Kamis, 14 April 2016

Pertemuan-pertemuan dan rasa-rasa yang tercipta

Ini tentang sebuah pertemuan antara aku, dia yang mengingatkanku pada kesunyian, dia yang selalu tak pernah bertemu pandang denganku, dan dia yang tiba-tiba meramaikan sepiku.

Seniman. Aku tak tahu mengapa aku menyebutnya seniman. Apakah karena rambutnya yang keriting mengembang, berasal dari kota gudeg, dan piawai berpuisi? Entahlah. Pertemuanku dengannya berawal ketika kampusku akan melaksanakan PEKSIMA (Pekan Seni Mahasiswa) tingkat universitas. Kebetulan, aku mengikuti lomba menulis cerpen. Sekitar satu minggu sebelum pekan seni dilaksanakan, kami--para kandidat-- dilatih untuk menulis. Aku pun tak tahu mengapa aku memilih bidang ini. Mungkin karena selama 30 hari aku mengikuti tantangan menulis, baik itu menulis cerpen, atau hanya tulisan yang entah apa jenisnya. Sebelum aku terpilih menjadi kandidat menulis cerpen, aku harus mengikuti seleksi tingkat fakultas. Saat itu, kami harus menulis cerpen tentang pohon. Akhirnya, tiba hari di mana aku terpilih menjadi 1 dari 3 kandidat fakultasku. Sampai pada suatu malam, aku bertemu dengannya--seniman.
Ada yang berbeda. Tatapan lembut itu tepat mendarat di kedua mataku. Aku tak tahu mengapa pemilik mata itu sangat tepat menatap pada mataku. Terkadang aku merasa, oh tidak, bahwa aku mengaguminya sejak pertama aku bertemu dengannya. Belum lagi Anissa, salah satu kandidat cerpen, yang mengatakan bahwa "seniman" itu menyukaiku, semakin menjadi-jadilah perasaan itu. Esoknya, hatiku mulai tak karuan. Kadang gugup dan salah tingkah saat berhadapan dengannya. Namun, aku pastikan aku tak akan mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya. Hingga tiba hari di mana aku terakhir melihatnya. Aku berjabat tangan dengannya, menandakan bahwa pelatihan menulis cerpen itu sudah selesai. Betapa aku tak ingin melepaskan jabatan tangan itu. Hingga aku tersadar, aku terpisah oleh si pemilik mata lembut itu, yang mengingatkanku pada indahnya kota Yogyakarta, kesunyian, dan tentunya tatapan lembut yang selalu kuingat.

Buronan. Begitulah sejak pertama aku bertemu dengannya. Di depan perpustakaan bersama angin sore dan kicauan burung yang menurut Ayahku adalah burung jogjog. Sampai saat ini, aku tak tahu siapa nama si buronan itu. Tapi, aku selalu ingat saat-saat aku bertemu dengannya. Di hadapan komputer di ruang akses umum perpustakaan, di jalanan pulang, di depan Fakultas Ilmu Budaya, dan tentunya dengan topi yang selalu menutupi pandangannya. Tas yang melekat dipunggungnya begitu besar, layaknya anak rantau yang hendak pulang kampung.
Aku, sebagai salah satu anak rajin yang mengunjungi perpustakaan, tentunya tak pernah kehilangan momen ketika si buronan pun masuk ke perpustakaan. Di antara berbagai pertemuanku dengannya, aku tak pernah mengerti mengapa ia selalu menutup pandang pada dunia sekitar. Matanya selalu menatap ke bawah ketika ia sedang berjalan--tak pernah melihat ke depan. Tentunya, bisa kupastikan, kau tak akan melihat matanya itu.
Lalu, tiba saatnya aku berpapasan dengannya, di sebuah jalan kecil, di bawah terik matahari, dan tentunya masih dengan penasaran yang tak kunjung terjawab. Aku sudah siap, terfokus untuk menyapa si buronan dengan salam. Tapi, hingga tiba saatnya aku mengucapkan salam itu, sebuah dahan mati pohon pepaya, membuatku terhenti mengucapkan salam dan malah "aduh!" yang keluar dari mulutku. Dan, masih bisa dipastikan bahwa si buronan itu tidak menoleh sama sekali padaku yang sialnya sedang kesakitan. Aku membalikkan badanku. Menatap punggung si buronan dengan mata sedikit berkaca-kaca. Juga dengan rasa penasaran yang hingga kini tak juga tuntas.

