Kartini Nurhasanah
***
Bagi anak rantau, pulang
kampung merupakan hal yang paling penting. Seperti yang sedang aku jalani saat
ini, aku menjadi anak rantau. Ya... Walaupun tidak terlampau jauh jaraknya,
hanya sekitar 17 jam perjalanan Bandung-Malang dengan kereta api. Mungkin ini
sama seperti beberapa temanku di kampus, “Tersesat di jalan yang benar”,
begitulah filosofinya. Memang pada awalnya aku tak memiliki pandangan untuk
berkuliah dibidang perikanan yang membuatku merantau. Namun seiring berjalannya
waktu, aku mulai menikmati setiap matakuliahnya, yang tak jarang membuat perut
ini sedikit melilit. Tapi, disitulah enaknya. Belum tentu jika aku mengambil
jurusan lain, aku akan merasakan hal yang fantastik ini.
Tak jarang temanku yang berasal
dari Jawa Timur, iseng bertanya begini padaku: “Kamu kenapa kok kuliahnya
jauh-jauh? Emangnya di Jawa Barat gak ada kampus ya?” Terkadang pertanyaan itu
tak ingin aku jawab, karena alasanku yang kurang keren. Biasanya aku menjawab:
“Dulu itu, aku ngasal milih kampus.
Eh, malah keterima di kampus yang jauh. Padahal aku ngarepnya sih keterima di Jakarta.” Tapi, aku bisa saja menjawab,
“Soalnya UB itu termasuk top ten
kampus di Indonesia dan akreditasinya juga bagus.” Mungkin aku akan menjawab
seperti itu suatu saat nanti.
Setelah aku menjalani masa
perkuliahan dan mendeklarasikan diri sebagai anak rantau, aku merasa dunia ini
tak begitu buruk. Ya, walaupun pada kenyataannya tak seperti di sinetron,
seperti para pelajar nongkrong-nongkrong dan tertawa lebar. Permulaan, aku
menghadapi laporan dan dengan semua aturan tulis-menulis yang terkadang
membuatku ingin menangis. Tapi, over all
aku mencintainya. Seperti cinta yang semakin besar ketika seorang kakak
terpisah dari adikknya tatkala jarak membentang diantaranya. Atau seperti cinta
seorang sahabat yang bertambah banyak ketika diajak traktiran makan bakso. Tapi
lagi nih, ngomong-ngomong soal bakso, ada yang unik dengan bakso disini. Orang
Malang sini menyebutnya “pentol”, yang artinya ya sama aja sih, bakso. Bagiku,
ada dua jenis bakso yang terdapat di Malang ini. Pertama, bakso beneran: bakso
yang bener-bener bakso nomal yang sama seperti di Bandung dengan harga yang
cukup lumayan. Kedua, bakso jadi-jadian: bakso yang kalo aku makan, rasaya kayak tepung dan harganya gak begitu mahal.
Biasanya, baso jadi-jadian itu jadi makanan mahasiswa banget sih, terutama buat
ngemil. Tapi, kadang temanku bukan membeli baksonya, melainkan pendampingnya,
seperti siomay dan sebagainya. Mungkin itu juga yang bikin aku tambah gendut
kalau lagi di perantauan, ya karena banyak ngemilnya ketimbang makan beneran.
Kembali ke topik soal anak
rantau. Sebenernya, aku nggak pernah kefikiran bakal kuliah jauh
begini dan alhamdulillahnya dengan beasiswa. Ada banyak hal yang aku pikirin saat
aku jadi mahasiswa baru seperti, gimana caranya supaya IP aku tetap bagus,
supaya beasiswanya nggak dicabut dan
masih banyak lagi. Awalnya, pasti rindu dengan suasana rumah dan orangtua
tentunya. Tapi, lama-kelamaan aku membiasakan diri dengan keadaan ini dan
membuat diri ini betah tinggal di perantauan, apalagi kalau bukan supaya kuliah
aku nyaman dan cepat menyelesaikan studi. Sampai sekarang, aku sudah 3 kali
pulang kampung. Diantara pulang kampung itu, semua aku rindukan. Tapi, ada satu
yang amat sangat membuat rindu ini bertumpuk. Ketika liburan semester 3, aku
sangat ingin pulang. Tapi, aku harus mengubur itu semua dan terpaksa menjadi
penjaga kost-an selama kurang lebih 2 minggu. Ya, walaupun bukan terbilang
waktu yang lama, namun cukup membuat keadaan Malang menjadi mellow. Jadi, saat itu aku berada di
Malang selama 1 tahun, dan pulang kampung ketika pertengahan bulan Ramadhan.
