berjalan santai. Seperti kata penyair yang sedang mencariku. Ia mengagumiku yang berhembus santun. Matanya terpejam. Rambutnya basah. Namun, bibirnya membentuk sabit. Manis sekali.
Aku hanya berhembus sebagaimana alam menginginkanku pergi. Sejak aku lahir, aku selalu berputar-putar di sini—di tempat rumput-rumput menari. Di ujung padang lalu mengawinkan bunga timun suri. Mereka bahagia, tapi tak mengenaliku. Aku tak mengerti. Aku hanya bisa merasakan, namun tak bisa melihat diriku. Aku bahkan tak mengerti apa tujuanku berada di sini. Sempat terbesit dalam diriku untuk—berhenti berhembus.
Dia mulai muncul. Manusia menyebutnya pohon. Ya.. Pohon kecil yang baru lahir. Aku taksir tingginya sekitar 3 cm. Aku menyapanya seperti halnya aku menyapa barisan rerumputan. Aku melihatnya melengkung. Apa aku menyakitimu, wahai makhluk kecil?
Aku masih berhembus walau tak tahu arah dan tujuan. Aku menyapa mereka seperti biasa. Tak terkecuali makhluk yang diameternya sekitar 50 cm. Rambutnya berwarna klorofil. Setiap aku melintasinya, tubuhku semakin berisi. Apa ia memberiku makan? Ah! Dia masih kecil. Sendirian pula di tengah hamparan hijau. Tanpa ibu, apalagi ayah.
***
Aku mulai mendengar ada yang lain. Ini bukan bahasaku. Dia memanggilku dari alam terbuka.
Kau! Datanglah. Mengapa kau tak memelukku?
Mungkinkah?
Aku berlari mengikuti muasal suara asing. Bukan terseok. Mungkin lututku sudah beradu-adu. Aku melihat ia masih sendirian. Tapi, mungkinkah ia memanggilku?
“Hai. Apa kau bisa bicara?”
“Ya. Aku menemukan suaraku 3 hari yang lalu.”
“Lalu, apa kau tau siapa namaku?”
“Angin?”
“Dari mana kau tahu?”
“Kau yang selalu menemaniku. Bagaimana mungkin aku tak mengenalmu?”
“Umm. Lalu, kau itu mahluk apa? Kau tak memiliki bunga. Bagaimana anakmu lahir?”
“Oh... Aku kira, aku ini adalah pohon. Aku bertunas. Aku tak memerlukan bunga.”
“Baiklah... Ada apa kau memanggilku?”
“Aku ingin berbicara padamu. Ini rahasia alam.”
“Sungguh? Apa yang ia katakan?”
“Ia menyanjungmu karena kesantunanmu.”
Waktu berputar. Hubunganku dengannya semakin erat. Bahkan dalam gelap, aku masih menelusup di sekitar celah rantingnya. Aku lebih sering dekat dengannya. Sekalipun ia belum beranak.
Hari ini aku menjatuhkan sehelai daunnya. Apa aku menyakitinya? Dia bergeming saja ketika aku memeluknya.
***
Jadi, apa ini seperti kata penyair itu? Bahwa aku sedang jatuh cinta? Ah! Aku tak ingin jatuh cinta pada pohon, jika aku hanya menggugurkannya begitu saja. Kini, ia sudah mulai layu. Sudah lama hujan tak memberinya minum. Aku memperhatikannya dari jauh. Apa ia merindukanku? Atau membenciku?