Masa lalu.  Ini tentunya bukanlah kisah jatuh cinta yang kemudian kandas ditengah jalan, untuk akhirnya tercipta kata yang indah--mantan. Bukan. Bukan itu. Ini tentang pertemuanku dengan teman lamaku di sebuah media sosial. Saat itu, ia--teman lamaku, mulai muncul di beberapa postingan di facebook, seperti like, komentar, atau bahkan sebuah pesan. Awalnya, aku tak begitu memikirkan tentangnya yang sering bermunculan di layar komputer. Hingga, kesepian mulai menyergap. Menahanku erat hingga akhirnya timbul rasa kesepian. Ya. Aku kesepian.
Saat itu, aku memutuskan untuk "sendirian". Memilin beberapa kerinduan dalam sebuah kertas suci, juga dengan alunan khas remaja yang sedang dalam kegalauan. Dengan jelas, dia menyapaku dan mulai berbagi cerita denganku. Aku, sebagai sosok yang menurut beberapa orang cenderung ramah, membalas pesannya. Kami mulai asyik menikmati malam-malam yang kata beberapa orang bilang itu malam yang sepi. Tapi tidak lagi untukku, itu adalah malam yang penuh kehangatan. Walau sebenarnya aku sedang tidak dalam pelukan.
Aku tak akrab dengannya ketika aku mengenalnya dulu. Namun, perbincanganku dengannya kini begitu lancar, tanpa keraguan dan kecanggungan. Beberpa waktu kadang, mungkin ini umum terjadi, perbincangan kami sedikit menyerempet ke dunia percintaan, sampai pernah sesekali gombalan bertebaran di layar handphone-ku. Untungnya, aku tak mengatakan perasaanku, ketika tiba-tiba aku merasa nyaman dengannya. Tak jarang pula ia memujiku, "Kamu cantik kalau pake kaca mata," dan itu membuatku senyum-senyum gila. Sampai suatu ketika, muncul sebuah DP (display picture) di BBM yang menampakkan dirinya dengan seorang perempuan yang juga berkaca mata. Ya, mungkin itu adalah kekasihnya. Aku tak tahu bahkan jika ia sudah memiliki kekasih. Mengingat bahwa perbincangan kami, ya bisa dibilang cukup menyenangkan. Itulah, untungnya aku tak mengungkapkan perasaanku. Jika sampai aku kebablasan, apa jadinya? (*)

Selasa, 15 Maret 2016

Si Pemimpi di Banjar Anyar

Aku dapat mendengar derit jantung Si Pemimpi. Begitu menggebu dan kurasa Si Pemimpi itu akan membuat aliran di pipinya yang tirus. Ingin rasanya aku menjadi obat kegelisahannya. Ah... Ia hanyalah seorang pemimpi yang mencoba teguh. Ia tersenyum dan memamerkan kacamata yang retak di ujung bagian atas.
Si Pemimpi ini adalah sosok yang sangat sibuk. Hari-harinya dipenuhi dengan jurnal, presentasi, makalah, dan—yang paling penting adalah rapat. Selain aktif, Si Pemimpi ini adalah sosok yang penyayang. Ia sangat mencintai Halimah, ibunya. Pun padaku yang selalu menemani kesehariannya.
Peluh bersarang di ujung-ujung keningnya. Sesekali ia menghisap es teh yang ia beli di depan kampusnya. Tertangkap tatapan gelisah di ujung tugas yang harus dikumpulkan pagi ini. Dengan harap-harap cemas ia menanti Firman, teman sekelasnya. Sembari mengoreksi tugasnya, ia mencoba menelpon ibu di rumah.
Halo?
Iya Bu. Ini anakmu.
Gimana Le kabarmu?
Alhamdulillah baik bu. Ibu sudah baikan? Kata Rahmat, ibu sakit.
Alhamdulillah sudah baik. Gimana kuliahnya?
Banyak tugas Bu. Ini sedang dikerjakan.
Syukur kalau begitu. Jaga kesehatan ya Le. Ibu belum bisa kirim uang.
Ndak apa-apa bu. Masih ada uang cukup sampai akhir bulan ini. Kemarin ada karya yang di muat di Kompas.
Alhamdulillah. Ibu senang mendengarnya.
Bu. Sudah dulu ya. Besok disambung lagi.
Iya Le.
Assalammualaikum.
Waalaikumsalam.
