Rabu, 09 September 2015

#Pagar Cerita: Antara Jawa Barat dan Jawa Timur

Antara Jawa Barat dan Jawa Timur
***

Kisah anak rantau, mungkin sudah biasa didengar oleh banyak orang. Bahkan cinta yang hadir karena perantauan, bukan juga hal yang terdengar aneh. Namun, diantara ribuan takdir yang sulit dipercaya, kali ini aku mengalaminya. Antara Bandung, Malang, Surabaya, dan Bojonegoro. Sejak itulah sebuah inisial selalu aku sebut dalam tulisanku. Kemudian, aku menuliskan lagi kisah dimana aku akan kembali ke Malang, tempat perantauanku. Bukan lagi hal yang spesial untukku, menikmati perjalanan dengan posisi 900 yang tak jarang membuatku sakit badan. Namun ada yang spesial saat ini. Bukan soal praktikum di semester 5 yang akan ku hadapi, tapi dengan apa yang akan aku jalani ke depan. Dengan berbagai kesibukan dan problema yang aku rasa akan semakin sulit. Namun, aku ucapkan terimakasih untuk “Si Penyemangat”, yang tak bosan mengingatkanku akan pentingnya sebuah senyuman dalam menghadapi kesulitan, juga dengan keterpaksaannya mendengarkan ocehanku yang kecepatannya melebihi kecepatan seorang announcer radio. Aku tak tahu apa yang kamu pikirkan ketika aku mulai bercerita, mungkin kamu merasa bosan. Tapi, aku yakin kamu sudah terbiasa dengan hal itu, karena kamu selalu memajang emot tersenyum atau berkata “Aku suka kamu yang bawel” setiap kali aku minta maaf atas kekhilafanku yang selalu dan tak bisa aku hindarkan.
Dunia masih berputar, ketika kerinduanku ini memuncak. Bahkan puncak yang paling lancip, masih bisa aku ukur dengan ketelitian 10-10. Lalu kita jelas sama-sama setuju dengan keadaan kita saat ini. Jarak itu membentang. Bukan lagi bagai samudera, tapi lebih dari itu. Kau masih memandangi langit Bojonegoro, dan aku memandangi langit Bandung. Akankah itu langit yang sama yang kita pandang? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tapi, yang pasti, saat kita saling meminta kebaikan, anginmu dan anginku selalu bertemu untuk menitipkan rindu, kemudian kembali ke kota masing-masing. Tapi, apakah ketika dunia itu berputar, rasa rindu kita akan selalu kita pupuk? Hingga saatnya nanti mata kita bertemu kembali? Terimakasih telah sabar menyimpan rindumu itu. Juga dengan rinduku ini, yang tak kalah subur dengan rindu yang kau miliki. Selanjutnya, Kita mungkin tahu, bahwa jarak, bukanlah satu-satunya hal yang harus kita khawatirkan. Tapi, dengan apa yang akan kita alami kedepannya. Dengan detik, dimana mungkin kita sedang saling menyakiti. Detik, dimana sebuah tangisan sedang pecah. Detik, dimana sebuah pesan begitu sangat dinantikan. Dan detik, dimana mungkin hubungan ini hampir berakhir, yang tentunya tidak pernah dan tidak akan kita harapkan. Belum lagi waktu yang akan membuat kita sedikit saling memikirkan. Karena kita tahu, kita sama-sama sibuk. Kamu dengan penelitianmu dan aku dengan praktikumku. Dengan itu, aku ingin kita mempersiapkan semuanya dari sekarang. Mencantumkan bahwa “Kesibukan bukan berarti 100% aku melupakanmu, tapi ini untuk masa depan kita. Demi memperbaiki kualitas diri.” Karena aku percaya, kita tidak akan benar-benar saling melupakan diantara padatnya kesibukan kita. Akan ada 1 detik, dimana suatu benda, satu nada, suatu isyarat, mengingatkanmu padaku. Begitupun denganku yang tak bisa keluar dari warna hijaumu.
Lalu, akankan kita percaya bahwa takdir itu akan kita miliki? Seperti yang kamu bilang, “Kita sebagai manusia hanya bisa berencana, nanti, Tuhan yang akan menentukan akan seperti apa”. Aku tahu kebijaksanaanmu itu, yang dapat membuat risau ini sedikit menepi. Juga tentang sebuah hal yang lebih penting kita pikirkan, ketimbang memikirkan emosi kita masing-masing. Biarkan saja mereka yang tak percaya dengan cinta kita, aku tetap mau percaya bahwa kau serius denganku. Kita sedang menentukan jalan menuju masa depan. Menciptakan berbagai suasana dengan harapan selalu membuat kita nyaman. Setelah kita berhasil mendekatkan dua hati yang sedang jatuh cinta, kita tahu bahwa waktu yang akan kita jalani menuju titik aman yang selanjutnya adalah beberapa tahun. Waktu yang bisa dibilang singkat, juga bisa dibilang lama. Lalu, kubiarkan semua seperti apa yang aku tulis, “Aku titipkan harapanku, doaku, usaha dan semangatku dalam lembar demi lembar takdir yang tertulis setiap harinya”. Berharap anginku dan anginmu bertemu, lalu menjadikan isyarat akan setiap peristiwa yang akan kita alami, untuk kemudian kita jadikan petunjuk dalam menjalani hidup.
Beberapa saat lagi, jarak yang jauh ini akan semakin mendekat. Langit yang kupandang sedang mendung, kini akan menurunkan hujan dan menghadirkan pelangi. Seperti hujan yang terjadi ketika awal perpisahan kita, lalu kebahagiaan saat kita berjumpa kembali, walau aku tahu saat itu kau sedang kedinginan karena jarak tempuh 3 jam yang membuatmu mengigil di dalam kereta. Aku ingin, kau hadirkan lagi karyamu, aku ingin melihatnya. Melihatmu tersenyum dan bangga pada dirimu atas apa yang kamu lakukan. Kemudian kita akan bertemu kembali dibawah langit yang benar-benar sama. Menghirup oksigen yang sama, juga berkedip disaat yang sama. Detik itu akan menjadi detik yang sangat membahagiakan untuk kita. Juga detik penghapus rasa jenuh kita. Selanjutnya, kita akan melakukan apa yang kita inginkan. Memandangi sampai bosan, atau hal yang paling ingin kita lakukan. Kau yang ingin menggigitku dan aku yang ingin mencakarmu. Detik yang sangat dinanti.
Angan demi angan akhirnya akan terealisasi. Akhirnya, kita berada dibawah menara Eiffel. Dan apakah kau tahu apa yang paling ingin aku dengar? Itulah yang katamu sebuah rahasia. Hembusan angin yang saling bertemu, mulai menerbangkan rasa lelah sepanjang perjalanan. Hembusan nafas yang semakin tak beraturan, juga detakan jantung yang saling berkerajan. Email itu memang tak salah jika ia ingin membuat kita bertemu. Jika pada akhirnya kita akan saling tersenyum seperti ini. Dan, teruskan lagi nada-nada indah yang kau lantunkan dalam doamu, semoga alam semesta mendengarnya.