Minggu, 06 Maret 2016

Ketika Pohon Itu Masih Bertahan

Aku berjalan melintasi pagar-pagar bambu milik tetangga. Semua bangunan masih utuh dan khas tanah Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Tepat di depan rumahku adalah rumahnya Supri, teman kecilku dan juga anak dari bibiku. Rumahku tak berubah sejak terakhir kali aku berfoto bersamanya. Juga dengan sebatang pohon berbunga merah yang masih lekat di hadapannya. Pohon Caliandra. Begitu warga sekitar menyebutnya sebagai pohon yang tak berguna. Namun ibu selalu merawatnya hingga kini batangnya dapat setengah kupeluk.
Hujan sedang turun menemani perjalananku yang kelelahan karena jalan menuju rumahku menanjak. Aku merasakan nafasku ngik-ngik ala ibu-ibu berusia 60 tahun. Aku menatap pada pohon itu dengan seksama. Seperti biasanya aku merasakan seolah gugur daunnya menyambut kedatanganku. Setiap 1 tahun sekali aku akan pulang menemui ibu dan membawakannya manisan. Wanita itu sedang duduk dengan seikat daun singkong di tangannya yang mulai keriput. Sesekali tatapnya menoleh pada pohon itu dan kemudian berlalu menutup pintu. Tak lama kemudian pintu itu terbuka lagi dan kini tatapnya menangkapku lekat.
“Kau sudah pulang.” Nadanya tak jelas bertanya atau menyatakan.
Lalu ia menghampiri lagi pohon Caliandra itu seolah mengajaknya berbicara. Ucapan ibu pun berlalu seperti angin yang menerpaku yang mematung sedang menatap pada Caliandra.
“Bu, mengapa bunga Caliandra masih menguncup? Apakah lebah tak datang untuk membangunkan mereka?”
“Lebah sedang tidur panjang jika musim hujan seperti ini.”
“Bu, esok aku akan melakukan penelitian pada Caliandra. Terutama pada daunnya.”
Ibu tak menjawab dan langsung merangkulku masuk ke dalam.
Aku menatapi Caliandra dari balik jendela. Dia melambai-lambai diterpa angin di kesenjaan. Aku ingat perkataan ibu soal Caliandra yang menurut banyak orang hanyalah pohon yang tak berguna. Ibu bercerita padaku bahwa daunnya pernah menyembuhkan ternak yang sakit. Ketika itu ibu sedang kebingungan dengan ternak yang tiba-tiba menurun nafsu makannya. Ibu mengambil beberapa helai daun Caliandra dan memberikannya pada ternak-ternak. Esok harinya, ternak-ternak itu sudah kembali normal dan mau makan seperti biasa.
Ayam membangunkan kami di subuh hari. Dingin menyentuh kulitku dan membangunkan bulu tanganku. Kutengok Caliandra masih tertidur karena mentari belum menyentuhnya. Hingga cahaya mentari berpendar kearahnya dan daunnya mulai gagah berjejer rapi. Sepagi ini ibu sudah pergi ke gunung untuk memeriksa air yang belakangan ini macet. Di desa kami, sumber air bersih berasal dari gunung. Namun, beberapa waktu ini air tidak mengalir. Aku diamanahi ibu untuk memasak dan membereskan rumah. Pagi itu, aku ditemani bayang Caliandra yang sampai ke teras rumah.
***
Setahun kemudian ketika aku pulang ke rumah, aku melihat Caliandra mulai keriput. Daunnya pun nampak tak lebat seperti terakhir kali aku melihatnya. Aku menatapnya kosong hingga terbawa suasana. Dulu, di bawah pohon Caliandra, Ibu, Aku, dan Ayah selalu berkumpul menikamati sore hari  dengan bercerita kejadian ‘unik’ di hutan. Kini, setelah Ayah berpulang ke Rahmatullah, Ibu selalu memandangi pohon itu dengan mata berkaca-kaca. Kadang, ibu duduk di bawahnya sendirian sambil menatapi daun Caliandra yang dihembus angin.
“Kau merindukannya? Caliandra berdaun rimbun?” Ucap ibu memecah keheningan.
“Ya Bu. Aku pun sedang merindukan Ayah.” Ucapku terlontar tak sengaja mengorek kesedihan.
“Bu, mengapa daun Caliandra mulai habis? Apakah selama aku pergi, ia terserang hama?”
“Tidak, Nak. Beberapa orang di desa memintanya untuk dijadikan obat. Setelah penelitianmu berhasil membuktikan manfaat Caliandra, warga desa banyak yang berdatangan kemari untuk memintanya.”
Ya. Di desaku, hanya Ibu yang memiliki Caliandra. Musabab Caliandra sempat dipandang sebelah mata. Lebih membuatku tak mengerti, Caliandra hanya bisa tumbuh di halaman rumahku. Aku berlalu bersama ibu dan meninggalkan Caliandra yang kesepian.
Caliandra sudah tua. Dia sudah menemaniku sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. “Caliandra akan membuatmu bahagia.” Begitu pesan Ayah sebulan sebelum ia meninggal. Warga sekitar sempat ingin menebang Caliandra. Namun ibuku bersikeras ingin mempertahankannya. Terlebih tempat itu memiliki sejarah di dalam hatinya. Bahkan ibu sampai menelponku untuk segera pulang karena Caliandra terancam mati. Karena aku sedang berkuliah di program studi budidaya tanaman. Ibu yang memintaku mengambil konsentrasi itu. “Nanti kau bisa membudidayakan Caliandra kan, Nak?”
Ibu semakin rentan. Kini ia sering batuk-batuk. Kata ibu, itu hanyalah penyakit orang tua. Aku memandangi Caliandra. Barang kemungkinan ia bisa menyembuhkan ibu. Aku melakukan riset pada Caliandra dan dihubungkan dengan penyakit ibu. Hasilnya menunjukkan bahwa Caliandra bisa menyembuhkan ibu dalam waktu 1 minggu. Aku tersenyum dan lekas kembali ke rumah untuk memberikan obat yang sudah kuramu.
Hujan tidak turun. Angin pun tidak berhembus lantas menggoyangkan daunnya yang bersisa. Kudapati pintu tertutup rapat. Lampu teras masih menyala tak biasanya. Aku memasuki rumah seperti biasa. Tiba-tiba udara dingin menyergapku. Aku khawatir dengan keadaan ibu dan lantas mencari ibu di kamarnya. Ibu berselimutkan sarung milik Ayah. Mungkin ibu sedang merindukannya. Aku tersenyum melihat wajah damai yang tertidur pulas. Kutinggalkan stoples berisi obat untuk ibu di sebuah meja di kamarnya.
Matahari tepat berada di atas kepalaku. Aku sudah merapikan rumah dan menyiapkan makan untuk aku dan Ibu. Aku masih belum mendengar suara ibu hari ini. Kuhampiri lagi ibu yang kala itu masih tertidur. Aku mendekat dan mengusap tangannya yang selalu terasa hangat. Dingin! Dingin sekali. Kali ini aku merasakan dingin tangan ibu untuk pertama kalinya. Aku mendekatkan telunjukku dengan gemetar pada hidungnya. Tak ada udara yang berhembus. Aku terduduk lemas tak mempercayainya. Toloong!!
***
Kebahagiaanku direnggut waktu. Semua nada yang terdengar indah tinggal hanya nada yang berhembus kesepian. Aku menatap Caliandra yang masih berdiri dengan sisa daun di tangkainya yang kokoh. Cahaya berpendar. Esok adalah hari penghargaan untukku. Aku lulus dari Universitas tanpa senyum tulus Ibu dan Ayah yang mekar. Aku berderaian air mata dalam kesunyian.
Aku berhasil membudidayakan Caliandra. Ilmu yang kudapat, cukup membuat Caliandra hidup di halam rumahku yang baru. Aku memilih mengasingkan diri di sebuah desa yang jauh dengan rumah. Namun sesekali aku mengunjungi Caliandra yang semakin tua di depan rumah lamaku yang tak terawat. Aku duduk sendiri menatapi Caliandra yang memekarkan sebuah bunga berwarna merah. Aku melihat padanya dengan seksama. Memperhatikan 3 putik yang hadir di sana. Aku membayangkan kami sedang bercerita di sana. Namun yang kudengar hanyalah kesunyian.
Aku melangkahkan kaki tak merasakan gravitasi. Aku tersandung dan mengeluarkan darah di lututku. Seorang pemuda datang kepadaku dan menguyah daun Caliandra. Ditempelkannya pada lukaku. Aku tak mengenal siapa pria itu. Tapi, senyumnya begitu indah di sebuah kesenjaan yang kurasa sangat dramatis.
***
Aku menikah dengan pria itu. Namanya Seno. Dia membuatku percaya bahwa ibuku tak pernah marah karena aku terlambat memberinya obat. Dia memintaku untuk terus melakukan riset pada Caliandra. Kali ini pada bunganya yang cantik. Seno hadir dan mengisi kekosongan dalam hatiku. Sejak Ibu pergi, tak ada yang mampu membuatku tersenyum selain, Seno. Seno pun membantu risetku karena ia memiliki minat yang sama pada tanaman. Lebih tepatnya, Seno adalah kakak tingkatku yang sudah lulus 3 tahun yang lalu.
Halaman rumahku semakin berwarna. Kini Caliandra dapat menghasilkan bunga berwarna kuning dan biru. Aku memiliki anak kecil berusia 4 tahun. Listi namanya. Ia selalu mengajakku bermain di bawah pohon Caliandra. Listi selalu bertanya mengapa ia merasa bahagia ketika sedang duduk di bawah pohon itu. Aku pun tak mengerti mengapa ucapan itu bisa terlontar dari mulut anakku. Aku tersenyum dan menunjuk  satu warna pada bunga Caliandra.
“Listi suka warna biru kan?”
“Iya. Listi sangat suka.”
“Itulah mengapa listi bahagia. Esok, ibu akan menghadirkan warna oranye di pohon yang baru ditanam ayah.”
Listi memelukku.
Aku melihat, Seno sedang menatapi pohon terbarunya. Aku mengampiri dan mematung di sampingnya. Matanya melirik lalu tersenyum.
“Ia akan hadir di sini.” Ucap Seno.
“Siapa?”
“Caliandra yang kita sukai.”
“Bukankah kita memang sudah menghadirkannya di sini?”
“Caliandra milikmu sewaktu kecil. Caliandra yang akan sama besar dengan yang ada di rumahmu yang lama.”
Aku tak bergeming,
Awan memanggil hujan. Sudah beberapa hari ini cuaca tak menentu. Beberapa Caliandra di depan rumahku mati. Kecuali Caliandra milik Seno. Ia masih kokoh walau diamternya baru 5 cm. Seno menirukanku memandangi Caliandra dari balik jendela. “Ia akan baik-baik saja.” Bisik seno.
“Seno.”
“Ya?”
“Mengapa kau melakukan ini? Menghadirkan Caliandra itu di halaman rumah kita?
“Karena aku ingin kau selalu bahagia. Senyummu selalu mengembang ketika bunga itu mekar.”
“Terimakasih, Seno.” Ucapku terbawa angin.