***
Pagi itu sangat sepi. Si Pemimpi berjalan sempoyongan menuju kontrakannya setelah bermalam di basecamp-nya. Langkahnya kadang gemetar setelah menahan lapar sejak semalam. Aku tahu dia terlalu sibuk. Kini Si Pemimpi tengah duduk menatap kosong halaman kontrakan yang memang kosong. Ia penuh rahasia, menggetarkan, dan menanarkan setiap orang yang memandangnya. Tapi, seketika itu pula sabit muncul. Mengundang serta semangat minatnya dalam dunia jurnalistik. Dinyalakannya netbook berwarna birunya dan mulai mengawang. Aku tahu. Ia sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dengan keadaan seperti ini—terlihat seolah kuat. Nyatanya, ia tak bisa berbohong padaku. Ia sangat kebingungan, penuh masalah, dan dibawah tekanan.
Hei. Diam saja. Ayo ke kampus!
Iya sek. Aku lagi bikin opini buat minggu ini.
Ealah. Nanti aja sih. Kan bisa.
Mumpung ada inspirasi.
Siapa tuh inspirator yang menggugah hati sang pemimpi? Cie.
Ada deh. Yang jelas bukan kamu. Haha.
Begitu. Sekalipun aku melihatnya sebuah kebahagiaan. Aku bisa merasakan kesedihan dalam hatinya. Aku tau pasti itu. Aku sudah lama hidup bersamanya.
Puluhan mentari berlalu. Si Pemimpi memutuskan untuk pulang ke Banjar Anyar kampungnya. Penampilannya selalu sederhana. Berbeda dengan mimpinya yang luar biasa: memperjuangkan putra daerah untuk mendapat pendidikan yang layak, membangun desa tercinta menjadi lebih baik. Kini matanya tak bisa mendustai siapa pun. Aliran sungai benar tercipta di pipinya. Bening mengalir menyentuhku. Ketika itu, aku berada di pangkuannya.
Kereta api datang. Udara dingin berhembus tepat ke wajahnya. Dengan penutup wajah, Si Pemimpi benar-benar bermimpi. Bersama setumpuk koran berisi setiap karya yang di muat di media. Tiba-tiba, aku merasakan kehangatan. Ya... Hangat sekali. Mungkin aku berada dalam pelukannya.
3 jam berlalu. Ridwan, adiknya sudah menunggu di pintu keluar. Dengan penuh rindu, Si Pemimpi memeluknya. Ridwan pun tak kalah haru, namun tak sampai mengalirkan sungai di pipinya yang tembam. Lalu, Si Pemimpi naik ke atas motor dan menikmati suasana Banjar Anyar yang selalu sama—panas.
Sawah masih membentang hijau bak lapangan sepak bola. Burung-burung bernyayi. Beberapa diantaranya menyangkut di jaring yang sengaja di pasang oleh petani. Di persimpangan dekat rumah, seorang pemuda menghampiri Si Pemimpi.
Mas? Mas jadi pulang ternyata. Anak-anak banyak yang menanyakan Mas.
Iya Mas. Alhamdulillah. Memangnya ada apa ya Mas?
Mereka meminta Mas untuk mengisi materi jurnalistik. Aku pun melihat karya Mas banyak di muat di media online dan cetak. Selamat ya mas.
Hehehe. Terimakasih Mas. Insha Allah nanti datang ke HPBA (Himpunan Pemuda Banjar Anyar).
Iya Mas. Ditunggu ya.
Lalu, Ridwan melanjutkan perjalanan yang sekitar 1 km lagi. Beberapa warga berbisik, “Dia sudah dewasa sekarang. Ibunya bilang kalau dia sudah bisa membiayai hidupnya sendiri. Bahkan sering mengirim uang ke rumah.” Yang lainnya menimpali. “Alhamdulillah. Dia memang anak yang sholeh.”
Ibu sudah menanti di halaman rumah. Senyumnya pun merekah-rekah melihat Si Pemimpi yang kembali ke rumah. Lalu, tanpa rasa apapun, semua perasaan tercurah dalam dekapan Halimah. Peluknya begitu erat. Bahkan nafasnya tak beraturan. Deritan jantungnya menjadi-jadi. Dulu—lewat halaman rumahnya, sampai berbagai caci-maki ke telinga Halimah dan Si Pemimpi. Namun, agaknya Si Pemimpi sudah dewasa kini. Ya... Si Pemimpi masih terus bermimpi untuk membangun Banjar Anyar lebih baik lagi.
***
Nb: Aku adalah novel yang selalu menemani perjalanannya.