Akhirnya, aku harus mengakhiri cerita yang entah apa jenisnya. Aku ingin mengatakannya ini sebuah cerita cinta. Cerita cinta yang tak mengharapkan jawaban, tapi dikirimkan satu arah, seperti lagunya Maliq n’ d’essential. Seperti angin yang berhembus satu arah kehadapanmu, kemudian menyampaikan padamu bahwa aku sedang memikirkanmu dan aku merindukanmu.

Minggu, 16 Agustus 2015

Cerita Anak Rantau

Kartini Nurhasanah

***

Bagi anak rantau, pulang kampung merupakan hal yang paling penting. Seperti yang sedang aku jalani saat ini, aku menjadi anak rantau. Ya... Walaupun tidak terlampau jauh jaraknya, hanya sekitar 17 jam perjalanan Bandung-Malang dengan kereta api. Mungkin ini sama seperti beberapa temanku di kampus, “Tersesat di jalan yang benar”, begitulah filosofinya. Memang pada awalnya aku tak memiliki pandangan untuk berkuliah dibidang perikanan yang membuatku merantau. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai menikmati setiap matakuliahnya, yang tak jarang membuat perut ini sedikit melilit. Tapi, disitulah enaknya. Belum tentu jika aku mengambil jurusan lain, aku akan merasakan hal yang fantastik ini.
Tak jarang temanku yang berasal dari Jawa Timur, iseng bertanya begini padaku: “Kamu kenapa kok kuliahnya jauh-jauh? Emangnya di Jawa Barat gak ada kampus ya?” Terkadang pertanyaan itu tak ingin aku jawab, karena alasanku yang kurang keren. Biasanya aku menjawab: “Dulu itu, aku ngasal milih kampus. Eh, malah keterima di kampus yang jauh. Padahal aku ngarepnya sih keterima di Jakarta.” Tapi, aku bisa saja menjawab, “Soalnya UB itu termasuk top ten kampus di Indonesia dan akreditasinya juga bagus.” Mungkin aku akan menjawab seperti itu suatu saat nanti.
Setelah aku menjalani masa perkuliahan dan mendeklarasikan diri sebagai anak rantau, aku merasa dunia ini tak begitu buruk. Ya, walaupun pada kenyataannya tak seperti di sinetron, seperti para pelajar nongkrong-nongkrong dan tertawa lebar. Permulaan, aku menghadapi laporan dan dengan semua aturan tulis-menulis yang terkadang membuatku ingin menangis. Tapi, over all aku mencintainya. Seperti cinta yang semakin besar ketika seorang kakak terpisah dari adikknya tatkala jarak membentang diantaranya. Atau seperti cinta seorang sahabat yang bertambah banyak ketika diajak traktiran makan bakso. Tapi lagi nih, ngomong-ngomong soal bakso, ada yang unik dengan bakso disini. Orang Malang sini menyebutnya “pentol”, yang artinya ya sama aja sih, bakso. Bagiku, ada dua jenis bakso yang terdapat di Malang ini. Pertama, bakso beneran: bakso yang bener-bener bakso nomal yang sama seperti di Bandung dengan harga yang cukup lumayan. Kedua, bakso jadi-jadian: bakso yang kalo aku makan, rasaya kayak tepung dan harganya gak begitu mahal. Biasanya, baso jadi-jadian itu jadi makanan mahasiswa banget sih, terutama buat ngemil. Tapi, kadang temanku bukan membeli baksonya, melainkan pendampingnya, seperti siomay dan sebagainya. Mungkin itu juga yang bikin aku tambah gendut kalau lagi di perantauan, ya karena banyak ngemilnya ketimbang makan beneran.
Kembali ke topik soal anak rantau. Sebenernya, aku nggak pernah kefikiran bakal         kuliah jauh begini dan alhamdulillahnya dengan beasiswa. Ada banyak hal yang aku pikirin saat aku jadi mahasiswa baru seperti, gimana caranya supaya IP aku tetap bagus, supaya beasiswanya nggak dicabut dan masih banyak lagi. Awalnya, pasti rindu dengan suasana rumah dan orangtua tentunya. Tapi, lama-kelamaan aku membiasakan diri dengan keadaan ini dan membuat diri ini betah tinggal di perantauan, apalagi kalau bukan supaya kuliah aku nyaman dan cepat menyelesaikan studi. Sampai sekarang, aku sudah 3 kali pulang kampung. Diantara pulang kampung itu, semua aku rindukan. Tapi, ada satu yang amat sangat membuat rindu ini bertumpuk. Ketika liburan semester 3, aku sangat ingin pulang. Tapi, aku harus mengubur itu semua dan terpaksa menjadi penjaga kost-an selama kurang lebih 2 minggu. Ya, walaupun bukan terbilang waktu yang lama, namun cukup membuat keadaan Malang menjadi mellow. Jadi, saat itu aku berada di Malang selama 1 tahun, dan pulang kampung ketika pertengahan bulan Ramadhan. Walaupun aku harus terus mencintai keberadaan yang tidak aku inginkan, hal itu semakin memacuku untuk menjalani semuanya dengan cepat, terutama saat UTS. Entah mengapa, dan apa yang memacuku begitu semangat mengerjakan UAS kali ini. Mungkin karena dengan iming-iming tiket yang sudah aku booking sejak bulan April lalu. Tapi, ada tapinya. Jujur, sistem SKS (sistem kebut semalam) yang aku bawa sejak SMA, masih terjadi dalam kehidupanku di kampus, terutama pada saat sebelum melaksanakan UTS/UAS. Bukan hanya aku, tapi beberapa temankupun melakukan hal yang sama.
Selain ini keberadaan yang cukup lama untukku di Malang, kali ini pun merupakan kali yang sangat berharga untukku. Bukan hanya Malang, aku pernah menginjakkan kaki di Surabaya untuk menemui temanku di UINSA. Dan, praktikum semester ini pun banyak yang dilakukan di luar kampus. Hal itu merupakan hal yang menyenangkan, praktikum lapang serasa berpiknik untukku. Skiip. Sampai pada akhirnya aku harus pulang kampung. Dimana saat-saat yang sangat menyenangkan sekaligus dramatis.
Saat terakhir aku di Malang, aku tak dapat mempercayainya, akhirnya kaki ini melangkah keluar dan menghirup udara Malang untuk terakhir kalinya sebelum aku pulang. Pagi yang terasa lebih sejuk dari  biasanya. Mentari yang terlihat lebih cerah dari biasanya. Dan teman sekamarku, Hana, yang terlihat lebih cantik dari biasaya, yang tak kalah antusias daripadaku untuk pulang kampung ke Pengasinan, Bekasi. Setelah sejak beberapa hari aku membeli oleh-oleh dan menyiapkan beberapa baju yang akan aku bawa pulang kampung, aku menghabiskan waktu senggang pada siang harinya untuk senam SKJ 2004, sembari nostalgia jaman SD. Hingga 1 jam sebelum kereta berangkat, aku sudah dijemput  kak Imam dan diantar menuju stasiun. Jarak stasiun dan kostanku sebenarnya tidak terlalu jauh, karena itulah kak Imam tidak mengebut saat mengendarai motor. Kami tertawa-tertawa saat itu dan menceritakan pengalaman kami pada semester ini. Hingga kejadian drama itu terjadi. Ketika kami saling terdiam entah mengapa, tiba-tiba aku memikirkan akan hal apa yang akan aku lakukan ketika aku sampai di stasiun. Aku harus mencetak tiket dan menunggu pemanggilan penumpang menuju Bandung. “Oke. Apaaaaa? Tiket? Tas? Dompet? Semua itu masih tergantung di sebelah lemari di kostan-ku.” Aku yang sangat ceroboh meninggalkan barang terpenting yang seharusnya aku bawa, bukan tangan yang sedari tadi menggenggam tas berisi oleh-oleh itu. Sontak saat itu aku mengoyak-ngoyak badan kak Imam yang sedang menyetir dan berteriak histeris. Jarak yang sudah hampir sampai, terpaksa kami putar balik dan kak Imam mengendarai motornya lebih cepat.