***
Caliandra. Mengapa kau pernah kesepian? Dan mengapa kini kau gugur lagi? Aku sudah lama mencintaimu. Bahkan sejak aku masih SD. Kau pun selalu mengingatkanku pada orang tuaku. Hembusan angin belum memekarkan bunga. Apakah kau akan hanya mekar jika kumbang datang?
Caliandra. Pada akhirnya mereka akan menyadari kekuatanmu. Kau yang dipandang sebelah mata kini banyak dicari-cari. Semua ucapan memujimu, Caliandra. Jika hari ini kumbang tak bisa membuatmu jatuh cinta pada alam, bisakah setidaknya kau jatuh cinta padaku? Bertahan untukku, Seno, dan juga Listi.

Jurnalistik

Cahaya lampu meja menyinari seluruh pekerjaanmu. Perlahan kau mulai duduk dan mengamati coretan di buku berspiral kesukaanmu. Kau mengerutkan dahi. Mungkin kau sedang berpikir akan kelanjutan kisah itu. Tanganmu mengambil pensil dan mulai menulis.
***
Lemari kaca. Di dalamnya berderet gelas-gelas, kotak musik, dan foto keluarga. Kau berada diantara aku dan dia. Kau sedang memeluk buku berspiral.  Kau sangat gemar menulis. Beberapa diantaranya telah kau ketik ulang dan dikirimkan ke media cetak. Tanpa sadar, aku terperangkap ke dalam buku itu. Hembusan angin yang menelusup lewat celah jendela itu sudah tak dapat kurasakan lagi.
Aku memandangimu dari jauh. Kau sedang memperhatikan pria itu dengan tatapan mengintai. Pria itu sedang duduk di depan meja kerjanya. Ditemani dengan segelas kopi hitam dan alunan musik klasik. Sejak 5 tahun yang lalu, ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis, dia sangat gemar menulis. Namun, ia jatuh cinta pada wanita yang salah. Hasratnya dalam menulis mulai porak-poranda. Bukan karena gadis itu yang melarangnya, tapi karena dia telah pergi untuk selamanya.
  Kau menghampiriku dengan wajah kebingungan. Lalu meminta padaku sebuah buku berspiral yang sama persis dengan milik ayahmu. Kau mengoyak-oyak tanganku sambil merengek. Aku tetap diam. Namun kau masih terus meminta.
Aku berjalan menuju kamarmu. Kau sedang berbaring dengan sebuah kertas HVS dan menuliskan cita-citamu. Jurnalis. Begitu tulisanmu terbaca. Matamu menangkapku dari celah pintu yang kubuka sedikit. Kau menghampiriku dan kembali meminta. “buku berspiral, Bu. Aku ingin yang seperti ayah miliki.”
Kita berjalan berdampingan. Kau nampak tersenyum bahagia ketika mendapatkan buku berspiral itu. Buku itu menjadi milikmu ketika kau bertemu dengan penjaga toko buku. Kau membolak balikkan lembar demi lembar dan mulai mengukir kalimat padanya.
***
Ayah sudah lama berada di balik dunia itu. Sejak ia jatuh cinta dan berakhir ketika ia patah hati. Tak lama kemudian ayahmu meninggal ketika usiamu 8 tahun. Kau hidup bersama pamanmu, Fikri. Kau anak yang malang, namun keinginanmu sangat kuat. Paman Fikri menyekolahkanmu di sekolah jurnalis Indonesia di Bandung (SJI). Tak lama dari itu kau mulai aktif di dunia jurnalis.
Seperti pagi ini kau terbangun dengan manuskrip yang masih harus kau benahi. Matamu agak sembab lantaran kau baru saja kehilangan sahabatmu. Kau berbisik pada foto di lemari kaca itu, “Aku akan datang bersama calon istriku.”
Kartu pers menggantung di lehermu. Dia berayun beriringan dengan langkahmu. Juga dengan beberapa catatan kecil yang akan menemani pekerjaanmu hari ini. Kau mendengar kabar bahwa seorang wartawati telah meninggal dunia di kamar indekosnya. Kau akan mengungkap kematiannya.
***
Lampu kamarmu belum menyala. Kau belum pulang nampaknya. Aku sudah menunggumu dari sejak tadi pagi kau menutup pintu rumahmu. Aku sudah menyiapkan teh, walau hanya aku sendiri yang bisa merasakannya. Aku pun sudah menyiapkan air hangat untuk kau mandi. Kreek.. Pintu terbuka. Wajahmu begitu kusam dan juga aroma matahari masih melekat pada rambutmu yang hitam lebat. Kau bergegas untuk istirahat. Aku paham, kau pasti lelah dan sedang tak ingin membicarakan tentang calon istrimu.
Pagi ini kau sudah siap lagi dengan baju dinasmu. Aku menaksir tas itu pasti penuh dengan tugas-tugasmu hari ini. Langkahmu kembali terhenti di hadapan lemari itu. Kau menghampiri. Wajahmu sejenak menunduk. Menyentuh pigura dan mencium foto kita. Calon istriku sedang sakit. Pernikahan kami ditunda. Ucapmu. Kemudian langkahmu meninggalkan rumah ini.
Aku hadir dalam buku ini sudah sangat lama. Sejak pertama kali kau menuliskan kisah kita. “Melubangi dada Mama” Tulisan pertamamu di koran. Aku tak mengerti. Padahal, kau sama sekali tak melubangi dadaku. Paman Fikri membiarkanmu hidup mandiri sejak kau bersekolah di SJI. Kau menerimanya sukarela dan menghidupi dirimu dari hasil menulis.
***
“Ibu?” Pertanyaanmu setengah berseru saat pertama kali berjumpa dalam buku berspiral itu. Kau membawakan sebuah karya terbarumu. Kau telaten memajang setiap karyamu di majalah dinding di kamarmu.
“Kau sosok yang seperti apa sekarang? Aku hanya bisa mendengar suaramu.” Katamu pada suatu malam.
“Entahlah.. Aku merasa seperti bidadari yang selalu mengawasimu.”
“Lalu.. Mengapa saat itu aku sangat menginginkan buku ini?”
“Aku tak tahu pasti. Tapi kau selalu meniru kebiasaan ayahmu. Pria yang menurutmu sikapnya sangat dingin padamu.”
Kau terlelap dalam alunan musik klasik. Kau masih manis. Setiap hari, buku itu selalu berisi cerita. Lembar demi lembar terisi. Mengisahkan betapa bahagianya memiliki seorang ayah yang cuek namun ada makna dibaliknya. Anakku Santi, seorang jurnalis.

