Minggu, 13 Maret 2016

A Wish at Sapporo Clock Tower

Hari itu hujan turun cukup deras. Jalanan perlahan mulai sepi. “Kiri atau kanan ya?” Rautnya menimbang lokasi yang tepat menuju apatermen barunya. “Kiri.” Dan itu adalah jalan yang salah.
Suara langkahnya ditemani riuh hujan yang masih deras. Wajahnya pucat. Tangannya gemetaran. Sudah 1 jam langkahnya masih belum membawanya pulang. Ratih, mahasiswa semester 1 yang masih menyesuaikan diri di Jepang, tepatnya di Hokkaido. Matanya tertuju pada sebuah kafe yang sudah tutup. Lampunya pun bahkan sudah mati. Ia berdiri di teras yang dingin itu berharap hujan segera reda.
Sunyi sekali. Hanya ada suara perut yang kelaparan, juga rintik hujan yang masih deras. Antoni namanya. Pekerja kafe tersebut yang kebetulan bagian piket hari itu. Antoni terkelu melihat seorang gadis tengah berdiri di depan pintu kafenya. Kadang, tubuh gadis itu menahan-nahan keseimbangannya. Dengan gesit Antoni beranjak mengambil kunci pintunya.
Sreet. Antoni membuka pintu. Ratih langsung berbalik badan dan melihat siapa di baliknya.
“Im sorry. Im waiting for the subside.”
“It’s ok, Ms. It doesn't matter if you want to come in. The weather is so cold here.”
“Oh... Thank you. But i think it will be subside soon.”
“Please. Come in.”
“...”
“By the way, what are you doing in this night?”
“I think, i lost my apartement’s way.”
“Oh... Okay. I’ll guide you then.”
“...”
“My name’s Antoni Refalindo. You can call me Anton.”
“Ratih.”
“Well Ratih, i’ll make a glass of tea for us.”
“Im sorry.”
“It’s oke Ms. Just wait a moment.”
Tak lama kemudian, Anton datang bersama 2 gelas tehnya. Ratih sedang memandang kosong ke luar yang semakin sepi.
“Here you are.”
“Thanks, Anton.”
“Hmm... Ratih, are you Indonesian?”
“Yes. Why?
“Its clearly hear on your accent.”
“Hahaha... I see. Im not fluent enough.”
“Well, Ratih. Im Indonesian too.”
“Really? How lucky im. So, you can guide me here?”
“Why not. But, we can use Indonesian for next meet up.”
“Agree!”
Teh yang hangat itu pun lenyap seketika. Percakapan di antara mereka cukup berkesan untuk pertemuan pertama di sebuah malam yang sangat dingin.
***
Pagi itu sudah ramai. Mata sipit mulai terbiasa menghiasi pemandangan Ratih. Langkah orang-orang begitu tergesa-gesa. Itu lah mengapa langkah yang biasa perlahan itu sudah terkikis. Lingkungan mulai membuat langkahnya kian memburu. Dollyn cabella warna krem pemberian dari ibu Ratih pun menemani langkahnya ke kampus.
Arsya dan Helen adalah teman barunya di kampus. Mereka adalah salah satu anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia di Jepang. Percakapan setelah mata kuliah selesai pun memenuhi ruang kelas. Arsya termasuk anak yang aktif, bahkan terlalu aktif. Sementara Helen adalah sosok yang cenderung pendiam, namun tetap asik jika sedang bersama Arsya dan Ratih.
“Mau kemana nih kita?”
“Lapar nih. Makan yuk.” Jawab Ratih.
“Aku juga nih. Kita ke kafe Cure Maid aja. Sekilas aku lihat tadi ada menu baru.”
“Oke deh. Ayo cabut!”
Perjalanan menuju Cure Maid kafe ditempuh dalam 30 menit berjalan kaki. Alunan musik tradisional Jepang mengalun merdu menemani hembusan angin lembut. Tawa mereka tak henti-henti mewarnai perjalanan yang terasa singkat itu. Hingga langkah Ratih terhenti sejenak.
“Kenapa Ratih? Sakit perut lagi?”