Aku yang kalut saat itu kemudian mencoba menghubungi Hana, berharap ia belum berangkat. Namun, karena handphone-ku sedang error, jaringan sangat sulit membuat kami terhubung. Hingga akhirnya aku memijam handphone milik kak Imam. Itupun masih sulit terhubung. Namun, fortunately aku sampai di depan jalan dengan tepat waktu, sehingga saat itu aku bertemu dengan Hana, dia sedang tersenyum-senyum sendiri memandangi ponselnya dan tak menyadari kehadiranku yang hampir menangis ini, sampai aku benar-benar ada di hadapannya. Langsung aku menghampirinya dan meminjam kunci kostan, karena kunciku aku simpan di tasku yang tertinggal itu. Tas yang berat di punggung ini masih melekat ketika aku berlari menuju kost, juga sepatu yang aku bawa masuk menginjak-injak lantai yang saat itu terlihat bersih.
Aku sangat merepotkan sekali. Tapi, kak Imam tampak sukarela mengantarku dan tanpa ragu mengendarai motor seperti itu. Hingga 4 menit sebelum kereta berangkat, aku sampai di depan stasiun. Struk tanda booking-pun sudah aku persiapkan. “Kak Imam, makasih banget yah udah ngaterin. Makasih banget,” mataku yang basah ini sedikit menyipit ketika aku tersenyum padanya. Namun, baru beberapa langkah, kak Imam memanggilku. “Dek?” Katanya tanpa meneruskan kata-kata hingga aku berbalik dan bertanya, “Apa lagi kak?” Aku yang terburu-buru bertanya dengan nada sedikit ketakutan karena aku belum mencetak tiketnya. “Helmnya mau kamu bawa tah?” kak Imam berkata sambil tersenyum lebar. Aku sangat malu dan lekas melepas helmnya lantas berlalu menuju self-printing di stasiun Malang.
Aku tak mengerti dengan barang bawaan ini. Tas yang seperti ini,  membuat pundakku terasa pegal sekali. Tapi, demi pulang kampung, aku hanya terseyum saja. belum lagi tatapan-tatapan yang sejak aku berlarian tadi terus memburuku. Seperti melihat keanehan pada diriku. Mungkin ya, aku aneh dengan tas besar ini, dengan tangan yang penuh dengan barang bawaan, sehingga aku mengigit sesuatu karena kedua tangan ini tak mampu menampungnya. Ketika aku akan masuk ke ruang pemeriksaan penumpang, aku melihat antrian yang sangat panjang hingga pintu yang akan aku masuki itu. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 16:00, yang seharusnya waktu keberangkatan keretaku. Karena tak mungkin aku mengantri selama itu, aku mulai memasuki kerumunan orang itu sambil berkata: “Maaf-maaf buk, pak, permisi,” karena tasku yang sejak awal terus membuat beberapa orang terdorong. Hingga aku sampai di 4 orang yang sedang mengantri masuk. Lalu aku bertanya padanya begini: “Ibu mau ke Bandung juga?” meyakinkan bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang hampir ketinggalan kereta. Namun sialnya, hanya aku yang akan ke Bandung yang belum masuk kereta. Lalu, ibu yang baik hati itu mempersilahkanku masuk duluan dan diperbolehkan melewati beberapa orang yang sedang mengantri saat itu. Bukan beberapa orang sih, aku melewati banyak sekali orang. Ini memang bukan tradisi orang Indonesia banget, tapi kali ini aku benar-benar terpaksa. Terpaksa tidak mengantri demi pulang kampung.
Ketika petugas selesai memeriksa tiketku, aku dipersilahkan cepat menaiki kereta, karena saat itu petugas sudah membunyikan peluit, tanda bahwa kereta akan segera berangkat. Karena sangat gugup, aku berjalan lulus tepat pada sebuah pintu yang terbuka lebar saat itu. Sialnya itu adalah pintu penyimpanan barang. Lalu pak satpam yag melihatku langsung menyuruhku menaiki pintu yang satunya lagi. Aku masuk lewat pintu kelas eksekutif. Aku kira aku akan sedikit lega karena aku sudah berada dalam kereta. Namun ternyata salah, karena aku sedang berada di kelas eksekutif dengan barang bawaan yang membuatku bernafas tak beraturan. Belum lagi aku harus melewati beberapa pintu, karena saat itu akupun harus melewati dapur kereta dan kelas dua bisnis, karena kelasku berada paling depan, yaitu kelas ekonomi. Belum lagi pintu setiap gerbong yang sulit aku buka dan harus menunggu kepekaan orang sekitar untuk membantuku membukanya.
Aku merasa sangat bahagia ketika aku menemukan kursiku. Di sebelahku duduk wanita cantik yang sedang bertelpon dengan ibunya dengan bahasa Padang. Aku jadi teringat pada novel yang temanku beri padaku, berjudul “Rantau 1 Muara” karya Ahmad Fuadi, karena dalam novel itu ada beberapa bahasa minang, ya walaupun wanita sebelahku tidak berbicara bahasa minang. Aku sangka, wanita yang duduk sebelahku itu lebih tua dariku, tapi ternyata dia baru semester 2 dan berkuliah jurusan akutansi di UMM. Selain cantik, suaranya sangat bagus ketika mengaji, membuatku sangat iri karena hingga kini aku belum bisa seperti dirinya. Diapun sangat ramah dan menyukai lagu dangdut, aku mengetahuinya karena saat malam menjelang, aku mendengarnya bernyanyi kecil lagu dangdut tanpa malu. Padahal, walaupun suara kecil, aku dapat mendengarnya dengan jelas karena beberapa orang sedang tertidur.
Selain wanita itu, di depanku terduduk 2 wanita yang sejak awal aku sampai di tempat dudukku sedang asyik mengobrol banyak sekali, macam orang lama tak bersua. Tapi, setelah wanita di depanku menghadap ke arahku, ternyata ia adalah kakak tingkatku di Prodi yang sama denganku. Lalu aku sedikit mengobrol dengannya karena kami tak begitu akrab. Saat itu, aku tahu bahwa ia akan melaksanakan PKM di Ciparay. Pantas saja, selain dia, di sebelah kiriku-pun ada seorang laki-laki yang mengenakan jaket angkatan 2012, mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Aku tak menyapanya karena aku tak mengenalnya. Namun, sejak awal aku bertemu pandang dengannya, dia metatapku aneh, seperti mengenalku, namun aku yang tak mengenalnya. Jadi, kami hanya saling memandang tanpa berkata.
Perjalanan panjang saat itu membuatku sedikit sakit badan. Belum lagi sejak ada penumpang baru yang duduk di sebelahku, membuatku harus menekuk kaki agar makananku berada tepat di hadapanku. Aku yang mengenakan masker, mulai tertidur beberapa saat, hingga akhirnya aku tersadar ketika kereta berhenti bukan di sebuah stasiun, melainkan berhenti di tengah jalan yang gelap untuk menunggu kereta lain melintas. Lalu, di tengah malamnya, aku ngemil dan tak memperdulikan orang sekitar yang sedang tertidur, karena sejak magrib aku tak memakan apapun. Aku melihat wajah-wajah yang kelelahan, juga 2 orang di seberang sebelah kananku yang sedang asyik dengan ponselnya.
Selain lelah yang merajai diriku, kebingunganpun tak kalah merajainya. Sudah sejak malam aku mengirimi ayahku pesan, namun tak satupun yang terkirim. Di layar ponsel hanya tertulis emergency call. Begitupun dengan beberapa pesan yang masih pending sejak aku menaiki kereta. Akhirnya, dengan menghiraukan rasa malu, aku meminta bantuan pada kakak tingkatku untuk mengirimi ayahku pesan, karena aku tak tahu arah jalan pulang jika aku turun di stasiun Bandung.