Sabtu, 05 Maret 2016

Aklimatisasi Hati

Aku melintasi jalan itu seperti biasa. Alunan klasik menelusup lewat headphone merah jambu. Langkahku lambat seperti biasa. Menikmati pagi yang masih berbau embun. Firasatku tiba-tiba bertabrakan dengan pagi itu. Apa ini? Bau kenangan? Aromanya sangat lekat di depan penciuman. Warnanya pun begitu khas masa lalu—hitam putih dan abu-abu. Aku tak tahu apa yang membuat langkahku menemui detik yang dulu pernah kulalui bersamanya. Mungkin karena puisi dan juga bahasa indah.
Aku melihat kau sedang menatap langit yang mulai gelap. Bahasamu lebih santun dari terakhir pertemuan kita. Kujabat tanganmu dan kulempar senyum seperti biasa. Jadi, kau masih menulis puisi? Ungkapku melihat selembar kertas bertuliskan senja. Kau hanya tersenyum pada alam lalu menulis kata selanjutnya, indah—senja yang indah.
Ini akan menjadi pandangan buruk. Anak kiyai Rosidin belum kembali ke pondok di senja seperti ini. Begitu katamu menyapaku di kesenjaan. Kita langkahkan langkah kecil-kecil menuju taman yang dikerumuni banyak orang. Setidaknya kita tidak hanya berduaan saja. Begitu lagi ucapmu membela keadaan.
Kita sudah menunaikan solat. Kutemukan wajahmu bercahaya. Aku kira itu adalah efek lampu penerangan jalan. Kau membawaku menuju pinggiran jalan di mana orang-orang berlalu-lalang. Mulutmu masih terkunci rapat. Sementara aku terus memikirkan kalimat apa yang paling baik untuk menyudahi pertemuan itu. Wajahmu masih terlihat bahagia. Kulihat sudah 1 bait kau menulis syair itu. Kau yakin masih ingin di sini? Pertanyaanmu mengetuk keras pikirku. Aku memang ingin pulang tapi—aku menunggu kalimat yang ingin aku dengar.
“Kau tahu, aku bermimpi tentang diriku sendiri. Itulah yang membuatku memintamu untuk hadir di sini—di antara syair yang akan tertulis. Aku melihat diriku berjalan sendirian, tanpa arah maupun tujuan. Aromaku khas keputusasaan. Tatapku berkunang-kunang memandangi deretan lampu kota berwana kuning. Angin malam semakin menekan mataku. Pun dengan alam yang menurunkan hujan. Hujan yang menurutku tidak menyejukkan sama sekali kala itu. Langkahku sampai pada jembatan tua. Aku dengar jembatan itu sangat bersejarah. Konon—di sana adalah tempat Dewi Kelana membunuh dirinya sendiri. Bagi siapa saja yang melintasi jalan itu dengan perasaan patah hati, Dewi Kelana akan hadir dan menyembuhkan lukamu. Aku tak merasa patah hati saat itu. Tapi langkahku terus menju ke jembatan itu.” Aku menyimak perkataannya dengan seksama.
Ketika aku sampai di jembatan itu, aku tak menemukan siapapun di sana. Hanya angin malam yang semakin menekan, juga rinai yang kini berinai-rinai. Aromaku semakin tak karuan, antara kegelisahan juga ketidakserasian. Aku tinggal di sebuah pesantren. Di sana aku mengagumi sosok wanita yang sangat anggun. Mimpiku mengatakan bahwa wanita itu bernama Dewi, anak pak Kiyai Rosidin. Aku tercengang dan semakin penasaran.
“Mimpi itu belum berakhir. Hingga langkahku terhenti di ujung jembatan. Jembatan yang saat ini sedang kita duduk dan kuceritakan mimpiku.” Aku menghela nafas panjang mempersiapkan konsentrasiku. “Lalu hadir cahaya yang sangat terang menjemputku dan aku terbangun dari mimpiku. Kemudian aku menuliskan cerita tentang Dewi, yang katanya adalah anak Kiyai Rosidin. Sejak itu aku mencari alamat pesantren Daarul Madani dan memutuskan untuk tinggal di sana.”
Aku berkedip-kedip penasaran akan arti mimpi itu. Padahal aku dan dia memang sudah asling mengenal sejak dulu. Apa maksudnya dengan mencari tahu tentangku? Bahkan jika boleh diulang—dia adalah mantan kekasihku—dulu sekali saat aku baru mengenal lawan jenis. Begitu pun dia yang mengakhiri hubungan kami lantaran keyakinannya pada aturan islam yang mengharamkan pacaran.
Langit mendung tak karuan. Angin bukan lagi menekan, mungkin ia menusuk. Beberapa orang melintasi kami dengan tatapan aneh. Tentu saja aneh. Kami—aku yang berkerudung panjang sedang duduk dengan pria berpeci. Atau mereka berpikir bahwa kami sudah menikah? Aku mulai sadar bahwa larut sudah sangat dekat.
Kau melirik pada jalanan yang mulai sepi. Begitu pun aku merasakan sunyi mulai meliputi keadaan. Aku berdiri dan mengucapkan salam. Dia mengangguk dan mengatakan bahwa esok akan datang menemui ayahku. Nadanya menekan ketika ucapannya adalah “Ayahmu”.
Bersambung