“Bukan.” Hening sejenak. “Kita mau ke kafe itu?”
“Iya. Ini kan kafe terkenal di sini. Pelayannya juga ganteng loh.”
“Hmm.. Baiklah.” Sambil memastikan langkahnya.
Ratih ingat betul. Ini adalah kafe tempat Anton bekerja. Langkahnya mantap melintasi pintu kafe itu.
“Over here Ms and Mr.”
“Thanks.”
“Here.” Memberikan buku menu
“Mau pesen apa nih?
“Umi katsu and Honoka 1.”
“Minalinsky Omurice and Nozomi 1.”
“Hanayo onigiri and Rin 1.”
“Well. Wait a moment.”
Beberapa saat kemudian, Antoni datang membawakan pesanan mereka.
“Hai, Antoni.”
“Eh.. Helen. Arsya. Oh... Ada Ratih juga.” Sembari menaruh pesanan.
“Kalian udah saling kenal?”
“Hehe... Begitulah.” Jawab Ratih terkekeh.
“Wah... Gak nyangka ketemu kalian. Udah lama kan gak mampir ke sini.”
“Iya. Dosennya ngasih tugas terus nih,”
“Heem. Bener tuh.”
“Oh iya. Ratih, aku lupa save nomor kamu. Jadi aku gak bisa hubungi kamu.”
“Hmm... Aku kira kamu lupa. Hehe.” Menulis pada kertas tissue. “Ini.”
“Oke. Makasih Ratih.”
“...”
“Aku balik lagi ya. Sibuk banget soalnya.”
“Oke Anton. Semangat. Hehe.” Arsya menimpali di antara langkah Anton yang tergesa-gesa.”
“Ternyata kamu udah kenal dia. Dia banyak yang naksir loh.” Helen memecah keramaian
“Iya tuh. Termasuk Helen.” Arsya menjawab sambil tertawa.
“Apaan sih. Kamu kali. Kan kamu LGBT.”
“...”
***
Ratih. Sore ini sibuk gak? Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat nih. WA Anton melintas di tengah tugas Ratih. Sejenak ia melirik pada tumpukan revisi tugas yang akan dikumpulkan esok pagi.
“Nggak juga. Mau ke mana emangnya?”
“Ada deh. Aku jemput di depan kampus kamu ya. Kamu kuliah siang kan? Kebetulan aku free hari ini.”
“Oke deh. Aku tunggu ya.”
Dengan sigap Ratih terfokus pada tugas-tugasnya. Matanya melirik dari ujung ke ujung artikel yang menjadi risetnya. Perlahan hujan turun deras. Matanya melirik pada jendela yang tirainya tersibak angin. “Hujan membuatku bertemu dengannya. Ya. Sudah sebulan ini aku seperti jatuh cinta padanya.”
“Mau kemana kita?”
“Kamu kayak Dora deh. Terus aku harus jawab, tanyakan pada peta?”
“Hahaha.” Mengusap-usap kepala yang tak gatal.
“Kita ke Sapporo Clock Tower. Di sana ada festival.”
“I’ll follow you.” Ratih menyeringai.
Sepanjang perjalanan menuju SCT, Anton menjelaskan tempat-tempat penting di sepanjang jalan seperti pemandu wisata. Terkadang, badannya setengah membungkuk ketika suaranya terlalu keras. Ratih tertawa melihat tingkahnya yang begitu—lucu. Kedua tangan Ratih pun juga menutup mulutnya khawartir tawanya mengganggu penumpang yang lain.
Sampailah mereka di SCT. Senja sudah terlalu senja. Lampu kota bersinar indah menemani keberadaan pengunjung festival. Entah sejak kapan itu terjadi—genggaman erat Anton. Langkahnya beriringan menelusupi ramainya SCT saat itu.
“Kita di sini saja. Sebentar lagi festival akan dimulai.”
“Hmm... Baiklah. Tapi, bisa nggak kamu lepasin tangan aku?” Matanya melirik tajam.
“Oh... Iya maaf. Aku takut kamu ilang. Di sini kan ramai.” Kilahnya
“...”

Orang bilang, ini adalah festival penuh cinta. Siapapun yang datang kemari bersama seseorang yang dikasihi, mereka akan hidup bahagia. Apa itu berarti Anton menyukaiku? Ah... Tidak mungkin. Pikirnya teringat kedua sahabatnya yang mungkin—menyukai Anton.

Bersambung (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design