Pulang

Ibu. Pagi ini aku melangkahkan kaki ke Universitas ternama di Indonesia. Ini bukan pulang kampung pertama untukku. Tapi, rindu yang kupendam selama setahun ini membuatku menjadi pilu. Ya... Aku mengerti bahwa semua yang terjadi memang harus seperti ini. Terutama—rindu yang sangat mencengkam batin.
3 bulan masa liburanku pun telah usai. Hari ini—pagi-pagi sekali—aku melihat Ibu sudah sibuk di dapur. Memasak tempe manis dicampur kentang. Sementara Ayah pergi ke Margahayu membelikanku telur asin. Aku merasa sedih—hari itu adalah hari terakhirku berada di Bandung.
Tasku sudah kuisi penuh dengan barang-barang. Minum, makan, headset, sudah lengkap semua. Bahkan tak lupa aku bawa pakaian pemberian ibu. Warnanya merah jambu bunga-bunga. Kata ibu, aku terlihat manis saat mengenakannya. Sementara Ibu hari itu tidak membeli satu pakaian pun. Aku ingat: seorang Ibu akan selalu bahagia melihat anaknya bahagia. Sekalipun ia tak harus memakai baju baru di hari raya.
Hari itu, ibu ingin memakai jilbab yang modern. Aku diminta ayah untuk memasangkannya pada ibu. Ibu terlihat cantik, bersemangat dan—begitu bahagia. Ayah mengendarai mobil, mengantarku ke stasiun agar Ibu bisa ikut. Ibu duduk di belakang. Tangannya kadang menggapai kepalaku, mungkin Ibu sangat menyayangiku.
Menuju sore, radio Urban memperdengarkan lagu-lagu yang sering aku dan Ibu nyanyikan bersama. “Kalau denger lagu ini, pasti jadi inget Teteh,” begitu kata ibu. Sepanjang jalan aku pandangi sudut yang cukup asing. Aku jarang melintasi jalan itu, karena memang aku jarang mengitari kota Bandung.
Tak terasa aku sudah sampai di stasiun Bandung. Ayah memrkirkan mobil cukup jauh ke pintu masuk. Aku menikmati detik-detik terakhirku bersama mereka—mendengarkan Ayu Andara mengudara. Sekitar 30 menit sebelum kereta berangkat aku turun dari mobil dan menuju pintu pemeriksaan tiket. Ayah dan ibu berjalan beriringan di belakangku. Sementara aku kesusahan dengan barang bawaan yang begitu—menggunung. “Biarin aja. Nanti kan Teteh juga bawa barangnya sendiri.” Ucap ayah ketika Ibu hendak membantuku.
Aku terdiam sejenak. Menatap kereta yang akan memisahkan aku dengan orang tuaku. Aku berbalik dan memeluk mereka. Sungguh haru. Dadaku cukup sesak menahan tangis yang hendak pecah di antara keramaian sore itu. Ayah mengusap kepalaku. Sementara Ibu berkaca-kaca di hadapanku. Aku tak kuasa menahan lebih lama. Aku berbalik dan meninggalkan mereka dengan lapang dada.
Hati-hati ya Teh. Nanti telpon ayah kalau sudah sampai.
Iya, Ayah.
Jaga diri baik-baik ya Teh. Maaf Ibu belum bisa kasih apa-apa.
Aku bergeming. Bagaimana mungkin mengatakan tidak memberi apa-apa? Aku bisa bersekolah tinggi dan memiliki pendidikan yang lebih baik dari mereka. Aku sungguh tak mampu berkata-kata selain—tersenyum dan memendam air mataku.
Sore itu, aku merenung dalam batin. Betapa bahagianya aku memiliki orang tua yang hebat—sangat hebat seperti mereka. Ibu, seorang ibu rumah tangga yang mampu membiayai hidupku. Ayah. Walau usianya sama dengan kemerdekaan RI, Ayahku masih bekerja di sebuah CV. Aku sungguh bangga. Suatu saat nanti, aku akan pulang dan membuat mereka bangga kepadaku.