Walaupun aku harus terus mencintai keberadaan yang tidak aku inginkan, hal itu
semakin memacuku untuk menjalani semuanya dengan cepat, terutama saat UTS.
Entah mengapa, dan apa yang memacuku begitu semangat mengerjakan UAS kali ini.
Mungkin karena dengan iming-iming
tiket yang sudah aku booking sejak
bulan April lalu. Tapi, ada tapinya. Jujur, sistem SKS (sistem kebut semalam)
yang aku bawa sejak SMA, masih terjadi dalam kehidupanku di kampus, terutama
pada saat sebelum melaksanakan UTS/UAS. Bukan hanya aku, tapi beberapa temankupun
melakukan hal yang sama.
Selain ini keberadaan yang
cukup lama untukku di Malang, kali ini pun merupakan kali yang sangat berharga
untukku. Bukan hanya Malang, aku pernah menginjakkan kaki di Surabaya untuk
menemui temanku di UINSA. Dan, praktikum semester ini pun banyak yang dilakukan
di luar kampus. Hal itu merupakan hal yang menyenangkan, praktikum lapang
serasa berpiknik untukku. Skiip. Sampai pada akhirnya aku harus pulang kampung.
Dimana saat-saat yang sangat menyenangkan sekaligus dramatis.
Saat terakhir aku di Malang,
aku tak dapat mempercayainya, akhirnya kaki ini melangkah keluar dan menghirup
udara Malang untuk terakhir kalinya sebelum aku pulang. Pagi yang terasa lebih
sejuk dari biasanya. Mentari yang
terlihat lebih cerah dari biasanya. Dan teman sekamarku, Hana, yang terlihat
lebih cantik dari biasaya, yang tak kalah antusias daripadaku untuk pulang
kampung ke Pengasinan, Bekasi. Setelah sejak beberapa hari aku membeli
oleh-oleh dan menyiapkan beberapa baju yang akan aku bawa pulang kampung, aku
menghabiskan waktu senggang pada siang harinya untuk senam SKJ 2004, sembari
nostalgia jaman SD. Hingga 1 jam sebelum kereta berangkat, aku sudah
dijemput kak Imam dan diantar menuju
stasiun. Jarak stasiun dan kostanku sebenarnya tidak terlalu jauh, karena
itulah kak Imam tidak mengebut saat mengendarai motor. Kami tertawa-tertawa
saat itu dan menceritakan pengalaman kami pada semester ini. Hingga kejadian
drama itu terjadi. Ketika kami saling terdiam entah mengapa, tiba-tiba aku
memikirkan akan hal apa yang akan aku lakukan ketika aku sampai di stasiun. Aku
harus mencetak tiket dan menunggu pemanggilan penumpang menuju Bandung. “Oke.
Apaaaaa? Tiket? Tas? Dompet? Semua itu masih tergantung di sebelah lemari di
kostan-ku.” Aku yang sangat ceroboh meninggalkan barang terpenting yang
seharusnya aku bawa, bukan tangan yang sedari tadi menggenggam tas berisi
oleh-oleh itu. Sontak saat itu aku mengoyak-ngoyak badan kak Imam yang sedang
menyetir dan berteriak histeris. Jarak yang sudah hampir sampai, terpaksa kami
putar balik dan kak Imam mengendarai motornya lebih cepat.
Aku yang kalut saat itu
kemudian mencoba menghubungi Hana, berharap ia belum berangkat. Namun, karena handphone-ku sedang error, jaringan sangat sulit membuat kami terhubung. Hingga
akhirnya aku memijam handphone milik
kak Imam. Itupun masih sulit terhubung. Namun, fortunately aku sampai di depan jalan dengan tepat waktu, sehingga
saat itu aku bertemu dengan Hana, dia sedang tersenyum-senyum sendiri
memandangi ponselnya dan tak menyadari kehadiranku yang hampir menangis ini,
sampai aku benar-benar ada di hadapannya. Langsung aku menghampirinya dan
meminjam kunci kostan, karena kunciku aku simpan di tasku yang tertinggal itu.
