Selasa, 23 Februari 2016

Bagian Hati yang Hilang

Dia adalah cinta pertamaku yang belum lenyap. Kami memutuskan untuk berpisah sudah sejak 2 tahun yang lalu. “Kita harus memperbaiki kualitas diri kita.” Begitu jelasnya dengan nada serius. Nyawa lampu disekelilingku seolah akan keluar dari wadahnya. Ngeblur.
Aku berjalan melewati tempat biasa orang-orang menghabiskan waktu sendirian. Aku pun sedang sendiri kala itu. Hanya sedang bercengkrama dengan angin lembut lalu merangkai sebuah cerita seorang wanita yang sedang patah hati. Ketika jantungku berdebar semakin kencang, selembar kertas yang baru saja kuberi nyawa itu terbang dibawa oleh si lembut yang berubah menjadi ganas.
Keesokan harinya aku sedang duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Cuaca hari ini begitu cerah. Semut-semut kutangkap basah sedang memakan sisa roti yang belum kuhabiskan. Aku melanjutkan kisah kemarin yang masih belum selesai.
“Assalammualaikum, Annisa?” Suara Ikhwan mengagetkanku.
“Oh. Ikhwan. Waalaikumsalam. Kamu mengagetkan saja.”
“Kamu lagi sibuk, Nis?
“Aku lagi nulis cerita. Nggak terlalu sibuk kok. Ada apa ya?”
“Itu.” Menunjuk seorang pria yang tidak aku kenal. “Dia ingin berkenalan denganmu. Ini tulisanmu kan?” Menunjukkan selembar kertas yang kemarin hilang.
“Oh iya. Ini kertasku yang kemarin terbawa angin. Memangnya dia siapa, Ikhwan?
Tanpa menjawab pertanyaankku, Ikhwan berlari membawa pria itu kehadapanku.
“Namanya Khoirul. Dia kuliah di jurusan Teknik seangkatan sama kita.” Jelas Ikhwan.
Ikhwan meninggalkan kami bersama angin yang sama lembutnya seperti kemarin sore.
Aku mulai berkenalan dengan Khoirul. Khoirul menemuiku sore itu lantaran ia ingin mengajakku bergabung dalam grup teaternya. Dia menyatakan ketertarikannya dengan cerita yang aku tuangkan di selembar kertas yang kini sudah mulai luntur tulisannya. Perbincangan kami berakhir ketika rintik hujan mulai menyapa kami di sore yang masih terpancar cahaya mentari. Kami berpisah dengan diakhiri saling bertukar nomor handphone.
Aku membantu khoirul dalam editing skenario. Ini merupakan proyek pertama Khoirul yang berjudul “Sepotong Hati Milik Fatimah”. Aku mulai akrab pula dengan teman-teman Khoirul yang notabene islamik. Tanpa sadar, hari ke hari, penampilanku pun semakin menyerupai mereka. Mungkin ini pun karena karakterku yang cenderung mudah memodeling keadaan sekitar.
Akhir-akhir ini aku memergoki diriku sedang tersenyum sendiri. Rautku tak jarang berubah menjadi begitu bahagia. Laksana insan yang sedang dilanda asmara. Jika kuingat pertemuan hari ini, aku tak bisa tidur dan terus memikirkannya. Khoirul. Lelaki itu hadir begitu saja dan kini namanya mulai kusebut dalam doa di sepertiga malam. Khoirul. Tatapannya begitu santun setiap memandangku. Aku rasa Tuhan sedang membiarkan aku jatuh cinta.
***
Hari ini aku sedang tidak melakukan kegiatanku yang rutin. Keadaan membuatku tehimpit antara harus menyerah atau menemukan aroma baru dalam kisah wanita yang sedang patah hati. Langkahku berjalan tidak sesuai keinginan hatiku. Angin berhembus cukup kencang. Dedaunan yang menguning itu telah menutupi jalanan berbatu lembut.
Aku duduk tepat di depan sebuah pemandangan manusia yang sedang berbahagia sendiri-sendiri. Pancarannya seolah mengajakku untuk berbahagia pula di perasaan yang sedang tidak baik. Ketika angin semakin ganas, selembar kertas menampar pipiku. Tidak sakit sama sekali. Kuambil dan kubaca untaian kata 2 paragraf yang tanggung itu. Aku pandangi keadaan di sekelilingku, berharap seseorang menampakan wajah sedihnya karena selembar kertasnya telah terbawa angin. Hingga awan mendung berkerumun, tak satu pun orang menghampiriku.