Akhirnya aku sampai di Bandung. Aku berjalan gembira dengan masker yang masih menutupi setengah wajahku. Dengan barang bawaan yang memenuhi kedua tanganku, aku menunggu ayahku di pintu keluar selatan. Lalu tak lama kemudian ayaku datang dan aku langsung memeluknya dan aku tahu saat itu mataku berkaca-kaca. Ayahku terlihat tua, dan aku sangat bangga padanya, karena masih terlihat bersemangat. Ketika aku sampai di rumah, akupun memeluk ibuku dan menangis. Rindu yang aku simpan lama akhirnya terbayar sudah dengan 17 jam perjalanan yang membuatku bertemu dengan orang yang tersayang. Walau di sana ada sebuah hati yang aku titipkan. Berharap sebuah jarak tak menjadi penghalang, karena memang begitu, jika sayang benar-benar dirasakan dari hati, apapun hambatannya akan menemukan jalan keluarnya. Kini, ketika aku sudah tidak diperantauan, cintaku yang merantau.

Minggu, 19 Juli 2015

Cerpen: Akhirnya Ketulusan


***
“ Mengapa perasaan ini hadir dan selalu menggangguku setiap saat? Bahkan saat ini pun ketika aku tak bersamanya, rasa dalam hati ini begitu nyata keberadaannya. Aku ingin dia mengerti bahwa mungkin aku cemburu, entah dengan apa.” Aya masih terlihat bimbang dengan apa yang sedang ia rasakan, ia terdiam dan memandangi jemarinya yang menggenggam kehampaan.

***

“Ya, bisa ketemuan nggak sebentar? Abis maghrib deket air mancur ya? Tapi “Bidadari” jangan sampai tau ya?” Aya membaca BBM yang dikirim oleh Indra sahabatnya yang kemudian Aya membalasnya.
Yaudah, tunggu aja ya, tapi disini  hujan jadi harus nunggu sampai reda dulu ya J.” Aya membalas singkat dengan senyuman.
“Iya Ya, tapi kamu lagi sama “Bidadari” nggak sekarang?” Indra bertanya.
“Iya, tapi katanya dia mau pulang tuh. Eh ketemunya sekarang aja ya, aku males pulang dulu nih soalnya” Aya membalas singkat tanpa senyuman.
“Jangan sekarang. Kasihan ‘Bidadari’ pulang sendirian. Apalagi hujan begini. Kamu temenin dia ya, habis itu kamu ke kampus lagi deh J.” Indra meminta.
(Ya ampun, dia tuh nggak ngerti apa kalau jarak dari kost-an ke kampus kan lumayan jauh apalagi ini jalan kaki. Apaaaaa? Cuma buat supaya Gina nggak  pulang sendiri? Egoiiiiiiiiis L)
“Oke deh J.” Jawab Aya singkat.

