Selasa, 15 Maret 2016

Si Pemimpi di Banjar Anyar

Aku dapat mendengar derit jantung Si Pemimpi. Begitu menggebu dan kurasa Si Pemimpi itu akan membuat aliran di pipinya yang tirus. Ingin rasanya aku menjadi obat kegelisahannya. Ah... Ia hanyalah seorang pemimpi yang mencoba teguh. Ia tersenyum dan memamerkan kacamata yang retak di ujung bagian atas.
Si Pemimpi ini adalah sosok yang sangat sibuk. Hari-harinya dipenuhi dengan jurnal, presentasi, makalah, dan—yang paling penting adalah rapat. Selain aktif, Si Pemimpi ini adalah sosok yang penyayang. Ia sangat mencintai Halimah, ibunya. Pun padaku yang selalu menemani kesehariannya.
Peluh bersarang di ujung-ujung keningnya. Sesekali ia menghisap es teh yang ia beli di depan kampusnya. Tertangkap tatapan gelisah di ujung tugas yang harus dikumpulkan pagi ini. Dengan harap-harap cemas ia menanti Firman, teman sekelasnya. Sembari mengoreksi tugasnya, ia mencoba menelpon ibu di rumah.
Halo?
Iya Bu. Ini anakmu.
Gimana Le kabarmu?
Alhamdulillah baik bu. Ibu sudah baikan? Kata Rahmat, ibu sakit.
Alhamdulillah sudah baik. Gimana kuliahnya?
Banyak tugas Bu. Ini sedang dikerjakan.
Syukur kalau begitu. Jaga kesehatan ya Le. Ibu belum bisa kirim uang.
Ndak apa-apa bu. Masih ada uang cukup sampai akhir bulan ini. Kemarin ada karya yang di muat di Kompas.
Alhamdulillah. Ibu senang mendengarnya.
Bu. Sudah dulu ya. Besok disambung lagi.
Iya Le.
Assalammualaikum.
Waalaikumsalam.
***
Pagi itu sangat sepi. Si Pemimpi berjalan sempoyongan menuju kontrakannya setelah bermalam di basecamp-nya. Langkahnya kadang gemetar setelah menahan lapar sejak semalam. Aku tahu dia terlalu sibuk. Kini Si Pemimpi tengah duduk menatap kosong halaman kontrakan yang memang kosong. Ia penuh rahasia, menggetarkan, dan menanarkan setiap orang yang memandangnya. Tapi, seketika itu pula sabit muncul. Mengundang serta semangat minatnya dalam dunia jurnalistik. Dinyalakannya netbook berwarna birunya dan mulai mengawang. Aku tahu. Ia sedang tidak baik-baik saja. Bahkan dengan keadaan seperti ini—terlihat seolah kuat. Nyatanya, ia tak bisa berbohong padaku. Ia sangat kebingungan, penuh masalah, dan dibawah tekanan.
Hei. Diam saja. Ayo ke kampus!
Iya sek. Aku lagi bikin opini buat minggu ini.
Ealah. Nanti aja sih. Kan bisa.
Mumpung ada inspirasi.
Siapa tuh inspirator yang menggugah hati sang pemimpi? Cie.
Ada deh. Yang jelas bukan kamu. Haha.
Begitu. Sekalipun aku melihatnya sebuah kebahagiaan. Aku bisa merasakan kesedihan dalam hatinya. Aku tau pasti itu. Aku sudah lama hidup bersamanya.
Puluhan mentari berlalu. Si Pemimpi memutuskan untuk pulang ke Banjar Anyar kampungnya. Penampilannya selalu sederhana. Berbeda dengan mimpinya yang luar biasa: memperjuangkan putra daerah untuk mendapat pendidikan yang layak, membangun desa tercinta menjadi lebih baik. Kini matanya tak bisa mendustai siapa pun. Aliran sungai benar tercipta di pipinya. Bening mengalir menyentuhku. Ketika itu, aku berada di pangkuannya.
Kereta api datang. Udara dingin berhembus tepat ke wajahnya. Dengan penutup wajah, Si Pemimpi benar-benar bermimpi. Bersama setumpuk koran berisi setiap karya yang di muat di media. Tiba-tiba, aku merasakan kehangatan. Ya... Hangat sekali. Mungkin aku berada dalam pelukannya.
3 jam berlalu. Ridwan, adiknya sudah menunggu di pintu keluar. Dengan penuh rindu, Si Pemimpi memeluknya. Ridwan pun tak kalah haru, namun tak sampai mengalirkan sungai di pipinya yang tembam. Lalu, Si Pemimpi naik ke atas motor dan menikmati suasana Banjar Anyar yang selalu sama—panas.
Sawah masih membentang hijau bak lapangan sepak bola. Burung-burung bernyayi. Beberapa diantaranya menyangkut di jaring yang sengaja di pasang oleh petani. Di persimpangan dekat rumah, seorang pemuda menghampiri Si Pemimpi.
Mas? Mas jadi pulang ternyata. Anak-anak banyak yang menanyakan Mas.
Iya Mas. Alhamdulillah. Memangnya ada apa ya Mas?
Mereka meminta Mas untuk mengisi materi jurnalistik. Aku pun melihat karya Mas banyak di muat di media online dan cetak. Selamat ya mas.
Hehehe. Terimakasih Mas. Insha Allah nanti datang ke HPBA (Himpunan Pemuda Banjar Anyar).
Iya Mas. Ditunggu ya.
Lalu, Ridwan melanjutkan perjalanan yang sekitar 1 km lagi. Beberapa warga berbisik, “Dia sudah dewasa sekarang. Ibunya bilang kalau dia sudah bisa membiayai hidupnya sendiri. Bahkan sering mengirim uang ke rumah.” Yang lainnya menimpali. “Alhamdulillah. Dia memang anak yang sholeh.”
Ibu sudah menanti di halaman rumah. Senyumnya pun merekah-rekah melihat Si Pemimpi yang kembali ke rumah. Lalu, tanpa rasa apapun, semua perasaan tercurah dalam dekapan Halimah. Peluknya begitu erat. Bahkan nafasnya tak beraturan. Deritan jantungnya menjadi-jadi. Dulu—lewat halaman rumahnya, sampai berbagai caci-maki ke telinga Halimah dan Si Pemimpi. Namun, agaknya Si Pemimpi sudah dewasa kini. Ya... Si Pemimpi masih terus bermimpi untuk membangun Banjar Anyar lebih baik lagi.
***
Nb: Aku adalah novel yang selalu menemani perjalanannya.

1 komentar:

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design