Senin, 14 Maret 2016

Kolase (Rasa-Rasa yang Tertahan)

Alam mengerti tentang kegelisahan para hati yang berjalan tanpa kepastian. Kadang, kau bisa melihat sabit tersimpul rapih. Namun, jika kau telusup dalam ke matanya, kau akan melihat jelas guratan kesedihan terpancar darinya. Hari ini, aku bertemu dengan gadis yang sedang membaca novel di halte Jl. Solo di Sleman.
Tatapnya tertuju pada lembar demi lembar yang teralih setiap 5 menit sekali. Dari penampilannya, aku bisa perkirakan bahwa ia adalah seorang penjaga toko. Pakaiannya hitam dan putih. Rambutnya dikucir ekor kuda. Tapi aku masih memperhatikannya. Tatapan yang teralih pada ponselnya yang berkedip-kedip.
Dia ambil ponsel itu. Beriringan dengannya, bus yang akan membawaku ke Jogja pun datang. Aku duduk bersebelahan dengan wanita itu. Sampai seorang pria datang dan membuatnya duduk bersebrangan denganku. Penumpang belum terlalu ramai. Tapi perdebatan itu cukup membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Nanti malam jadi ke alun-alun?
Jadi.
Kamu pulang jam berapa?
Mungkin jam 17:00 aku udah pulang.
Hmm... Gimana kalau kita ajak Fajar? Dia pasti seneng.
Tapi kan ini acara kita.
Tapi dia juga temen aku.
Yaudah kalau gitu. Kamu pergi sama Fajar. Aku jalan sama yang lain.
Yaudah. Kamu emang gak berubah. Terus aja kekanak-kanakan.
Kamu tuh yang mentingin sahabat mulu.
Aku lebih dulu kenal dia dari pada kamu. Lagian aku kan tetep sayang kamu.
Jangan-jangan. Kamu jatuh cinta sama dia. Aku tahu kok kalau dia suka datang buat beli buku di toko kamu.
Hei. Kamu jangan nuduh gitu dong. Dia kan ngajarin anak-anak jalanan.
Terus aja belain dia.
Terus aja nuduh-nuduh dan buruk sangka.
Udah lah! Aku capek gini terus.
Yaudah.
Yaudah. Kita putus.
Yaudah.
***
Kini aku sedang memandangi jalanan yang ramai. Menikmati suasana Jogja di malam hari. Wedang ronde mengepul di atas meja kecil yang menghadap para penikmat alam.
Dari jauh, samar-samar kulihat langkah yang derapnya terhenti-henti. Salam remang, kulihat ponselnya diangkat-angkat ke udara. Mungkin ia kesusahan mencari sinyal.
Aku sedang tidak menunggu siapa pun. Aku hanya penikmat malam yang kesepian. Sampai orang itu menghampiriku dan...
Maaf. Boleh minta tolong nggak?
Boleh. Apa?
Boleh pinjem HPnya? Sinyal aku nyala mati.
Boleh.
Terimakasih.
Kemudian, datang seorang pria dengan motor matik plat H.
Hai. Akhirnya kamu nyampe. Maaf ya? Tadi sinyalnya jelek.
Iya gapapa. Wah... Kamu nggak berubah ya. Masih cantik kayak dulu.
Ah kamu bisa aja.
Gimana kabar kamu?
Alhamdulillah baik. Kamu gimana?
Baik juga. Eh... Katanya kamu udah nikah ya?
Belum dong. Hahaha. Emang wajahku kayak emak-emak?
Nggak kok. Hehehe.
Aku ada yang mau diomongin nih.
Apa?
Setelah 3 tahun terpisah. Aku sebenernya ke sini datang untuk--melamar kamu.
Hah? Kamu yakin?
Beneran. Datang dari Kalimantan buat apa kalau bukan nemuin kamu?
Gimana ya?
Kenapa? Kamu gak bisa ya?
Tapi... Aku udah dijodohin sama orang tua aku.
Dia orangnya.
Aku?
Malam itu sungguh tak pernah aku sangka. Ternyata aku bertemu dengan jodohku. Setelah 30 menit mengobrol dengannya. Ternyata ia adalah Rahma, pacarku ketika SMP. Sejak itu, hidupmu tak sendiri lagi.