Jumat, 04 Maret 2016

Pelangi

Aku datang membawa kerinduan yang tertunda. Kulalui jalan yang masih sama seperti dulu--jalan berbatu dengan bunga sepatu di sepanjang jalan. Pria dengan celana hitam panjang sedang duduk di tengah pintu. Memangku sebuah kertas yang aku rasa masih suci. Mungkin ia tak takut apabila jodohnya kembali lagi kerumhanya lantaran ia menghalangi pintu masuknya. Ya, karena ia mungkin sudah berkeluarga. Aku langkahkan kakiku mencoba gaduh. Liriknya sempat menangkapku, namun ia terlepas lagi dan memilih selembar tak berdosa di pangkuannya.

Aku memanggilnya Mas Salim. Usianya terpaut dua tahun denganku. Dia kakak kelasku yang pandai berpuisi ketika aku masih SMA Dulu, kami selalu memandangi langit senja bersama. Memuisikan alam, angin, dan hujan.

Wangi tubuhku khas ala gadis desa. Warna kulitku, baju kebaya yang kuikat ujungnya pun sudah sangat menyerupai gadis desa. Tinggal logatku yang--sunda sekali. Orang berlalu-lalang melintasi rumah nenekku. Beberapa diantaranya melempar senyum dan menanyakan kabarku. Aku mengerti yang mereka katakan. Karena itulah aku menjawabnya, walau dalam bahasa Indonesia.

Pukul 09:00. Nenek dan kakeku baru saja datang dari mencari pakan ternak. Aku ingin sekali ikut ke 'alas'. Barang mungkin aku bisa bertemu dengan nada yang indah di sana. "Nanti kulitmu yang halus bisa tergores ranting." Itu ucap nenek saat aku ingin pergi.


Langkah damai di sore hari membawaku ke sungai Serayu. Kata ibu, sungai itu 'dihuni' oleh sosok pria tampan. Ia akah hadir selepas hujan bersama pelangi yang bersembunyi dibalik gunung besar yang entah gunung apa namanya. Aku duduk menunggu hujan. Di sebuah gubuk tua bersama pencahayaan kecil dari handphone-ku. Keadaan di sini cukup berbeda. Di pinggir sungai aku melihat sebuah batu tertata bersama batu kecil yang biasa aku duduki Ketika SMA. Hari mulai gelap. Hujan mulai menemani. Alam pun memberikan pertanda dari sebuah rintikan yang teratur menyentuh bumi. Warnanya perlahan semakin jelas. Namun mataku masih kabur menatap warna yang tercipta pasti. Me-ji-ku-hi-bi-ni-u. Begitu warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu terbentuk.

"Hai. Boleh duduk di sini?" Begitu ucapmu mengangetkanku. Aku jelas terperanjat dan meng-iyakan permintaanmu. Kau membawa selembar yang aku pikir, ia masih suci. Dan benar saja ia masih suci. Aku tampak kikuk. Melihat pemandangan yang hampir sempurna bila kau ada di sampingku. Belum lagi degup jantungku yang seharusnya baik-baik saja. Seharusnya.

Menunggu hujan? Ah tidak. Jangan seperti itu. Mmm.. Mencari inspirasi? Oh dia pasti akan mengatakan aku sudah menciptakannya.

Aku sedang menunggu suara lembut milik, Yunita. Begitu ucapmu seakan bisa membaca pikiranku. Aku meringis. Ternyata kau masih mengingatku. Hujan mulai reda namun sisanya masih kebimbangan. Suara alam mulai tetdengar jelas. Kau menutup telingaku dengan headphone putihmu. Aku menatapmu. Kau tak suka bunyi jangkrik. Begitu mulutmu terbaca.

Angin menerpa kita. Kau menutup mata seolah menikmati setiap sentuhannya pada tubuhmu yang hanya dibalut dengan sebuah kaos berwarna putih. "Kenapa kau masih tak bernada?" Aku melepas satu penutup telingaku. Memastikan apa yang baru saja kau ucap. "Mengapa kau masih tak bernada?"

Aku menarik napas dalam.

Wangi angin..
Padang rumput di sore hari..
Sampaikan.. Salam.. Gembira..
Hal yang menyenangkan hati,
Banyak sekali bahkan kalau kita bermimpi.
Sekarang ganti baju, agar menarik hati,
Ayo kita mencari teman.

Begitu lagunya. Lagu yang membuat kita bersama dan saling mengingat sampai kini setelah 5 tahun kita berpisah.

Suaramu masih merdu. Khas anak kelas 2 SMA. Ucapmu memecah kesunyian setelah beberapa menit kita menutup mata. Aku ingat. Kau selalu mengatakan itu setelah aku bernyanyi lagu kesukaan kita.