Aya ingin sekali menolak dan membiarkan Gina yang disebut “Bidadari” itu pulang sendirian. Namun, entah mengapa ia sulit menolak permintaan Indra kepadanya. Lagipula hanya permintaan seorang sahabat, yang selalu ingin melihat sahabat yang juga pujaan hatinya aman dalam situasi apapun. Aya hanya terlihat ikhlas, saat menerima berbagai macam permintaan Indra sahabatnya. Tanpa sadar, sesekali muncul perasaan yang entah apa namanya. Atau mungkinkah itu cemburu? Aya hanya merasa ia tersisihkan.

***

“Jadi, kamu mau cerita apa kali ini tentang Gina?” Aya membuka kata.
“Bukan cerita sih, sebenernya nanya aja. Gini, menurut kamu Gina kenapa ya kok akhir-akhir ini dia kayak berubah gitu sama aku?” Indra mulai membuka kata.
“Mungkin karena kamu terlalu ingin tahu tentang dia, sementara dia kan orangnya bukan tipe yang suka curhat gitu.” Jawab Aya menjelaskan.
“Aku takut dia bakalan ninggalin aku nih.” Indra berkata dengan nada cemas.
“Kalau jodoh nggak kemana kok Indra, tenang saja” Aya meyakinkan.

Indra hanya terlihat mencoba kuat dengan perasaannya saat itu. Sudah sejak semester 1 Indra mengagumi sang “Bidadari”, namun sampai saat ini pada semester 4 pun ia belum juga mendapatkan hati sang “Bidadari”. Sementara Aya hanya merasa menjadi “nyamuk” setiap saat mereka berjalan bersama. Namun yang berbeda kini adalah, terlihat seringnya Gina berjalan beriringan dengan Indra ketimbang dengan Aya. Aya hanya berjalan sendiri di depan, sedangkan Gina dan Indra berjalan beriringan dibelakangnya.

***

Malam larut, membawakan rasa bimbang semakin hanyut dalam kehampaan. Dibawah lampu belajar, Aya mulai menuliskan cerita hariannya pada sebuah buku diary. Malam yang larut itu, diiringi dengan hembusan angin yang perlahan menggerakkan tirai di kamarnya. Detik jam terdengar jelas pada malam yang sunyi, mengiringi lantunan suara hati yang Aya tuliskan pada diarynya.

Dear diary,
Apa yang terjadi dengan hari-hariku? Bukankah aku selalu mendukung mereka bersama? Namun apa yang sedang menggangguku belakangan ini? Aku merasa aku kehilangan  Gina. Aku merasa ia lebih nyaman ketika ia bersama Indra. Aku hanya bisa berdiam diri ketika mereka berdua bercanda, sementara aku hanya terdiam karena tidak ada hubungannya dengan mereka. Aku hanya sendiri, aku merasa sendiri dan merasa hanya menjadi pengawal mereka saja. Aku merasa terabaikan dan hilang arah. Jauhkan ini semua dari hatiku. Mana mungkin bisa aku memiliki perasaan ini? Sementara disisi lain mereka berdua adalah sahabatku. Aku tak boleh cemburu dengan sahabatku sendiri.

***

Keesokan harinya, Aya dan Gina belajar di kelas yang berbeda. Namun Indra belajar di kelas yang sama dengan Gina. Kelas pada hari itu berakhir pukul 16.20 dan Aya lebih dulu keluar kelas pada hari itu. Aya mulai mengirim pesan singkat pada Gina dan mengatakan bahwa ia menantinya di Gedung Widya Loka untuk mencari tugas bersama. Suasana cukup ramai ketika pertama Aya sampai di tempat yang biasanya di pakai untuk mengakses internet secara gratis. Selain itu, udara sangat dingin dan hembusan angin ringan mulai menggoyangkan beberapa dedaunan di sekitar gedung tersebut. Beberapa menit setelah itu Gina datang. Namun yang membuat Aya merasa bad mood saat itu adalah ketika melihat Gina datang bersama dengan Indra. Aya merasa ingin pergi saat itu. Setelah beberapa saat mereka bertemu dan duduk-duduk bersama, Aya mulai merasa tambah terasingkan. Melihat Indra hanya memperhatikan Gina dan hanya berbicara kepada Gina. Sementara Aya terlihat hanya sebagai orang lain saja di bangku tersebut. Hingga suara Adzan maghrib terdengar dan mereka pergi menuju Masjid di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

***

Hanya terlihat seorang Aya. Aya yang malam itu berjalan di bawah lampu remang dengan headset yang sejak dari kost ia tempel di telinganya. Aya sedang menikmati suasana malam yang saat itu begitu banyak bintang. Ia melihat bintang begitu bersinar malam itu. Walaupun malam itu begitu dingin, karena lagi-lagi  angin berhembus cukup kencang sehingga membuat kerudung Aya sedikit berantakan. Aya sesekali memetik dedaunan di pinggir jalan dan melemparkannya kebelakang. Itu adalah salah satu hal yang selalu Aya lakukan ketika sedang berjalan, baik siang maupun malam. Hingga suatu ketika ia melemparkan daun kebelakang, seketika itu pula tepukan pada  bahunya terasa nyata. “Sial, aku tak ingin bertemu dengannya disini,” dalam hati Aya berbicara sekenanya. Di tempat yang sedang Aya lewati ini merupakan salah satu tempat yang cukup angker di sekitaran Universitas Brawijaya. Tempat itu terdapat di depan rektorat, tepatnya sekitar lapangan rektorat. Hingga kini, genggaman tangan di bahunya masih belum juga terlepas. Aya mulai gelisah,”Apakah ini benar-benar hantu yang sering orang bicarakan?” Dengan jantung yang berdegup kencang akibat ketakutannya, Aya memberanikan diri sedikit menoleh ke belakang. Aya melirik kecil, hingga ia berbalik badan untuk memastikan apakah ia manusia ataukah hantu. Ketika ia membuka mata lebih lebar, ternyata ia adalah teman Aya sekaligus mantan kekasihnya semasa SMA dulu, Furkan. Dengan tarikan nafas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras, Aya setengah berteriak berkata “Kurang ajar kamu! Datang bukannya ucap salam, malah ini main tepuk orang sembarangan.” Disana Furkan hanya menyeringai dan kemudian Furkan mengantarkan Aya pulang karena malam semakin larut.
Ditengah perjalanan, Furkan membuka kata.
“Ay, kamu lagi galau ya? Aku lihat tulisan kamu di facebook sangat menyayat hati begitu. Ada masalah apa?”
“Jangan panggil Ay, nanti disangka pacaran tau.” Aya menegaskan.
“Iya aku lagi galau sama hati aku,” Aya menjawab sedikit lembut.
“Oh iya, hehe soalnya inget jaman dulu waktu kita masih pacaran Ay. Hmm Kamu kenapa? Nggak  biasanya Aya galau.” Furkan mulai penasaran.
“Ini soal Indra, sahabat aku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa jadi “nyamuk” diantara Indra dan Gina.” Aya menjelaskan.
“Kamu suka sama Indra, gitu?” Furkan bertanya sekenanya.
“Aku nggak merasa gitu Fur, aku cuma ngerasa aneh. Aku nggak tau, apa yang aku rasakan ini.” Aya menjawab dengan sedikit drama.
Berbagai curahan isi hati Aya kepada Furkan, memenuhi waktu perjalanan mereka pulang. Begitu panjang cerita yang Aya ceritakan, hingga Aya sampai di depan kost-nya dan mereka akhirnya berpisah.
“Aya langsung cuci kaki dan cuci muka ya, terus tidur ya supaya besok nggak  kesiangan.” Furkan sok perhatian.
“Haha, iya bawel. Makasih ya, Aya di antar sampai kost-an.” Aya menjawab sambil tersenyum manis.
Kemudian malam itu berakhir dengan saling memberi salam perpisahan. Ketika Aya masuk kamar, terdengar beberapa lagu klasik diperdengarkan di radio. Ternyata Aya lupa mematikan radionya ketika Aya pergi tadi. Aya mulai memposisikan diri untuk beristirahat dan mulai terdiam menatapi langit-langit kamarnya. Dalam benaknya, serasa tak begitu berat lagi dengan apa yang ada dihatinya. Mungkin karena Aya menceritakan masalahnya kepada Furkan tadi. Berbicara tentang Furkan, Aya terdiam ketika mengingat Furkan yang dulu ia tinggalkan. Bukan hal yang biasa bagi Aya, dapat bertatap langsung dengan Furkan. Selain Aya tak ingin mengingat masa lalunya, Aya juga tak ingin mengingat lagi luka yang pernah Aya berikan. Aya hanya menyesal dengan apa yang pernah Ia lakukan.