A Wish at Sapporo Clock Tower 2


Semi hampir berlalu. Udara dingin berhembus dari celah-celah jendela. Dering alarm mengantarkan Ratih pada tumpukan tugas yang masih tertata rapih di meja belajarnya. Tangannya yang kuning langsat itu dengan sigap mematikan alaramnya. Dengan semangat, Ratih bersiap menyelesaikan seluruh tugasnya untuk menyambut musim panas yang akan segera datang.
Mentari perlahan menyinari kamarnya yang bernuansa serba putih. Selepas sarapan dan menghabiskan minumnya, Ratih duduk sigap menatap layar laptopnya. Di tengah keseriusan Ratih, sebuah pesan dari Helen datang menggoyah konsentrasinya. “Aku di depan apatermen kamu nih. Jadi kumpul kan?”
Ratih langsung menuruni tangga dan membukakan pintu.
“Hei. Aduh, sori banget ya. Aku lagi ngerjain rieset aku nih. Kayaknya gak bisa jalan deh.”
“Hmm... Sayang banget. Arsya juga udah nungguin loh padahal.”
“...”
“Aku bantuin deh. Gimana? Tapi Arsya ajak ke sini juga. Dia nunggu di mobil soalnya.”
“Aduh. Gak usah deh. Hehehe.”
“Gapapa kali. Ya udah. Bentar ya, aku ke Arsya dulu.”
“Oke deh. Nanti masuk aja ya.”
“Oke.”
Ruangan itu hangat dipenuhi tawa mereka yang khas. Setelah beberapa lama mengerjakan tugas, Helen pergi ke super market untuk membeli makanan. Arsya dan Ratih tampak serius menatapi lembar demi lembar di atas pangkuannya.
“Nanti Setsubun no Hi (puncak musim semi), kamu ada acara?”
“Nggak, Sya. Kenapa?”
“Pengen ke Kyoto nih. Lihat Hanami.”
“Jauh banget, Sya. Sama siapa aja?”
“Ya, kamu sama aku aja. Helen mau pergi sama Anton.”
“Oh gitu.”
Percakapan menuju sore itu cukup membuat keadaan sedikit terguncang. Ketika Ratih harus merelakan perasaannya demi sahabatnya. Ratih pun tersenyum tipis lalu mencoba mengerjakan kembali tugasnya.
***
Anak padi sudah berbaris rapih. Pohon hijau berderet sepanjang jalan. Semi (serangga di musim panas) saling bersautan menemani langkah yang menikmati keindahan—pun kesendirian. Musim panas ini membawa Ratih pada sebuah keindahan alam di sekitar Kyoto—sendirian. Tanpa Arsya, apalagi Anton, sosok yang diam-diam mencuri hatinya.
Geshi (puncak musim panas) akan segera tiba. Ratih berjalan menyusuri pertokoan, berharap menemukan satu yukata yang akan digunakan saat pesta kembang api. Pandangannya menjamah ke semua sudut unik berbunga di etalase. Kadang tatapnya seoalah pengumpulan semua kegelisahan. Ya... Dia gagal bertemu dengannya di festival yang sangat dinantinya. Diantara perhatiannya yang bercabang itu, Ratih menghempaskan keras-keras pengharapannya pada sebuah pilihan—yukata merah jambu. “Kirei desu.” Cantik.
“Kamu kok gak ada kabar? Kita jadi kan ke festival kembang api?” Tanya Arsya di ujung telepon.
“Maaf, Sya. Aku nggak bisa deh kayaknya. Aku lagi pengen sendiri.”
“...”
Langkahnya perlahan menelusuri jalanan yang sangat ramai. Pasangan muda-mudi saling berdampingan. Hingga sebuah genggaman yang ia kenali, merampas tangan yang kesepian begitu saja.
“Hai! Kamu ngilang aja. Kayak  jin.” Deretan gigi menyapa Ratih.
“Anton! Ngapain kok di sini? Kamu bukannya pergi sama Helen, ya?”
“Ih. Kamu cemburu ya? Aku kan mau pergi ke sini sama kamu. Ingat? Aku kan mau jadi tour guide kamu.”
“Ta ta tapi...”
“Ayo. Festivalnya hampir di mulai.”
“Jadi, kenapa kamu pergi gak kasih kabar? Kamu pikir gampang, cari anak ilang di lautan yukata?”
“Kok malah kamu yang marah. Aku kan lagi pengen sendiri. Ya... Wajar aja dong kalau aku ke sini.”
“Non... Sendiri itu mojok di sudut kamar. Di pinggir sungai. Bukannya di festival kembang api. Sendirian pula.”
“...”
“Bilang saja. Kamu ingin ke sini sama aku.” Senyumnya mengembang.
Suasana hening.
“Anton. Boleh nggak kita melihat daun Momoji (daun berwarna kuning, tembaga, ke-emasan. Khas musim gugur)?”
“Kenapa tidak?”
“Apa, kamu gak mau pergi sama pacar kamu?”
Kembang api merekah di semesta alam yang gelap.
“Ayo. Kita buat pengharapan.”
“Emangnya bintang jatuh?”
“Bukan sih. Tapi—aku—lagi jatuh cinta.”
“...”
“Lupain Helen. Aku cinta kamu, Ratih. Sudah lama. Sejak pertama mata yang indah itu menatapku. Dingin. Namun penuh kedamaian.”
“Gimana sama Momoji?”
“Kita akan datang. Duduk bersama dan tentunya—kita sepasang kekasih di musim panas.”
“Setuju.”
Alam berbahagia.

