Selasa, 15 Maret 2016

Pulang

Ibu. Pagi ini aku melangkahkan kaki ke Universitas ternama di Indonesia. Ini bukan pulang kampung pertama untukku. Tapi, rindu yang kupendam selama setahun ini membuatku menjadi pilu. Ya... Aku mengerti bahwa semua yang terjadi memang harus seperti ini. Terutama—rindu yang sangat mencengkam batin.
3 bulan masa liburanku pun telah usai. Hari ini—pagi-pagi sekali—aku melihat Ibu sudah sibuk di dapur. Memasak tempe manis dicampur kentang. Sementara Ayah pergi ke Margahayu membelikanku telur asin. Aku merasa sedih—hari itu adalah hari terakhirku berada di Bandung.
Tasku sudah kuisi penuh dengan barang-barang. Minum, makan, headset, sudah lengkap semua. Bahkan tak lupa aku bawa pakaian pemberian ibu. Warnanya merah jambu bunga-bunga. Kata ibu, aku terlihat manis saat mengenakannya. Sementara Ibu hari itu tidak membeli satu pakaian pun. Aku ingat: seorang Ibu akan selalu bahagia melihat anaknya bahagia. Sekalipun ia tak harus memakai baju baru di hari raya.
Hari itu, ibu ingin memakai jilbab yang modern. Aku diminta ayah untuk memasangkannya pada ibu. Ibu terlihat cantik, bersemangat dan—begitu bahagia. Ayah mengendarai mobil, mengantarku ke stasiun agar Ibu bisa ikut. Ibu duduk di belakang. Tangannya kadang menggapai kepalaku, mungkin Ibu sangat menyayangiku.
Menuju sore, radio Urban memperdengarkan lagu-lagu yang sering aku dan Ibu nyanyikan bersama. “Kalau denger lagu ini, pasti jadi inget Teteh,” begitu kata ibu. Sepanjang jalan aku pandangi sudut yang cukup asing. Aku jarang melintasi jalan itu, karena memang aku jarang mengitari kota Bandung.
Tak terasa aku sudah sampai di stasiun Bandung. Ayah memrkirkan mobil cukup jauh ke pintu masuk. Aku menikmati detik-detik terakhirku bersama mereka—mendengarkan Ayu Andara mengudara. Sekitar 30 menit sebelum kereta berangkat aku turun dari mobil dan menuju pintu pemeriksaan tiket. Ayah dan ibu berjalan beriringan di belakangku. Sementara aku kesusahan dengan barang bawaan yang begitu—menggunung. “Biarin aja. Nanti kan Teteh juga bawa barangnya sendiri.” Ucap ayah ketika Ibu hendak membantuku.
Aku terdiam sejenak. Menatap kereta yang akan memisahkan aku dengan orang tuaku. Aku berbalik dan memeluk mereka. Sungguh haru. Dadaku cukup sesak menahan tangis yang hendak pecah di antara keramaian sore itu. Ayah mengusap kepalaku. Sementara Ibu berkaca-kaca di hadapanku. Aku tak kuasa menahan lebih lama. Aku berbalik dan meninggalkan mereka dengan lapang dada.
Hati-hati ya Teh. Nanti telpon ayah kalau sudah sampai.
Iya, Ayah.
Jaga diri baik-baik ya Teh. Maaf Ibu belum bisa kasih apa-apa.
Aku bergeming. Bagaimana mungkin mengatakan tidak memberi apa-apa? Aku bisa bersekolah tinggi dan memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka. Aku sungguh tak mampu berkata-kata selain—tersenyum dan memendam air mataku.
Sore itu, aku merenung dalam batin. Betapa bahagianya aku memiliki orang tua yang hebat—sangat hebat seperti mereka. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang mampu membiayai hidupku. Ayah. Walau usianya sama dengan kemerdekaan RI, Ayahku masih bekerja di sebuah CV. Aku sungguh bangga. Suatu saat nanti, aku akan pulang dan membuat mereka bangga kepadaku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design