***

Ketika pagi hari Aya membuka jendela kamarnya dan mulai menghirup udara segar, pandangan Aya tertuju pada selembar kertas yang menyangkut di selipan jendelanya. Selembar kertas berwana biru muda yang melipat dan terikat dengan pita berwarna orange. Dengan sedikit penasaran, Aya membuka kertas yang saat itu berada di tangannya.

Intan nuraya.
Mungkin bagimu ini tidaklah penting Ay. Aku mengikutimu sejak malam hari kamu melangkahkan kaki keluar kost-an. Bukan pula hal yang aku rencanakan untuk melintasi kost-an mu pada malam itu. Aku bahkan tak mengetahuinya, jika kau tinggal disana, di tempat yang mungkin kau tak ketahui bahwa itu adalah rumah tanteku. Aku sedang khawatir padamu sudah beberapa hari ini. Aku melihat kau sedang bersedih dari kejauhan. Aku hanya bisa menatapmu secara diam-diam, dibalik pepohonan atau di balik tembok yang menghalangi tempat shalat antara pria dan wanita. Aku memang tak bisa melupakan kejadian itu. Hari yang seharusnya menyenangkan bagiku karena aku berjumpa denganmu dan aku berharap memiliki saat-saat yang indah bersamamu. Namun saat itu kau meninggalkanku dengan alasan bahwa kau ingin fokus belajar. Padahal seperti yang kau tau, aku mencintaimu tak perduli sesibuk apapun kamu, hingga kau melupakanku diantara padatnya masa laporan di perkulaiahnmu. Namun, mungkin itu adalah takdir, hingga akhirnya aku kini dapat melihatmu dengan dekat dan bahkan sangat dekat. Ingin aku genggam selalu tanganmu yang selalu terasa hangat itu. Tetapi, apalah aku bagimu Ay? Aku hanyalah sepotong masa lalu yang mungkin  tak berarti apapun bagimu saat ini. Aku senang mendengar ceritamu tentang sahabatmu, Indra. Aku berharap kau akan menemukan suatu hal yang indah di balik perasaanmu pada Indra. Mungkin ketulusan hatimu akan meluluhkan hati Indra, sehingga ia dapat menyayangimu. Bagiku, kau adalah kenangan yang indah dan hingga kini aku tak dapat melupakanmu, bahkan dengan senyuman terakhir yang kau berikan tadi malam. Aku tak bisa berharap kau akan mencintaiku lagi, namun aku akan tetap mencintaimu.

Muhammad Furkan.
            Ketika Aya membaca surat itu, Aya semakin merasa bersalah dengan keadaan antara ia dan Furkan. Aya mulai mencari kontak Furkan di buku telponnya dan mulai menghubunginya. Ketika Furkan mengangkat telpon, Aya kemudian mengajak Furkan untuk bertemu dengannya di depan perpustakaan. Setelah Aya selesai menelpon Furkan, Indra mengirim pesan dan mengajak Aya untuk bertemu juga dengannya. Namun karena Aya sudah terlebih dulu membuat janji dengan Furkan, maka Aya menolak ajakan Indra dan menyuruh Indra pergi bersama Gina saja. Ini adalah penolakan Aya yang pertama akan permintaan Indra. Aya merasa seperti orang bodoh ketika ia harus merasa menjadi “nyamuk” dalam persahabatannya. Juga ketika ia melulu harus menuruti apa yang Indra pinta. Disisi lain, Aya merasa Furkan begitu perhatian dan tulus padanya. Seperti halnya ketika perjalanan pulang pada malam itu, ketika hujan rintik turun dan Furkan memberikan jaketnya kepada Aya. Kemudian ditengah-tengah pemikirannya, Aya teringat bahwa waktu Aya bertemu dengan Furkan sudah tinggal 20 menit lagi dan kemudian Aya langsung mandi dan berangkat ke kampus.