Minggu, 13 Maret 2016

A Wish at Sapporo Clock Tower

Hari itu hujan turun cukup deras. Jalanan perlahan mulai sepi. “Kiri atau kanan ya?” Rautnya menimbang lokasi yang tepat menuju apatermen barunya. “Kiri.” Dan itu adalah jalan yang salah.
Suara langkahnya ditemani riuh hujan yang masih deras. Wajahnya pucat. Tangannya gemetaran. Sudah 1 jam langkahnya masih belum membawanya pulang. Ratih, mahasiswa semester 1 yang masih menyesuaikan diri di Jepang, tepatnya di Hokkaido. Matanya tertuju pada sebuah kafe yang sudah tutup. Lampunya pun bahkan sudah mati. Ia berdiri di teras yang dingin itu berharap hujan segera reda.
Sunyi sekali. Hanya ada suara perut yang kelaparan, juga rintik hujan yang masih deras. Antoni namanya. Pekerja kafe tersebut yang kebetulan bagian piket hari itu. Antoni terkelu melihat seorang gadis tengah berdiri di depan pintu kafenya. Kadang, tubuh gadis itu menahan-nahan keseimbangannya. Dengan gesit Antoni beranjak mengambil kunci pintunya.
Sreet. Antoni membuka pintu. Ratih langsung berbalik badan dan melihat siapa di baliknya.
“Im sorry. Im waiting for the subside.”
“It’s ok, Ms. It doesn't matter if you want to come in. The weather is so cold here.”
“Oh... Thank you. But i think it will be subside soon.”
“Please. Come in.”
“...”
“By the way, what are you doing in this night?”
“I think, i lost my apartement’s way.”
“Oh... Okay. I’ll guide you then.”
“...”
“My name’s Antoni Refalindo. You can call me Anton.”
“Ratih.”
“Well Ratih, i’ll make a glass of tea for us.”
“Im sorry.”
“It’s oke Ms. Just wait a moment.”
Tak lama kemudian, Anton datang bersama 2 gelas tehnya. Ratih sedang memandang kosong ke luar yang semakin sepi.
“Here you are.”
“Thanks, Anton.”
“Hmm... Ratih, are you Indonesian?”
“Yes. Why?
“Its clearly hear on your accent.”
“Hahaha... I see. Im not fluent enough.”
“Well, Ratih. Im Indonesian too.”
“Really? How lucky im. So, you can guide me here?”
“Why not. But, we can use Indonesian for next meet up.”
“Agree!”
Teh yang hangat itu pun lenyap seketika. Percakapan di antara mereka cukup berkesan untuk pertemuan pertama di sebuah malam yang sangat dingin.
***
Pagi itu sudah ramai. Mata sipit mulai terbiasa menghiasi pemandangan Ratih. Langkah orang-orang begitu tergesa-gesa. Itu lah mengapa langkah yang biasa perlahan itu sudah terkikis. Lingkungan mulai membuat langkahnya kian memburu. Dollyn cabella warna krem pemberian dari ibu Ratih pun menemani langkahnya ke kampus.
Arsya dan Helen adalah teman barunya di kampus. Mereka adalah salah satu anggota Himpunan Mahasiswa Indonesia di Jepang. Percakapan setelah mata kuliah selesai pun memenuhi ruang kelas. Arsya termasuk anak yang aktif, bahkan terlalu aktif. Sementara Helen adalah sosok yang cenderung pendiam, namun tetap asik jika sedang bersama Arsya dan Ratih.
“Mau kemana nih kita?”
“Lapar nih. Makan yuk.” Jawab Ratih.
“Aku juga nih. Kita ke kafe Cure Maid aja. Sekilas aku lihat tadi ada menu baru.”
“Oke deh. Ayo cabut!”
Perjalanan menuju Cure Maid kafe ditempuh dalam 30 menit berjalan kaki. Alunan musik tradisional Jepang mengalun merdu menemani hembusan angin lembut. Tawa mereka tak henti-henti mewarnai perjalanan yang terasa singkat itu. Hingga langkah Ratih terhenti sejenak.
“Kenapa Ratih? Sakit perut lagi?”
“Bukan.” Hening sejenak. “Kita mau ke kafe itu?”
“Iya. Ini kan kafe terkenal di sini. Pelayannya juga ganteng loh.”
“Hmm.. Baiklah.” Sambil memastikan langkahnya.
Ratih ingat betul. Ini adalah kafe tempat Anton bekerja. Langkahnya mantap melintasi pintu kafe itu.
“Over here Ms and Mr.”
“Thanks.”
“Here.” Memberikan buku menu
“Mau pesen apa nih?
“Umi katsu and Honoka 1.”
“Minalinsky Omurice and Nozomi 1.”
“Hanayo onigiri and Rin 1.”
“Well. Wait a moment.”
Beberapa saat kemudian, Antoni datang membawakan pesanan mereka.
“Hai, Antoni.”
“Eh.. Helen. Arsya. Oh... Ada Ratih juga.” Sembari menaruh pesanan.
“Kalian udah saling kenal?”
“Hehe... Begitulah.” Jawab Ratih terkekeh.
“Wah... Gak nyangka ketemu kalian. Udah lama kan gak mampir ke sini.”
“Iya. Dosennya ngasih tugas terus nih,”
“Heem. Bener tuh.”
“Oh iya. Ratih, aku lupa save nomor kamu. Jadi aku gak bisa hubungi kamu.”
“Hmm... Aku kira kamu lupa. Hehe.” Menulis pada kertas tissue. “Ini.”
“Oke. Makasih Ratih.”
“...”
“Aku balik lagi ya. Sibuk banget soalnya.”
“Oke Anton. Semangat. Hehe.” Arsya menimpali di antara langkah Anton yang tergesa-gesa.”
“Ternyata kamu udah kenal dia. Dia banyak yang naksir loh.” Helen memecah keramaian
“Iya tuh. Termasuk Helen.” Arsya menjawab sambil tertawa.
“Apaan sih. Kamu kali. Kan kamu LGBT.”
“...”
***
Ratih. Sore ini sibuk gak? Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat nih. WA Anton melintas di tengah tugas Ratih. Sejenak ia melirik pada tumpukan revisi tugas yang akan dikumpulkan esok pagi.
“Nggak juga. Mau ke mana emangnya?”
“Ada deh. Aku jemput di depan kampus kamu ya. Kamu kuliah siang kan? Kebetulan aku free hari ini.”
“Oke deh. Aku tunggu ya.”
Dengan sigap Ratih terfokus pada tugas-tugasnya. Matanya melirik dari ujung ke ujung artikel yang menjadi risetnya. Perlahan hujan turun deras. Matanya melirik pada jendela yang tirainya tersibak angin. “Hujan membuatku bertemu dengannya. Ya. Sudah sebulan ini aku seperti jatuh cinta padanya.”
“Mau kemana kita?”
“Kamu kayak Dora deh. Terus aku harus jawab, tanyakan pada peta?”
“Hahaha.” Mengusap-usap kepala yang tak gatal.
“Kita ke Sapporo Clock Tower. Di sana ada festival.”
“I’ll follow you.” Ratih menyeringai.
Sepanjang perjalanan menuju SCT, Anton menjelaskan tempat-tempat penting di sepanjang jalan seperti pemandu wisata. Terkadang, badannya setengah membungkuk ketika suaranya terlalu keras. Ratih tertawa melihat tingkahnya yang begitu—lucu. Kedua tangan Ratih pun juga menutup mulutnya khawartir tawanya mengganggu penumpang yang lain.
Sampailah mereka di SCT. Senja sudah terlalu senja. Lampu kota bersinar indah menemani keberadaan pengunjung festival. Entah sejak kapan itu terjadi—genggaman erat Anton. Langkahnya beriringan menelusupi ramainya SCT saat itu.
“Kita di sini saja. Sebentar lagi festival akan dimulai.”
“Hmm... Baiklah. Tapi, bisa nggak kamu lepasin tangan aku?” Matanya melirik tajam.
“Oh... Iya maaf. Aku takut kamu ilang. Di sini kan ramai.” Kilahnya
“...”