Kau masih berpuisi? Ucapku kemudian. Kau mengangguk malu dan memberikan aku selembar kertas berjudul Alam dan Kesedihan. Puisi itu ditulis pada tanggal 12 Juni 2010. Tepat saat kepergianku ke kota rantau (baca: Bandung)

Aku selalu datang kemari untuk menjaga pangeranmu, pelangi, dan juga senja yang kau cintai. Aku pun mengenali bunyi sepatu yang kau hentakkan sepanjang melintasi rumahku. Ucapmu kemudian.

Aku menyimpan kebahagiaan. Rasanya hampir meletup-letup seperti pop-corn. Apakah itu berarti dia masih menyukaiku?  Hei! Dia sudah berkeluarga. Mana mungkin dia menungguku.

"Apa kau mengira aku susah menikah?" Lagi-lagi kau membaca pikiranku. Aku menunduk dan mengiyakan pertanyaanmu. "Aku sengaja menjaga pintu rumahku agar tak ada yang bisa memasukinya selain dirimu." Aku semakin gila.

Dia hilang. Pelangi itu mungkin sudah terbawa angin. Warnanya tinggal pemandangan langit sore. Tawa kita memenuhi alam yang kesepian. Sampai kau berkata, " Bolehkah kujadikan kau bidadari yang akan hadir menggantikan pangeran ketika pelangi muncul? Dan bisakah aku menjadi pangeran di duniamu yang sepi?"

Kelabu

Langit cerah. Wangi angin sore di padang rumput hijau aroma kebahagiaan. Seharusnya begitu. Lantunan musik saja masih terdengar merdu. Hingga kau hadir dengan wajah dipenuhi kesedihan. Kau menunduk beserta selembar kertas di tanganmu.
Aku mendengar bahwa kehidupanmu akan berubah. Begitu kau sering mengulang kata itu: berubah. Aku pun sadar betul dengan arti kata itu. Kau mulai berubah dari semua sisi, termasuk perhatianmu yang akhir-akhir ini tak ada lagi di hariku. Novel yang kubaca bahkan tak membuatku emosi dengannya. Semua mulai terasa—hambar. Cerita yang berulang terjadi, kini hanya kenangan. Kau berjalan ke barat dan aku tak mengikutimu.
Rupanya kau sedang berbahagia. Alam memberiku kabar bahwa kau sedang bersama duniamu yang baru. Kau berseda gurau dengannya. Aku berjalan tepat melewati batang hidungmu dan kau tak melihatku. Apa kau berpikir bahwa aku adalah angin lalu? Yang hanya melintas lalu menghilang.
Aku baca berkali-kali kisah yang pernah terukir di buku bersampul biru. Warnanya begitu bahagia. Terlebih dengan kedekatan kita—pada awalnya. Hingga kini semua itu hilang. Aku menerka-nerka akan apakah yang membuatmu berpaling begitu mudahnya?
Bukan angin lalu. Mungkin aku adalah detik yang berjalan kebelakang. Mencari-cari sisa kenangan untuk aku kenang atau aku simpan dalam ingatan. Rasanya pahit—begitu banyak orang mengatakannya. Namun aku tak ingin melupakan itu dengan mudahnya, belum lagi tulisanmu yang berterbangan di sosial media. Semua terasa nyata. Seperti awal ketika kita—sedang jatuh cinta.
Apakah aku terlalu mencintaimu? Rasanya sungguh berat ketika semua nada, detik yang pernah berlalu, dan genggaman yang hangat itu kini sudah tak berarti lagi. Aku begitu berharap bahwa sore itu aku tak bertemu denganmu jika kau akan pergi pada akhirnya. “Stasiun kereta api: ada yang naik dan ada yang turun.” Lalu, mengapa kita tak berjalan bersama saja?
Rinai itu mengingatkanku kepadamu. Semua hal yang kutemui mengingatkanku kepadamu. Aku mempertanyakan pada waktu, apakah kau sudah melupakan itu semua? Apakah semua itu sudah tiada artinya lagi? Aku ingin lekas meninggalkan perasaan ini. Seperti halnya kau yang kini sedang bahagia dengan duniamu. Namun itu lagi permasalahannya. Aku—terlalu mendambakanmu. Dongeng indah tentang dinda dan kanda yang kita ciptakan, masih aku rasakan. Walau mungkin kini kanda sudah tiada.
Aku, Alinda. Hidupku kelabu sejak kau meninggalkanku.