***

“Maaf telat ya Fur, hehe. Kamu pasti sudah lama ya?” Basa-basi Aya membuka kata.
“Haha, sudah biasa kalau Aya membuat aku menunggu. Seperti hatiku yang saat ini masih menunggu Aya.” Furkan menjawab sambil tertawa.
“Furkan kok to the point  gitu ya ngomongnya? Hehe.” Aya sedikit canggung saat menanggapi pernyataan Furkan.
“Jadi, kamu udah baca surat dari aku nih Ay?” Furkan mulai bertanya agak serius.
“Hmm, iya begitulah. Buat aku, itu bukan seperti surat, tapi proklamasi. Panjang banget tau. Tapi menyentuh sih.” Aya menjawab dengan sedikit senyum.
“Ay, jadi aku nggak bisa ya balikan sama kamu?” Furkan bertanya lebih serius.
“Maaf Fur, aku nggak bisa. Aku nggak  bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai nanti aku nyakitin kamu lagi.” Aya menjawab dengan nada sendu.
“Kalau begitu, biarkan aku menyimpan perasaan ini, hingga nanti kamu mau bersamaku. Karena pada akhirnya kau akan tau betapa besar aku menyayangimu Ay.” Furkan meyakinkan.
Aya tak menghiraukan pernyataan Furkan, kemudian ia pergi memberikan salam terakhir. “Aku menyayangimu Furkan, namun kau tak perlu tau akan hal itu. Biarkan juga aku menjaga perasaanku hingga waktu itu tiba.” Katanya dalam hati.

***


Pada akhirnya, ketulusan akan dapat sampai ke hati. Tak perduli bagaimana sulitnya ketika kecemburuan datang, ia akan tetap teguh di kedalaman hati. Sedangkan hati mereka yang saling menunggu, di pertemukan pada tempat yang indah karena takdir tak pernah salah sasaran.