Kubaca berulang-ulang kisah yang belum tamat itu. Tak ada nama penulis yang tercantum di selembar kertas itu. Kuputuskan untuk bertemu dengan teman-temanku di kampus. Barang kemungkinan seseorang tahu siapa pemilik tulisan yang belum tamat ini. Aku menyukai alur dan aroma yang tercium darinya. Aku memutuskan untuk mengundangnya bergabung dengan grup teaterku.
Ikhwan mengatakan bahwa ini adalah milik Annisa. Ia adalah siswi sastra Indonesia yang terkenal gemar menuliskan kata-kata yang menyayat. Aku mengetahui hal itu setelah beberapa kali gagal mengetahui si pemilik cerita yang belum tamat ini. Ikhwan mengajakku pergi ke taman di belakang rektorat, tempat di mana Annisa selalu menyendiri dan menghadirkan inspirasi untuk ceritanya.
Mataku sempat perih. Bukan karena sedih atau kelilipan. Aku tak berkedip ketika pandanganku menemukan sosok Annisa yang begitu anggun sedang ditemani semilir angin yang menyejukkan. Aku sempat ragu untuk berkenalan dengannya. Tapi Ikhwan tetap memaksaku dan membawaku kehadapan wanita yang anggun itu. Kami mulai bertukar kata dan tak jarang tersenyum sendiri-sendiri. Aku tak kuasa menatapnya dari jarak setengah lencang kanan ini. Mulutku terlalu kaku untuk berpatah kata terlalu banyak.
Alam mendengar isi hatiku. Rintik mulai turun ketika cahaya mentari masih bersinar sore itu. Aku sudah sempat bertukar nomor handphone dengannya. Bahkan ia pun sudah paham maksudku menemuinya sore itu. Kertas yang belum tamat ceritanya itu mulai terisi satu paragraf hari ini. Tak kusangka tamparan lembut kertas itu membawaku menemui tuannya yang mampu membuatku tersenyum sekaligus membantuku dalam krisis cerita wanita yang sedang patah hati.
Hari berganti hari. Kedekatanku dengan Annisa pun semakin menjadi-jadi. Tetapi tetap saja, jarak antara kami tak pernah melebihi satu lencang kanan, begitupun lencang depan. Aku masih tak kuasa menatapnya dengan seluruh perasaanku yang terpancar di mataku. Sekali tatapku menyergap matanya yang berbinar itu, seketika itu pula aku menjadi salah tingkah. Lagi ketika kuingat penampakannya semakin hari serupa bidadari surga. Dan kurasa, Tuhan sedang mengizinkanku jatu cinta pada makhluknya yang membuatku menyisipkan namanya dalam doa di sepertiga malamku.
***
Lambaian dedaunan itu seolah mengisyaratkan kegelisahan. Sudah beberapa hari ini aku semakin dekat dengan Khoirul. Meskipun pastilah kedekatan kami tak pernah lebih dekat dari pada satu lencang kanan. Ketika itu aku pun merasakan kegelisahan dalam hatiku. Aku tak pernah merasakan perasaan yang begitu hebat. Mampu membuatku berharap pada Tuhan atas seseorang yang belum lama ini hadir dalam hidupku. Khoirul sedang sibuk dengan panggung yang akan digunakan untuk pementasan esok. Aku bergabung dengan teman-teman yang lain membantu mendekorasi panggung yang kala itu sudah dipasang tirai besar berwarna merah marun.
Khoirul meminta para panitia untuk menginap di kampus malam ini. Semua orang tampak kelelahan sekali. Satu per satu di antara kami mulai berguguran ke tempat tidur. Tersisa hanya aku dan Khoirul. Mulutnya belum berkata apapun sejak kami hanya berdua di sana. Aku berjarak sekitar 10 meter ketika Khoirul sedang menatapku. Tatapannya begitu membuatku terbayang-bayang akan rupanya yang menawan. Belum lagi usahanya yang keras memimpin kami semua demi kesuksesan acara. Aku menunduk tak bergeming pula.