Tas yang berat di punggung ini masih melekat ketika aku berlari menuju kost,
juga sepatu yang aku bawa masuk menginjak-injak lantai yang saat itu terlihat
bersih.
Aku sangat merepotkan sekali.
Tapi, kak Imam tampak sukarela mengantarku dan tanpa ragu mengendarai motor
seperti itu. Hingga 4 menit sebelum kereta berangkat, aku sampai di depan
stasiun. Struk tanda booking-pun
sudah aku persiapkan. “Kak Imam, makasih banget yah udah ngaterin. Makasih
banget,” mataku yang basah ini sedikit menyipit ketika aku tersenyum padanya.
Namun, baru beberapa langkah, kak Imam memanggilku. “Dek?” Katanya tanpa
meneruskan kata-kata hingga aku berbalik dan bertanya, “Apa lagi kak?” Aku yang
terburu-buru bertanya dengan nada sedikit ketakutan karena aku belum mencetak
tiketnya. “Helmnya mau kamu bawa tah?” kak Imam berkata sambil tersenyum lebar.
Aku sangat malu dan lekas melepas helmnya lantas berlalu menuju self-printing di stasiun Malang.
Aku tak mengerti dengan barang
bawaan ini. Tas yang seperti ini,
membuat pundakku terasa pegal sekali. Tapi, demi pulang kampung, aku
hanya terseyum saja. belum lagi tatapan-tatapan yang sejak aku berlarian tadi
terus memburuku. Seperti melihat keanehan pada diriku. Mungkin ya, aku aneh
dengan tas besar ini, dengan tangan yang penuh dengan barang bawaan, sehingga
aku mengigit sesuatu karena kedua tangan ini tak mampu menampungnya. Ketika aku
akan masuk ke ruang pemeriksaan penumpang, aku melihat antrian yang sangat
panjang hingga pintu yang akan aku masuki itu. Waktu itu sudah menunjukkan
pukul 16:00, yang seharusnya waktu keberangkatan keretaku. Karena tak mungkin
aku mengantri selama itu, aku mulai memasuki kerumunan orang itu sambil
berkata: “Maaf-maaf buk, pak, permisi,” karena tasku yang sejak awal terus
membuat beberapa orang terdorong. Hingga aku sampai di 4 orang yang sedang
mengantri masuk. Lalu aku bertanya padanya begini: “Ibu mau ke Bandung juga?”
meyakinkan bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang hampir ketinggalan
kereta. Namun sialnya, hanya aku yang akan ke Bandung yang belum masuk kereta.
Lalu, ibu yang baik hati itu mempersilahkanku masuk duluan dan diperbolehkan
melewati beberapa orang yang sedang mengantri saat itu. Bukan beberapa orang
sih, aku melewati banyak sekali orang. Ini memang bukan tradisi orang Indonesia
banget, tapi kali ini aku benar-benar terpaksa. Terpaksa tidak mengantri demi
pulang kampung.
Ketika petugas selesai
memeriksa tiketku, aku dipersilahkan cepat menaiki kereta, karena saat itu
petugas sudah membunyikan peluit, tanda bahwa kereta akan segera berangkat.
Karena sangat gugup, aku berjalan lulus tepat pada sebuah pintu yang terbuka
lebar saat itu. Sialnya itu adalah pintu penyimpanan barang. Lalu pak satpam
yag melihatku langsung menyuruhku menaiki pintu yang satunya lagi. Aku masuk
lewat pintu kelas eksekutif. Aku kira aku akan sedikit lega karena aku sudah
berada dalam kereta. Namun ternyata salah, karena aku sedang berada di kelas
eksekutif dengan barang bawaan yang membuatku bernafas tak beraturan. Belum
lagi aku harus melewati beberapa pintu, karena saat itu akupun harus melewati
dapur kereta dan kelas dua bisnis, karena kelasku berada paling depan, yaitu
kelas ekonomi. Belum lagi pintu setiap gerbong yang sulit aku buka dan harus
menunggu kepekaan orang sekitar untuk membantuku membukanya.