Sebuah Kesalahan dan Penyesalan


            Aku berdiri diantara nyanyian orang bahagia ketika mereka sedang jatuh cinta. Ketika itu, keadaan berbalik denganku. Aku sedang merasakan patah hati yang amatlah dalam. Cintaku, membawaku kepada sebuah perpisahan yang sungguh sangat membuatku menyesal. Kini, hanya sebuah penyesalan yang hingga kini masih sangat terasa, penyesalanku untuk memintanya pergi dan tak memperdulikanku. Aku tak mengerti mengapa aku begitu tega menyakitinya. Penyesalanku, masih terasa hingga detik ini, bahkan semakin terasa ketika aku melihat seorang gadis di gambar tampilan BBM miliknya.
            Hari itu adalah hari terakhir aku menemuinya, setelah beberapa hari yang lalu aku dan dia bertengkar karena sebuah permasalahan yang cukup rumit mengenai masa depan. Esok aku sudah harus kembali ke Malang karena 3 hari lagi KRS akan segera dilaksanakan. Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun dan mulai membereskan rumah dan juga barang-barang yang akan ku bawa besok. Sebenarnya, aku sangat takut untuk menemuinya. Aku tahu sesuatu tentangnya, Ia akan memarahiku atas apa yang telah aku katakan beberapa hari lalu, yang membuat kami bertengkar. Namun, aku meyakini semua akan baik-baik saja. Sedangkan hati ini selalu gelisah, bahkan hingga beberapa langkah aku akan sampai ke tempat kami akan bertemu. Ketika itu, aku tak melihat seorangpun yang nampak seperti dirinya disana. Aku hanya melihat beberapa pegawai kabupaten yang sedang berkeliaran entah sedang apa. Ketika itu, aku duduk di depan sebuah pemandangan sekumpulan kijang yang sedang menikmati sarapan paginya. Aku menghitung waktu dan hatiku tetap masih gugup. Kemudian aku melihat seseorang dengan jaket berwarna biru dari kejauhan sedang berjalan sendirian, aku memperhatikannya. Ketika Ia semakin dekat, aku semakin kacau dan sedikit semakin cepat detakkan jantung aku rasakan. Aku sedikit berkeringat disana karena pagi sudah menjelang siang dan kegugupanku masih merajai diriku. Setelah tinggal beberapa meter saja kami akan bertemu, aku mencoba mengalihkan pikiranku dan membuat diriku nyaman akan situasinya.
“Udah lama nunggunya?” Ahmad membuka kata.
“Sekitar 10 menit aku udah disini.” Aku menjawab singkat.
“Jadi, apa yang mau kamu omongin?” Ahmad mulai bertanya.
Aku mulai membicarakan permasalahannya dan menjelaskannya sesuai apa yang ingin aku katakan. Aku tidak takut padanya, bahkan aku ikhlas jika Ia ingin memarahiku dan jika Ia mau, Ia bisa saja mencubitku seperti biasa. Ia mulai berbicara sangat panjang dan lebar tentang perasannya juga tentang apa yang Ia rasakan hingga membuatnya tak bisa tertidur malam tadi. Hingga waktu membuatku ingin pergi karena tak tahan mendengar ucapannya yang cukup pedih. Namun, aku hanya bisa diam dan menunggu waktu untukku menjelaskan lagi kepadanya apa maksudku. Sampai pada akhirnya kami kembali baikkan dan kembali kerumah masing-masing karena hari semakin terik. Kami melewati jalan yang tak biasa kami lalui ketika kami bersama. Saat kami jalan bersama, tak banyak hal yang bisa kami bicarakan. Mungkin karena pikiran terlalu sulit membuat hal baru yang dapat mengubah suasana beku itu menjadi cair kembali. Akhirnya, kami berpisah di antara ramainya jalan raya siang itu. Ketika aku di dalam angkutan umum, aku memperhatikannya dari jauh, hingga aku tak lagi melihatnya.
            Hari terakhirku di Bandung akhirnya tiba. Setelah beberapa waktu lalu aku merasa seperti pengangguran tanpa acara. Tasku  begitu penuh dengan baju dan beberapa perlengkapan pribadi. Aku sudah berdandan sejak setelah dzuhur dan butuh beberapa menit di depan kaca untuk meyakinkan bahwa aku telah rapi dan siap berangkat.
“Mah, aku berangkat dulu ya. Mamah di rumah hati-hati dan jangan sampai kelelahan.” Aku mengucap kata perpisahan.
“Iya, kamu disana jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa makan dan jangan banyak tingkah.” Mamah berpesan padaku.
“Iya Mah, terimakasih ya Mah. Tunggu sampai nanti aku pulang ya. Aku sayang Mamah.” Aku mengatakan kata perpisahan lagi.
Aku mulai berangkat dan di antar oleh Ayahku. Saat itu Ayahku sedang kurang sehat, namun Ayahku rela mengantarku pulang karena khawatir terjadi sesuatu padaku. Ketika itu, ayahku mengantarku hingga suatu tempat bernama Warung Lobak.
“Teh, Papah Cuma bisa antar sampai sini nggak apa-apa ya? Ingat juga pesan Papah dan Mamah ya. Baik-baik disana.” Ayahku berkata.
“Iya Pah, terimakasih ya sudah mengangtar. Semua pesan papah akan selalu saya ingat.” Aku menjawab.
Aku kemudian menaiki angkutan umum yang sudah menungguku sejak perpisahan dengan Ayahku. Aku begitu sayang padanya, Ia rela mengantarku bahkan ketika Ia sedang sakit seperti ini.. Mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat Ayahku beranjak dari tempat terakhir mengantarku dan Ia mulai tak terlihat dan akhirnya hilang dari pandaganku.
            Sepanjang perjalanan itu, aku mendengarkan musik yang beberapa kali aku ganti karena kurang sesuai dengan perasaanku. Hingga musik terhenti ketika di layarnya mengisyaratkan ada pesan baru. Ketika aku lihat lebih jelas, pesan itu berasal dari Ahmad, kekasihku. Aku membacanya dan kami mulai saling membalas pesan. Hingga aku sampai di kereta dan masih saja tersenyum dengan caranya yang tak jarang aneh cenderung lucu. Aku mulai tenang dan merasa bahagia saat itu dan menikmati perjalanannya.
            Esoknya, aku sudah tiba di Malang. Aku merasa ini sebuah mimpi. Rasanya baru kemarin aku melihat keadaan dan menghirup udara Bandung, kini aku sudah harus memulai lagi kegiatanku sebagai mahasiswa semester 3. Aku merasakan lagi suasana Malang yang sejuk dan beberapa supir taksi menghampiriku berharap aku akan memakai jasa nya. Sejak awal aku menginjakkan kaki di kota itu, belum pernah aku menaiki taksi, karena harganya yang mahal dan akan cukup menguras uangku yang seharusnya aku gunakan untuk bertahan hidup.
            Setelah satu pekan aku selesai mengisi KRS, aku kembali mengisi hariku dengan berbagai kesibukan. Seperti yang di umumkan dan bukan rahasia lagi bagi mahasiswa semester 3 di BP, bahwa semester ini kita akan berperang habis-habisan dengan yang namanya laporan. Cukup padat kegiatan itu membuat hari-hariku sedikit berwarna kelabu. Semua yang terjadi pada mahasiswa BP saat itu, cukup membuat mereka berubah menjadi emosional dan begitupun denganku. Aku tak ingin mengeluh dengan tugasku yang bertumpuk, aku hanya menjalaninya dengan wajar. Walaupun pada akhirnya aku Inhole pada praktikum FHA.
            Aku tak menyalahkan semua karena kesibukanku dan juga beberapa hal yang menekanku saat itu. Aku mulai berubah menjadi seperti orang lain dan mungkin beberapa orang akan tidak menyukaiku karena sifat baruku saat itu. Aku seperti  bukan diriku. Aku mulai memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Ahmad tanpa berpikir panjang. Aku mulai memberinya pesan lewat Facebook dan mulai mengatakan beberapa kata yang mungkin menyakitinya.
“Ahmad, jangan pernah like atau apapun yang berhubungan dengan aku.” Aku membuka kata.
“Kenapa memagnya? Kamu kenapa kok jadi gini?” Ahmad bertanya.
“Aku mau kita udahan aja hubungannya, dan kamu jagan pernah hubungin aku lagi.” Aku meminta.
“Iya aku mau tahu alasan kamu apa? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus? Apa karena ada seseorang?” Ahmad bertanya lagi.
Aku mulai menjelaskan mengapa aku ingin putus dengannya. Aku benar-benar tak memikirkan tentangnya apalagi dengan perasaannya. Aku hanya mengingat saat-saat ketika Ia memarahiku dan berkata cukup keras kepadaku. Hingga akhirnya Ia mengiyakan permintaanku dengan 1 syarat.
“Yasudah kalau begitu mau kamu, aku terima. Tapi, jangan pernah berharap kamu bisa balik lagi sama aku.”
Kata-kata yang tak akan aku lupakan karena bagiku itu sebuah tantangan. Aku mengiyakan katanya dan memang kami sudah sering membicarakan masalah ini jika suatu saat kami berpisah. Aku hanya terdiam beberapa saat dan meyakinkan yang aku lakukan ini sudah tepat.  Setelah itu aku berjalan menuju kelas di gedung C karena saat itu pelajaran kedua akan segera dimulai.
            Untuk beberapa waktu setelah kejadian itu, aku mulai merasakan Ia benar-benar menghilang dari hidupku. Aku tak lagi melihat tentangnya di berandaku dan juga beberapa statusku yang biasaya Ia Like atau berkomentar atasnya. Aku benar-benar merasa kehilangan seorang yang mengisi hatiku. Hingga waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan dan bulan terus berjalan. Aku tak mengerti akan satu hal pada diri ini. Aku merindukan tentangnya. Sosok yang kini sudah lama pergi dari hatiku namun Ia tetap nyata keberadaannya. Bukan hanya sekali untukku melihat profilnya, menyukai beberapa hal tentangnya dan mengirim pesan padanya yang tanpa satupun balasan. Aku mengira ini adalah karma bagiku karena telah menyakiti hatinya. Jujur dalam hati ini, aku masih sangat menyayanginya dan semua tentangnya masih aku ingat. Bahkan raut wajah yang tak ingin aku lihat, masih sangat jelas terpampang di depan wajahku. Sebuah waktu yang tak mungkin aku lupakan, sebuah hati yang begitu tulus menyayangiku dan sebuah keterlambatan untuk menyayanginya kembali.
            Setelah waktu yang begitu cepat berlalu itu masih berlalu, aku melihat gambar tampilan BBM nya akan seorang gadis dengan sosok ibu-ibu yang mungkin ibu si gadis itu. Aku menerka-nerka siapakah gadis itu. “Mungkinkah itu pacar barunya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku tau, aku tak pantas untuk menanyakan hal ini padanya. Aku bukanlah lagi apa-apa baginya. Aku hanya berharap hatiku dapat lagi dekat dengannya. Sekalipun kemungkinan sangatlah kecil, disisi lain tentangnya yang sudah tak mau lagi tau apa-apa tentangku.

            Aku terdiam di sudut kamar dengan beberapa tulisan tentangnya. Aku hanya berharap sebuah penyesalan dan kesalahanku dapat Ia maafkan. Dengan udara pagi yang masih sejuk ini, aku lambungkan anganku tentangnya yang masih aku simpan dalam hati dan berharap Ia akan memikirkanku saat ini.
 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design