Rabu, 02 Maret 2016

Semburat dalam Kegelapan


Lasmi. Dia adalah gadis keturunan Sunda-Jawa. Warna kulitnya kuning langsat. Matanya selalu berbinar ketika hujan turun. Bila kau melihat kedalam tatapannya, kau akan merasakan cinta. Laksana embun pagi yang selalu setia membasahi dan lenyap didekap cahaya. Semakin hujan turun, semakin kau mencintainya.
***
Dia duduk menatap bayang yang semakin memburam dibatas hari. Garis jingga yang semburat ke arahnya, kini hanya bersisa sebuah kegelapan. Alunan khas penghuni malam terdengar nyaring kala itu. Tangannya yang gemetaran menggenggam gagang pintu almunium yang kedinginan. Langkah perlahan mengantarkannya tepat menghadap dunia yang gelap gulita. Ya. Aku masih menunggumu! Ucapnya lantang dalam batin.
Sendiri lagi tergeletak di bangku berbahan bambu. Begitu pemadangan setiap pagi yang terlukis di halaman rumah milik Lasmi. Warga sekitar paham betul akan kesetian Lasmi. Sudah 8 bulan Santo suaminya tidak kembali ke rumah. Matanya yang indah mulai terbuka ketika semburat menyentuh wajahnya yang ayu. Derap langkah gagah terdengar mantap. “Kau kah itu Mas?” Suaranya yang lembut membuat siapapun jatuh cinta. Seharusnya begitu. Namun langkah yang mantap itu mulai menjauh dari balik semak. Ia melongokkan kepalanya seraya menyelipkan rambutnya dibelakang telinga. Sayang, ronanya kini sudah hilang.
Angin malam menelusup celah jendela. Kegelisahan. Belum berani berucap maksud, matanya yang indah menemuinya. Ah sudahlah! “Dinda. Mas ada tugas mendadak. Tadi pemimpin pasukan meminta Mas untuk melawan tentara Jepang. Esok pagi, Mas dan Andi akan berangkat pagi-pagi sekali.” Kasar telapaknya menyentuh lembut jemari mungil Lasmi. “Berapa lama Mas akan pergi?” Genggamnya erat. Senyum tulus mengantarkan keyakinan. “Tidak lama.” Si cantik tersenyum simpul.
Tas besar melekat di pundaknya yang kekar. Langkah tegas Santo membawa serta Lasmi mengantarnya ke depan rumah. Angin menyapa lembut rambut sebahunya. “Mas akan segera pulang. Dinda jangan merisaukan Mas.” Sembari mengusap kepalanya. “Dinda akan setia menunggu, Mas.” Santo menghilang di ujung jalan. Aroma kesunyian mulai tercium. Sangat tajam.
Hari berganti. Santo belum juga datang. Suara radio terus memperdengarkan berita terkini. Tapi tak satu pun kabar tentang suaminya mengudara. Hanya kegelisahan yang menjadi-jadi. “Hanya sebentar. Nanti Mas akan cepat pulang.” Begitu ngiangnya.
Langkahnya melayang. Ia memnayangkan genggaman tangan Santo yang selalu hangat. Lalu dari sudut yang mulai berlinang. Terduduk kembali sendiri di tempat yang baru 1 bulan mereka tempati. Nyaring terdengar perut mulai kelaparan. Namun tak sesuap pun nasi masuk kedalamnya. Pandangnya semakin berkunang-kunang menyambut potret Santo di pelukan.
***
Latihan sudah dimulai sejak kedatangan mereka kemarin. Semua orang bersiap dengan senjata kebanggaannya. Tak terkecuali Santo yang baru menguasai alat perang. Ia begitu bangga membela bumi pertiwi sekalipun harus meninggalkan istri tercintanya.
Hari ini latihan cukup melelahkan. Santo sampai mengigau cukup keras--sangat kelelahan. Esok pertempuran akan di lakukan di jalan Batavia. Andi mulai terlelap walau sebenarnya pikirannya begitu kalut.
Suaranya sangat jelas. Dor.. Dor.. Terlepas dan bersarang di dadanya. Tubuh yang kekar dan kokoh itu tumbang di balik pepohonan. Andi segera menghampiri Santo. Bala tentara yang lain mencoba membalas tembakan. Matanya tertutup. Tangannya memeluk senjata kebanggaannya. Santo selesai di perjuangan ini. “Mohon kutitip dinda Lasmi padamu.”
“Aku memang sempat mencintai Lasmi. Tapi aku sudah merelakannya.” Langkahnya tak karuan. Pikirnya masih pada Santo. Mana mungkin aku menyanding bekas istri sahabatku! Sungguh tak waras! Bukan sekali Andi datang hendak menyampaikan maksud. Namun keberaniannya seketika lenyap. Lenggangnya sudah tak seluas dulu namun masih terdengar gagah. Langkah seorang tentara. “Kau kah itu Mas?” Aku tak sanggup! Langkahnya menjauh dari semak-semak.
Semilir khas pedesaan di pagi hari. Aromanya masih nikmat sampai ke pangkal penciuman. Aku harus mengatakannya! Ya. Aku harus! Kepalnya mengencang. Desa Andi dan Lasmi biasa ditempuh dalam 30 menit berjalan kaki. Langkahnya kini sudah mantap. Instingnya sudah kembali. Terik menyengat melewati celah dedaunan di hutan. Nada merdu bernyanyi menemani perjalan.
Matanya membesar. Di ujung pintu telah berdiri seseorang. Bayangnya jelas sampai kepada ujung pintu kamar Lasmi. Terseok menjemput si pemilik bayang. Matanya berbinar. Degupnya begitu cepat. Tangan mungilnya gemetaran.
“Andi.” Sambil melihat ke balik badannya. “Mana Mas Santo? Dia tidak datang bersamamu?”
Berjalan ke bangku bilik. “Kemari, Lasmi. Ada yang ingin aku sampaikan.”
“Ada apa, Andi?”
“Mas Santo..” Sejenak menarik nafas. “Mas Santo sudah melakukan tugasnnya dengan baik menjaga negara ini.  Begitupun dia sangat mencintaimu.”
“Alhamdulillah..”
“Tapi Lasmi, Mas Santo sudah tiada.” Hujan turun sangat deras.
Hening menyergap. Semua gelap dan berlinang di ke empatnya.
Matanya terpejam namun masih berlinang. Dengan penuh keraguan, tangannya menggenggam telapak Lasmi yang halus. Malam sudah menjelang. Lasmi masih menutup mata. Andi melihat sudutnya menyimpul. “Binar tak hadir saja kau terlihat sangat cantik, Lasmi.” Matanya membuka seketika. Mereka saling menatap dalam kerisauan. Hening kembali.
Bulan berganti bulan. Pikirnya keras teringat satu amanat yang belum ia sampaikan. Beredar kabar bahwa Lasmi mulai depresi. Dahinya mengerut, dadanya sesak. Jemarinya beradu-adu menanti gagang alumunium itu bergerak. Suasana sangat panas padahal pagi masih berteman embun. Warga desa beriringan hendak menanam padi. Senyum ramah bertebaran di mana-mana. Krek. Detaknya semakin tak karuan. Matanya sembunyi di balik pintu.
“Lasmi, kau sudah baikan?”
“Bagaimana mungkin keadaanku membaik Andi?”
Andi berhadapan dengan Lasmi. “Lasmi. Sebenarnya ada pesan Santo yang belum aku sampaikan. Dia meminta aku untuk menjagamu. Aku tak menerima atau menolak permintaannya. Aku serahkan semua padamu, Lasmi.” Suaranya merendah.
Lasmi tak begeming.
“Aku tak ingin menganggu. Sungguh. Ini pun bukan cerita kita yang dulu pernah terukir indah. Bukan. Ini hanya permintaan seorang sahabat.”
“Aku tak bisa, Andi.”
“Baiklah. Tapi jangan sungkan padaku jika kau membutuhkanku.”
Mundur dan semakin jauh. Dipandanginya pundak yang dulu pun pernah menjadi sandarannya. Ucapnya tertahan tak sampai ke udara. Hujan berderai lagi. Langkahnya sempat terhenti dan ucap Lasmi hampir keluar. Andi! Teriaknya dalam hati. Langkahnya kembali berlalu.