Aku merasa sangat bahagia
ketika aku menemukan kursiku. Di sebelahku duduk wanita cantik yang sedang
bertelpon dengan ibunya dengan bahasa Padang. Aku jadi teringat pada novel yang
temanku beri padaku, berjudul “Rantau 1 Muara” karya Ahmad Fuadi, karena dalam
novel itu ada beberapa bahasa minang, ya walaupun wanita sebelahku tidak
berbicara bahasa minang. Aku sangka, wanita yang duduk sebelahku itu lebih tua
dariku, tapi ternyata dia baru semester 2 dan berkuliah jurusan akutansi di
UMM. Selain cantik, suaranya sangat bagus ketika mengaji, membuatku sangat iri
karena hingga kini aku belum bisa seperti dirinya. Diapun sangat ramah dan
menyukai lagu dangdut, aku mengetahuinya karena saat malam menjelang, aku
mendengarnya bernyanyi kecil lagu dangdut tanpa malu. Padahal, walaupun suara
kecil, aku dapat mendengarnya dengan jelas karena beberapa orang sedang
tertidur.
Selain wanita itu, di depanku
terduduk 2 wanita yang sejak awal aku sampai di tempat dudukku sedang asyik
mengobrol banyak sekali, macam orang lama tak bersua. Tapi, setelah wanita di
depanku menghadap ke arahku, ternyata ia adalah kakak tingkatku di Prodi yang
sama denganku. Lalu aku sedikit mengobrol dengannya karena kami tak begitu
akrab. Saat itu, aku tahu bahwa ia akan melaksanakan PKM di Ciparay. Pantas
saja, selain dia, di sebelah kiriku-pun ada seorang laki-laki yang mengenakan
jaket angkatan 2012, mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Aku tak
menyapanya karena aku tak mengenalnya. Namun, sejak awal aku bertemu pandang
dengannya, dia metatapku aneh, seperti mengenalku, namun aku yang tak
mengenalnya. Jadi, kami hanya saling memandang tanpa berkata.
Perjalanan panjang saat itu
membuatku sedikit sakit badan. Belum lagi sejak ada penumpang baru yang duduk
di sebelahku, membuatku harus menekuk kaki agar makananku berada tepat di
hadapanku. Aku yang mengenakan masker, mulai tertidur beberapa saat, hingga
akhirnya aku tersadar ketika kereta berhenti bukan di sebuah stasiun, melainkan
berhenti di tengah jalan yang gelap untuk menunggu kereta lain melintas. Lalu,
di tengah malamnya, aku ngemil dan
tak memperdulikan orang sekitar yang sedang tertidur, karena sejak magrib aku
tak memakan apapun. Aku melihat wajah-wajah yang kelelahan, juga 2 orang di
seberang sebelah kananku yang sedang asyik dengan ponselnya.
Selain lelah yang merajai
diriku, kebingunganpun tak kalah merajainya. Sudah sejak malam aku mengirimi
ayahku pesan, namun tak satupun yang terkirim. Di layar ponsel hanya tertulis emergency call. Begitupun dengan
beberapa pesan yang masih pending
sejak aku menaiki kereta. Akhirnya, dengan menghiraukan rasa malu, aku meminta
bantuan pada kakak tingkatku untuk mengirimi ayahku pesan, karena aku tak tahu
arah jalan pulang jika aku turun di stasiun Bandung.
Akhirnya aku sampai di Bandung.
Aku berjalan gembira dengan masker yang masih menutupi setengah wajahku. Dengan
barang bawaan yang memenuhi kedua tanganku, aku menunggu ayahku di pintu keluar
selatan. Lalu tak lama kemudian ayaku datang dan aku langsung memeluknya dan
aku tahu saat itu mataku berkaca-kaca. Ayahku terlihat tua, dan aku sangat
bangga padanya, karena masih terlihat bersemangat. Ketika aku sampai di rumah,
akupun memeluk ibuku dan menangis. Rindu yang aku simpan lama akhirnya terbayar
sudah dengan 17 jam perjalanan yang membuatku bertemu dengan orang yang
tersayang. Walau di sana ada sebuah hati yang aku titipkan. Berharap sebuah
jarak tak menjadi penghalang, karena memang begitu, jika sayang benar-benar dirasakan
dari hati, apapun hambatannya akan menemukan jalan keluarnya. Kini, ketika aku
sudah tidak diperantauan, cintaku yang merantau.