Kamis, 18 Februari 2016

Orang Menyebutnya Caliandra

“Matamu berkaca-kaca lagi? Biasanya orang pun akan mengatakan itu ketika langit mulai menurunkan hujan tipis-tipis. Katamu: “Alam mengerti perasaanmu. Kita pasti akan berjumpa lagi."
***
     “Kapan kita bertemu lagi?” Kalimat yang terngiang sepanjang perjalanan. Ketika itu, aku sangat merindukanmu. Kau pun mengatakan hal yang sama. Kau masih ingin melihatku. Tak jarang pula kau ucapkan inspirasi-inspirasi untuk bertemu di Eiffel; candaan yang membawa kita kepada sebuah keseriusan yang orang anggap seperti Caliandra.
"Harus saling support. Harus pinter (IPK bagus). Harus saling pengertian. 2016 harus ada karya yang dimuat. Pandai berbahasa Inggris. Paris."
Jam 06:00 pagi. Demikian kau janjikan untuk mengantarku menuju stasiun esok hari. Aku mencoba agar lekas terlelap diantara suhu yang semakin meningkat dan rendahnya oksigen di kamar temanku, Mara. Aku pandangi wallpaper yang belum berubah sejak aku mendapatkan potret itu. Ya.. Lelaki dengan senyum damai yang memamerkan alam yang menitipkan rindu lewat sinar senja di tepi pantai. Aku sampai berkedip-kedip perih karena memandanginya terlalu dekat. “Mari kita ambil beberapa foto sebelum kita berpisah?” Muncul sekelebat pesan yang kau berikan. “Aku setuju.” Lalu mengatur alarm.
Kuputar badan ke kanan dan ke kiri. Aku belum juga bermimpi. Kupandangi langit-langit tempat tidur tanpa menghitung anak domba. Aku lirik ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 23:15. Nampaknya pikirku masih ingin mengkhayalkanmu yang kini jaraknya hanya sekitar 4 gang dari kost temanku, Mara. Aku ingin menyebut, Mara, temanku. Temanku karena aku mengenal dirimu. Singkatnya, Mara adalah temanmu yang kini menjadi temanku.
Aku memikirkanmu. Kau yang serba sibuk dan dikejar deadline. Mahasiswa asal Bojonegoro yang tak jarang menjadi bahan lelucon di kelasnya. Begitu pula Bojonegoro yang selalu membuatku ingin menemuinya. Terutama jika musim mangga telah tiba. Aku tahu kau masih bahagia tanpa aku. Tanpa ucapan “Selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan.” Atau “Semangat untuk hari ini.” Aku tahu kau masih mempunyai mereka yang selalu membuatmu memikirkannya atau menghabiskan waktu dengannya. Itu anggapanku. Berbeda jika kau bercerita tentangnya. Kau merasa bahwa mereka kadang menganggapmu lemah dan tak bersemangat. Kadang mereka membawa tentang hubungan ini. Tak jarang pula aku mendengar: “Kok dia mau sama kamu sih?” dengan nada mencemooh. “Kamu sangat beruntung bisa mendapatkan dia. Berbeda dengannya. Musibah mendapatkanmu.” Lanjut mereka dengan nada yang sama. Aku tahu kau masih bahagia.
Kau masih berjuang dengan sisa pemberian orang tuamu. Aku mungkin sedang minum es teh atau membeli pentol khas Malang. Berbeda denganmu yang mungkin sedang galau dengan perlakuan apa yang pantas diberikan pada sisa-sisa si penyelamat perut esok pagi. Belum lagi katamu dengan teman perjuanganmu yang sobek hari ini. Si hitam yang membawamu bertemu dengan Mozzam Malik. Juga dengan yang katamu si kekasih hati. Bagaimana aku tak bahagia mendapatkanmu? Juga atas kalimat indah yang kau kirimkan lewat email beberapa minggu yang lalu. Kau terlebihkan. Si gingsul yang selalu membuatku ingin kembali ke stasiun.
Dering alarm memecah kesunyian. Hanya alarm. Tak ada suara ayam berkokok karena waktu telah menunjukkan pukul 04:30 pagi. Belum lagi lokasi kamar Mara yang jauh dari pintu masuk yang mungkin akan menahan gelombang dari ayam berkokok. Lekas aku “PING PING PING”, agar matanya terbuka dan lekas menunaikan shalat subuh yang hampir terang.
Pukul 05:30. Nyawanya mungkin masih di alam mimpi. Terlihat pesan BBM yang masih delivered. “Sejak awal aku tahu bahwa kau tumor. Alias tukang molor.” Bisa-bisanya dia terlelap sangat lama ketika suhu pagi hari saja mungkin terasa pukul 09:00. Aku melihat langit masih belum terdapat goresan orange. Berbeda dengan burung yang sedang berbaris sambil bernada seolah mengucapkan selamat pagi kepadaku. Pagi yang orang jawa timur akan mengatakan “Sumuk.”
  Mara masih tertidur. Wajahnya bercucuran keringat seperti sedang sauna. Aku melangkah menuruni anak tangga yang jaraknya pendek-pendek. Membuatku tanggung untuk melewatinya satu per satu. Langkah yang khas ini sudah mengantarkanku melewati 2 gang. Para produsen dan konsumen sedang melagu tawar menawar dalam bahasa jawa. Jelas saja aku tak paham. “Sekawan-sekawan.” Katanya menunjuk komunitas rempah-rempah. Hingga langkah khas ini sampai pada halaman kontrakannya. Masih sepi. Artinya masih bermimpi.
“Tunggu sebentar.” Balasnya singkat dari sekian pesan yang aku kirim. Aku sudah tahu arti kata sebentar untuknnya. Sebentar adalah arti ketika aku dimintanya untuk menunda bertelepon sejak pukul 20:00 hingga melewati dini hari. Begitu pula sebentar yang dia artikan sebagai pertemuan dengan kawannya hingga aku bisa melakukan rutinitasku seperti mencuci, mengepel, dan menyapu kenangan.
“Aku siap.” Ucapnya ketika jarak kami hanya satu lencang kanan saja. Kau pasti akan tahu bagaimana rasanya berjongkok di depan kontrakan dengan mencoret-coret paving blok. Atau bercengkrama dengan kesunyian. Tapi itu bukan masalah lagi ketika senyummu mengembang. Kau membiarkan gingsul melihat dunia.
Kita duduk berdampingan menunggu waktu perpisahan tiba. “15 menit lagi.” Kataku melirik jam tanpa detikkan. Aku menatap matamu yang kadang memancarkan kesedihan. Juga merasakan genggaman tanganmu yang terkadang hampir meremukkan tulangku. Hingga kita kaitkan kelingking mungil kita. Ala masa kecil ketika akan mengucapkan janji. Ya.. Janji besar yang dengannya kita tersenyum. Berat memang menahan lelah disiksa rindu. “Kita bisa melakukan yang terbaik jika bersama.” Ya.. Bersama. Kau di Surabaya dan aku di Malang. Kita melakukannya bersama dalam setiap doa.

3 komentar:

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design