Acara hari ini berjalan dengan lancar. “Alhamdulillah. Terimakasih atas kerja keras kalian selama ini. Terimakasih pula kepada Annisa, atas pencerahannya dengan cerita wanita yang patah hati itu. Kuharap kau sedang tidak patah hati.” Kalimat Khoirul ketika evaluasi. Acara hari ini memang berjalan lancar. Belum lagi banggaku ketika melihat beberapa audiens yang menitikkan air mata. Aku begitu mendalami cerita itu. Namun, aku tidak sedang patah hati.
Untuk pertama kalinya, Khoirul, mengajakku bertemu di sebuah tempat yang begitu ramai. Selama aku mengenalnya, Khoirul selalu menyukai kesunyian. Bahkan ia pun memintaku mengoreksi skenarionya dengan keadaan tenang dan sepi. Jam menunjukkan pukul 20:00. Aku bersiap-siap seolah ini adalah hari pertamaku bertemu sang pangeran di cerita dongeng. Aku berdiri di pedestrian yang cukup ramai. Tiba-tiba keadaan terlukis seolah hanya kesunyian ketika pijakan kakinya tepat berada di hadapanku. Kalimatnya terlontar dengan lancar. Suara menghilang tak menyentuh pendengaranku sama sekali ketika itu.
***
Tulisan itu masih tiga paragraf. Aku belum sempat bertemu Annisa untuk memintanya menuliskan kisah yang membuatku bertemu dengannya. Aku sedang mempersiapkan panggung untuk pementasan esok. Teman-teman berjalan bersamaan diiringi senyum khas milik Annisa yang masih sama seperti pertama aku mendapatinya. Manis dan Anggun.
Aku meminta semua panitia untuk menginap di kampus malam ini, mengingat masih ada yang harus dipersiapkan esok pagi. Tirai merah marun sudah terpasang. Pekerjaan kami hampir selesai. Perlahan teman-teman mulai berguguran. Tersisa hanya aku dan Annisa di panggung yang sepi itu. Annisa sedang menghayati rangkaian bunganya ketika mataku tertangkap memperhatikannya. Aku sungguh malu. Aku tundukkan pandanganku setunduk-tunduknya.
Acara hari ini berjalan dengan lancar. Semua orang begitu bahagia dengan pertunjukan drama itu. Bahkan diantaranya begitu menghayati hingga menangis karenanya. Aku begitu penasaran mengapa Annisa dapat menciptakan alur yang begitu menyayat hati. Apakah ia sedang patah hati?
Setelah tulisan itu masih menempel pada papan sterofom di kamarku, aku mulai menemukan jawaban atas kegelisahanku pada Annisa. Hari ini aku berencana bertemu dengannya di sebuah tempat yang ramai di daerah Dago. Aku menegaskan diri untuk serius pada Annisa. Aku berjalan melewati keramaian yang tak begitu aku sukai. Annisa sudah berdiri di sana. Pakaiannya masih telihat anggun seperti biasa.
“Annisa, maaf membuatmu menunggu dan keluar malam hari seperti ini.”
“Iya. Ada apa Khoirul mengajak bertemu di ‘tempat’ seperti ini?”
“Nis..” Kemudian hening menyergap kami. “Sebaiknya kita tak menyimpan baik perasaan yang Tuhan anugerahkan ini.”
“Apa maksudmu?” Matamu berbinar.
“Tak perlu ada hubungan apapun antar kita. Kita harus belajar saling mengikhlaskan dan menerima ketentuan-Nya.” Hening semakin menjadi.

4 komentar:

  1. Pengalaman pribadi ya?
    alangkah baiknya perpindahan tokoh dari Annisa ke Khoirul lebih ditonjolkan sifat k "aku"an-nya. bisa dengan perkenalan nama atau kamu punya ide yang lainnya :)

    BalasHapus
  2. Oh.. begitu :)
    Mungkin agak sedikit membingungkan ya? :')
    Nanti akan saya perbaiki untuk part selanjutnya :)

    BalasHapus

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design