Orang bilang, ini adalah festival penuh cinta. Siapapun yang datang kemari bersama seseorang yang dikasihi, mereka akan hidup bahagia. Apa itu berarti Anton menyukaiku? Ah... Tidak mungkin. Pikirnya teringat kedua sahabatnya yang mungkin—menyukai Anton.

Bersambung (*)

Jumat, 11 Maret 2016

Kilas-Kilas Kesunyian


Di kehidupan ini tak ada yang abadi. Semua datang dan pergi silih berganti. Perasaan hati manusia bermain bersama waktu dan tak ada yang tahu selain Yang Maha Kuasa. Kehidupanku sangat luarbiasa—awalnya. Dia selalu menemaniku. Bahkan hanya untuk meluapkan kekesalanku, dia masih mendampingiku. Duniaku yang indah. Hingga kilas-kilas itu menghampiriku dan menemani sisa hidupku.
***
Aku sandarkan anak tangga sampai ke atas dapur milik ibu. Kuambil sebuah buku dan memberinya goresan yang orang umum menyebutnya keindahan. Angin semilir menerbangkan rambutku sampai menutupi sebagian wajahku. Di ujung pandang aku melihat Wandi bersama Edo, adiknya. Tawanya riuh memecah konsentrasi yang sebenarnya tak seberapa fokus. Aku menatap kosong kedepan. Pada sebuah kejadian yang menghilangkan dia dari duniaku.
Maulana, adikku. Matanya sayu, wajahnya tampan, kulitnya sawo matang, dan tingginya tepat sebahuku. Nana. Begitu biasa aku memanggilnya. Dia sedikit pemalu pada dunia baru. Aku pernah sekali menemaninya sepanjang hari di kelas 1 SD. Bu Yuli memanggilku lantaran ia tak mau belajar dan terus menangis. Tak jauh berbeda dengan hari yang lain. Matanya pasti akan berkaca-kaca ketika aku hampir melewati pintu keluar kelasnya. “Dia harus berani. Dia adalah laki-laki.”
Iringan langkahnya membawa serta teman-temannya. Ia mulai terbuka dengan dunianya setelah beberapa kali aku memaksanya pergi dan pulang sekolah sendirian. Itu pun setelah vakum 1 tahun untuk memberanikan dirinya.
Seperti halnya adik-kakak pada umumnya. Siapa sih yang tak pernah bertengkar?
Hari itu adalah hari jumat. Seperti biasa aku mengaji di Madrasah Al-Muslimun selepas magrib. Ringan saja. Jemariku mencubit tangan adikku karena menghabiskan semua air di penampungan. Selepas ia menangis, aku pergi mengaji. Aku tak merasa bersalah—awalnya. Namun sepanjang perjalanan, perasaanku tak enak karena mencubitnya cukup keras. “Aku akan meminta maaf selepas mengaji.” Begitu pikirku.
Matanya sudah tertutup. Nana sudah terlelap. Aku melihat ransel milikku sudah menggantung di paku yang dipasang dekat tempat tidurnya. Aku ingat betul, tas itu baru ingin ia pakai esok hari. Niatku untuk meminta maaf pun aku tunda. Sejak itu aku membuatnya menangis, aku belum lagi mendengar suaranya. Aku pun terlelap tanpa diiringi kegelisahan.
***
Aku ingat betul. Itu adalah ruang melati. Semerbak bahan-bahan kimia memaksa indraku untuk menikmatinya. Kututup rapat-rapat penciumanku dengan sepuluh jari mungilku. Tak jarang mataku mencuri pandang ke dalam ruangan putih itu. semua ditutupi tirai hijau. Aku tak percaya kini kakiku tegap mematung menemani hati yang masih tak menyadari suatu kejadian. Belasan menit yang lalu aku mendengar suara tangisan memecah keheningan di pukul 11:30. Hingga aku menemaninya dan membacakan ayat suci. Kukira ia kesurupan. Matanya memandangi langit-langit tak santai. Aku mungkin sudah kehilangannya. Ia tak menjawab sepatah kata pun yang aku lontarkan. Sampai sebuah mobil kijang milik Pak Karna datang dan membawaku mematung di sini.
Detikan  jam di ruang tunggu terasa hambar. Sudah 2 jam berlalu dan aku masih mematung di depan ruangan itu. Orang-orang tak henti-hentinya hilir mudik melintas di hadapanku. Tepatnya karena ruang tunggu itu berada di dekat akses keluar-masuk rumah sakit.
Roda itu berputar sangat cepat—beberapa menit yang lalu. Kini putarannya melambat setelah sekitar 30 menit lalu. Kain berwarna putih menutupi seluruh tubuh orang itu. Tiba-tiba dingin menyergapku. Aku lemparkan pandanganku pada sosok yang tidak terlihat di balik tirai hijau. Ayahku belum kembali. Ibuku masih menemaninya di dalam. Aku cemas-cemas berharap bisa menelusup masuk ke ruanganan yang aku rasa sangat dingin itu.
***
Dokter memasukkan selang ke dalam mulut Nana. Menarik dan lalu memasukkannya lagi. Sesekali aku melihat selang itu dilapisi warna merah. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirku saat itu. Yang pasti, mataku terus mengikuti gerak-gerik tangan Dokter itu.
Tadi sore makan apa, Bu?
Cuma makan tempe aja. Itu pun Cuma satu. Katanya buat besok saja.
Selain itu, apa ada lagi?
Tidak ada, Dok.
Sepertinya anak ibu keracunan.
Lalu, dokter itu kembali memasukkan selang ke dalam mulut Nana.
Aku memandang lurus ke arah ruangan itu. Tak ada tanda-tanda ibuku mengkomando untuk aku masuk ke dalam. Langkahku terasa berat sekali untuk melangkah. Aku begitu ingin masuk ke dalam dan melihat keadaan Nana. Namun, usiaku masih di bawah umur untuk masuk ke ruangan itu. Jujur—ini seperti sebuah pertanda. “Kalau kamu tidak masuk, kamu akan menyesal.”
Ayahku datang dengan satu kresek putih. Isinya kue balok. Aku memakannya karena udara cukup dingin dan membuatku sedikit lapar. Sembari makan, aku menyusun rencana. Setelah adikku sadar, aku akan meminta maaf padanya, pulang ke rumah untuk sekolah dan menjaga adikku di siang harinya. Begitu. Hingga sebuah tangis terdengar nyaring—nyaring sekali. Aku sangat mengenali suara itu—suara ibu.
Nanaa.. Jangan pergi!!
Begitu kedengarannya. Jantungku terpacu hebat mendengar kata-kata itu. Aku sangat berharap bahwa itu hanyalah halusinasiku saja. Hingga tangisan itu semakin menjadi dan ayahku masuk ke ruangan itu. Langkahku tiba-tiba saja ringan sekali. Aku langsung menembus kerumunan orang-orang di sana. Kulihat di dada adikku sudah terpasang selang dan alat perekat. Juga alat pacu jantung dikejutkan beberapa kali pada Nana. Aku tak percaya semua ini.
Nana masih hidup kan?
Alam seketika sunyi senyap. Tak sadar aku sudah berada di rumah kecil itu. Aku melihat setumpukan baju yang kesepian. Semua warna terlihat memudar. Dan tentu saja yang sangat pasti aku rasakan—semua ini seperti mimpi. (*)
 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design