Selasa, 01 Maret 2016

Aku & Kamu = Sendirian

Aku sendirian. Ceritanya bukan karena aku lagi ditinggal sama temen kostan pulang kampung. Bukan. Tapi aku emang lagi sendiri. Terutama.. Hati aku. Sendiri di antara limpahan perhatian darinya.
Kamu tidak mengacuhkanku. Tidak. Kamu hanya sibuk. Aku pun sibuk—seharusnya. Tapi bayangnya yang polos itu tak jarang hadir di hadapku dan membuat semuanya menjadi mellow. Seperti pagi ini aku berjalan. Tentunya sendirian. Melangkah melewati beberapa tempat yang pernah aku lewati dengannya. Semuanya nampak hitam putih. Aku melihat kita sedang tertawa. Mungkinkah ini galau yang biasa anak-anak muda katakan? Klasik sekali jika galau itu seperti ini rasanya.
Aku duduk. Menanti dan berharap kamu akan mengabariku. Aku buka hp. Aku lihat WA aku dan kamu. Tiba-tiba muncul arwah. Online! Ya. Kamu sedang online. Tapi pesanku hanya ceklis dua dan berwarna biru. Diread aja.
Aku pulang dengan perasaan kesal. Aku ingin marah padanya. Mengapa kamu tak memberiku kabar padahal kamu sedang online. Aku kesal. Sepanjang jalan aku merajuk. Mengutuk ini itu mereka yang sedang berbahagia di saat aku menderita. Terlintas ‘hidayah’ untuk chatting kamu duluan. Oh.. Ini bukan lagi saatnya memikirkan gengsi. Tapi.. Tanganku tak juga mengetikkan kata. Tidak pula dengan ‘Hai’. Tidak. Aku terlalu kesal.
Aku tiba di rumah. Di sana ada teman sekamarku yang sedang makan siang menuju sore. Aku disambutnya. Aku pasti membalas walau hanya dengan deheman saja. Aku berbaring dan masih memendam kekesalanku hari ini. Terus mengumpat dalam hati. Tak henti-henti. Ya. Aku begitu kesal entah mengapa. Aku lempar kamu jauh-jauh dari pikirku. Namun bayangnya begitu kuat. Belum lagi jika bayang yang muncul adalah senyumnya yang lebar memperlihatkan gingsul pada dunia.
LDR. Gini ternyata rasanya pacaran sama orang yang jauh. Perhatian lewat gelombang. Senyum lewat emotikon. Semua serba palsu. Kecuali hati. Ya.. walaupun jarak membentang, aku masih sadar kalau ini bukan untuk menghukum kita. Tapi untuk menjaga aku dan kamu. Seperti itulah quote yang aku baca. Walau pada akhirnya kita memang sama sama sendiri.

Nostalgia: Kalijati dan Segala Rindu di Dalamnya

Ibu menyuruhku membeli kerupuk. Saat itu langit begitu orange. Aku menghalangi pandanganku dengan kedua tanganku yang menutupi area wajahku. Kata ibu, langit sore yang berwarna orang itu membawa penyakit. Aku tundukkan pula kepalaku untuk mengindari warnanya. Warna orange itu terjadi tak begitu lama. Hanya sekiat 5-6 menit saja setiap harinya.
***
Aku ingat, usiaku sekitar 4 tahun waktu itu. Aku tinggal di sebuah desa di Kalijati, Subang. Aku tidak punya rumah dan tinggal menumpang di rumah seseorang yang kusebut Pak De Santo dan istrinya Ndoro Putri. Aku tinggal bersama ibu, ayah, dan kakak perembuanku, Mbak Waryati.
Ibu bekerja mengurusi ternak. Setiap hari ibu mencari rumput ke kebun dan aku menemaninya. Ayahku bekerja keliling kota menjual bohlam. Sementara kakakku baru kelas 3 di SMPN 3 Kalijati. Kami hidup serba pas-pasan. Jika ayah belum pulang dari berkeliling, ibu dan kakakku akan memotong ayam. Pernah pula kakakku hanya makan nasi yang diseduh dengan air panas lalu ditaburi garam. Walau begitu, kakakku pandai di sekolahnya, juga rajin membantu ibu, baik untuk pekerjaan rumah atau mengurusi ternak.
Berbeda jika ayahku pulang. Ayah akan membawakanku susu SGM yang tak jarang aku makan tanpa diseduh terlebih dahulu. “Kalau begitu cara kamu memakannya, dia akan mengembang dalam perutmu dan membuatmu buncit.” Kakakku menakut-nakutiku. Pekerjaan ayah pun tak tentu. Kadang hingga berbulan-bulan ayah tinggal di rumah. Aku sering di ajak ayah ke kebun. Aku menemaninya mencangkul dan juga panen rambutan. Aku ingat, ketika itu sangat terik di kebun. Ayah beristirahat di bawah pohon cengkeh dan aku memberinya teh manis. Teh manis yang sudah tak lagi hangat dan berisi beberapa semut nakal. Ayah tidak membuangnya, namun sengaja meminumnya. Aku pikir, mereka akan berkembang biak dalam perut ayah. Sama halnya ketika aku tak sengaja menelan biji rambutan. Kata ibuku, biji itu akan tumbuh dalam perutku.
Aku sangat senang jika pergi ke kebun bersama kakaku. Setiap pulangnya, aku akan menaiki sebuah sisa pohon (seperti dahan pohon kelapa yang ujungnya lebar) dan kakakku menarikku sepanjang perjalanan. Belum lagi jika kakakku menaiki pohon jambu air. Aku akan menunggunya tepat dibawahnya yang juga terdapat aliran sungai kecil di pinggir sawah. Jambu yang berjatuhan itu aku kejar-kejar seiring dengan aliran membawanya. Intinya, aku senang bermain air ketika itu. Jika aku pergi bersama ibu dan kebetulan membawa itik-itik kami ke sawah, pulangnya aku akan menemukan telur-telur itik yang tertinggal. Juga satu pohon jambu monyet yang lama sekali tumbuhnya. Setiap pulang berkebun, aku pasti akan mengunjunginya.
***
15 tahun berlalu. Langkahku sudah tak lagi di pedesaan. Langkahku berada di kota yang cukup jauh dari Ayah dan Ibu. Ya. Ini bukan hal mudah menjalani kehidupan dari jarak 17 jam pada Ayah dan Ibu.
 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design