Kamis, 14 April 2016

Pertemuan-pertemuan dan rasa-rasa yang tercipta

Ini tentang sebuah pertemuan antara aku, dia yang mengingatkanku pada kesunyian, dia yang selalu tak pernah bertemu pandang denganku, dan dia yang tiba-tiba meramaikan sepiku.

Seniman. Aku tak tahu mengapa aku menyebutnya seniman. Apakah karena rambutnya yang keriting mengembang, berasal dari kota gudeg, dan piawai berpuisi? Entahlah. Pertemuanku dengannya berawal ketika kampusku akan melaksanakan PEKSIMA (Pekan Seni Mahasiswa) tingkat universitas. Kebetulan, aku mengikuti lomba menulis cerpen. Sekitar satu minggu sebelum pekan seni dilaksanakan, kami--para kandidat-- dilatih untuk menulis. Aku pun tak tahu mengapa aku memilih bidang ini. Mungkin karena selama 30 hari aku mengikuti tantangan menulis, baik itu menulis cerpen, atau hanya tulisan yang entah apa jenisnya. Sebelum aku terpilih menjadi kandidat menulis cerpen, aku harus mengikuti seleksi tingkat fakultas. Saat itu, kami harus menulis cerpen tentang pohon. Akhirnya, tiba hari di mana aku terpilih menjadi 1 dari 3 kandidat fakultasku. Sampai pada suatu malam, aku bertemu dengannya--seniman.
Ada yang berbeda. Tatapan lembut itu tepat mendarat di kedua mataku. Aku tak tahu mengapa pemilik mata itu sangat tepat menatap pada mataku. Terkadang aku merasa, oh tidak, bahwa aku mengaguminya sejak pertama aku bertemu dengannya. Belum lagi Anissa, salah satu kandidat cerpen, yang mengatakan bahwa "seniman" itu menyukaiku, semakin menjadi-jadilah perasaan itu. Esoknya, hatiku mulai tak karuan. Kadang gugup dan salah tingkah saat berhadapan dengannya. Namun, aku pastikan aku tak akan mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya. Hingga tiba hari di mana aku terakhir melihatnya. Aku berjabat tangan dengannya, menandakan bahwa pelatihan menulis cerpen itu sudah selesai. Betapa aku tak ingin melepaskan jabatan tangan itu. Hingga aku tersadar, aku terpisah oleh si pemilik mata lembut itu, yang mengingatkanku pada indahnya kota Yogyakarta, kesunyian, dan tentunya tatapan lembut yang selalu kuingat.

Buronan. Begitulah sejak pertama aku bertemu dengannya. Di depan perpustakaan bersama angin sore dan kicauan burung yang menurut Ayahku adalah burung jogjog. Sampai saat ini, aku tak tahu siapa nama si buronan itu. Tapi, aku selalu ingat saat-saat aku bertemu dengannya. Di hadapan komputer di ruang akses umum perpustakaan, di jalanan pulang, di depan Fakultas Ilmu Budaya, dan tentunya dengan topi yang selalu menutupi pandangannya. Tas yang melekat dipunggungnya begitu besar, layaknya anak rantau yang hendak pulang kampung.
Aku, sebagai salah satu anak rajin yang mengunjungi perpustakaan, tentunya tak pernah kehilangan momen ketika si buronan pun masuk ke perpustakaan. Di antara berbagai pertemuanku dengannya, aku tak pernah mengerti mengapa ia selalu menutup pandang pada dunia sekitar. Matanya selalu menatap ke bawah ketika ia sedang berjalan--tak pernah melihat ke depan. Tentunya, bisa kupastikan, kau tak akan melihat matanya itu.
Lalu, tiba saatnya aku berpapasan dengannya, di sebuah jalan kecil, di bawah terik matahari, dan tentunya masih dengan penasaran yang tak kunjung terjawab. Aku sudah siap, terfokus untuk menyapa si buronan dengan salam. Tapi, hingga tiba saatnya aku mengucapkan salam itu, sebuah dahan mati pohon pepaya, membuatku terhenti mengucapkan salam dan malah "aduh!" yang keluar dari mulutku. Dan, masih bisa dipastikan bahwa si buronan itu tidak menoleh sama sekali padaku yang sialnya sedang kesakitan. Aku membalikkan badanku. Menatap punggung si buronan dengan mata sedikit berkaca-kaca. Juga dengan rasa penasaran yang hingga kini tak juga tuntas.

Masa lalu.  Ini tentunya bukanlah kisah jatuh cinta yang kemudian kandas ditengah jalan, untuk akhirnya tercipta kata yang indah--mantan. Bukan. Bukan itu. Ini tentang pertemuanku dengan teman lamaku di sebuah media sosial. Saat itu, ia--teman lamaku, mulai muncul di beberapa postingan di facebook, seperti like, komentar, atau bahkan sebuah pesan. Awalnya, aku tak begitu memikirkan tentangnya yang sering bermunculan di layar komputer. Hingga, kesepian mulai menyergap. Menahanku erat hingga akhirnya timbul rasa kesepian. Ya. Aku kesepian.
Saat itu, aku memutuskan untuk "sendirian". Memilin beberapa kerinduan dalam sebuah kertas suci, juga dengan alunan khas remaja yang sedang dalam kegalauan. Dengan jelas, dia menyapaku dan mulai berbagi cerita denganku. Aku, sebagai sosok yang menurut beberapa orang cenderung ramah, membalas pesannya. Kami mulai asyik menikmati malam-malam yang kata beberapa orang bilang itu malam yang sepi. Tapi tidak lagi untukku, itu adalah malam yang penuh kehangatan. Walau sebenarnya aku sedang tidak dalam pelukan.
Aku tak akrab dengannya ketika aku mengenalnya dulu. Namun, perbincanganku dengannya kini begitu lancar, tanpa keraguan dan kecanggungan. Beberpa waktu kadang, mungkin ini umum terjadi, perbincangan kami sedikit menyerempet ke dunia percintaan, sampai pernah sesekali gombalan bertebaran di layar handphone-ku. Untungnya, aku tak mengatakan perasaanku, ketika tiba-tiba aku merasa nyaman dengannya. Tak jarang pula ia memujiku, "Kamu cantik kalau pake kaca mata," dan itu membuatku senyum-senyum gila. Sampai suatu ketika, muncul sebuah DP (display picture) di BBM yang menampakkan dirinya dengan seorang perempuan yang juga berkaca mata. Ya, mungkin itu adalah kekasihnya. Aku tak tahu bahkan jika ia sudah memiliki kekasih. Mengingat bahwa perbincangan kami, ya bisa dibilang cukup menyenangkan. Itulah, untungnya aku tak mengungkapkan perasaanku. Jika sampai aku kebablasan, apa jadinya? (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design