Minggu, 16 Agustus 2015

Cerita Anak Rantau

Kartini Nurhasanah

***

Bagi anak rantau, pulang kampung merupakan hal yang paling penting. Seperti yang sedang aku jalani saat ini, aku menjadi anak rantau. Ya... Walaupun tidak terlampau jauh jaraknya, hanya sekitar 17 jam perjalanan Bandung-Malang dengan kereta api. Mungkin ini sama seperti beberapa temanku di kampus, “Tersesat di jalan yang benar”, begitulah filosofinya. Memang pada awalnya aku tak memiliki pandangan untuk berkuliah dibidang perikanan yang membuatku merantau. Namun seiring berjalannya waktu, aku mulai menikmati setiap matakuliahnya, yang tak jarang membuat perut ini sedikit melilit. Tapi, disitulah enaknya. Belum tentu jika aku mengambil jurusan lain, aku akan merasakan hal yang fantastik ini.
Tak jarang temanku yang berasal dari Jawa Timur, iseng bertanya begini padaku: “Kamu kenapa kok kuliahnya jauh-jauh? Emangnya di Jawa Barat gak ada kampus ya?” Terkadang pertanyaan itu tak ingin aku jawab, karena alasanku yang kurang keren. Biasanya aku menjawab: “Dulu itu, aku ngasal milih kampus. Eh, malah keterima di kampus yang jauh. Padahal aku ngarepnya sih keterima di Jakarta.” Tapi, aku bisa saja menjawab, “Soalnya UB itu termasuk top ten kampus di Indonesia dan akreditasinya juga bagus.” Mungkin aku akan menjawab seperti itu suatu saat nanti.
Setelah aku menjalani masa perkuliahan dan mendeklarasikan diri sebagai anak rantau, aku merasa dunia ini tak begitu buruk. Ya, walaupun pada kenyataannya tak seperti di sinetron, seperti para pelajar nongkrong-nongkrong dan tertawa lebar. Permulaan, aku menghadapi laporan dan dengan semua aturan tulis-menulis yang terkadang membuatku ingin menangis. Tapi, over all aku mencintainya. Seperti cinta yang semakin besar ketika seorang kakak terpisah dari adikknya tatkala jarak membentang diantaranya. Atau seperti cinta seorang sahabat yang bertambah banyak ketika diajak traktiran makan bakso. Tapi lagi nih, ngomong-ngomong soal bakso, ada yang unik dengan bakso disini. Orang Malang sini menyebutnya “pentol”, yang artinya ya sama aja sih, bakso. Bagiku, ada dua jenis bakso yang terdapat di Malang ini. Pertama, bakso beneran: bakso yang bener-bener bakso nomal yang sama seperti di Bandung dengan harga yang cukup lumayan. Kedua, bakso jadi-jadian: bakso yang kalo aku makan, rasaya kayak tepung dan harganya gak begitu mahal. Biasanya, baso jadi-jadian itu jadi makanan mahasiswa banget sih, terutama buat ngemil. Tapi, kadang temanku bukan membeli baksonya, melainkan pendampingnya, seperti siomay dan sebagainya. Mungkin itu juga yang bikin aku tambah gendut kalau lagi di perantauan, ya karena banyak ngemilnya ketimbang makan beneran.
Kembali ke topik soal anak rantau. Sebenernya, aku nggak pernah kefikiran bakal         kuliah jauh begini dan alhamdulillahnya dengan beasiswa. Ada banyak hal yang aku pikirin saat aku jadi mahasiswa baru seperti, gimana caranya supaya IP aku tetap bagus, supaya beasiswanya nggak dicabut dan masih banyak lagi. Awalnya, pasti rindu dengan suasana rumah dan orangtua tentunya. Tapi, lama-kelamaan aku membiasakan diri dengan keadaan ini dan membuat diri ini betah tinggal di perantauan, apalagi kalau bukan supaya kuliah aku nyaman dan cepat menyelesaikan studi. Sampai sekarang, aku sudah 3 kali pulang kampung. Diantara pulang kampung itu, semua aku rindukan. Tapi, ada satu yang amat sangat membuat rindu ini bertumpuk. Ketika liburan semester 3, aku sangat ingin pulang. Tapi, aku harus mengubur itu semua dan terpaksa menjadi penjaga kost-an selama kurang lebih 2 minggu. Ya, walaupun bukan terbilang waktu yang lama, namun cukup membuat keadaan Malang menjadi mellow. Jadi, saat itu aku berada di Malang selama 1 tahun, dan pulang kampung ketika pertengahan bulan Ramadhan. Walaupun aku harus terus mencintai keberadaan yang tidak aku inginkan, hal itu semakin memacuku untuk menjalani semuanya dengan cepat, terutama saat UTS. Entah mengapa, dan apa yang memacuku begitu semangat mengerjakan UAS kali ini. Mungkin karena dengan iming-iming tiket yang sudah aku booking sejak bulan April lalu. Tapi, ada tapinya. Jujur, sistem SKS (sistem kebut semalam) yang aku bawa sejak SMA, masih terjadi dalam kehidupanku di kampus, terutama pada saat sebelum melaksanakan UTS/UAS. Bukan hanya aku, tapi beberapa temankupun melakukan hal yang sama.
Selain ini keberadaan yang cukup lama untukku di Malang, kali ini pun merupakan kali yang sangat berharga untukku. Bukan hanya Malang, aku pernah menginjakkan kaki di Surabaya untuk menemui temanku di UINSA. Dan, praktikum semester ini pun banyak yang dilakukan di luar kampus. Hal itu merupakan hal yang menyenangkan, praktikum lapang serasa berpiknik untukku. Skiip. Sampai pada akhirnya aku harus pulang kampung. Dimana saat-saat yang sangat menyenangkan sekaligus dramatis.
Saat terakhir aku di Malang, aku tak dapat mempercayainya, akhirnya kaki ini melangkah keluar dan menghirup udara Malang untuk terakhir kalinya sebelum aku pulang. Pagi yang terasa lebih sejuk dari  biasanya. Mentari yang terlihat lebih cerah dari biasanya. Dan teman sekamarku, Hana, yang terlihat lebih cantik dari biasaya, yang tak kalah antusias daripadaku untuk pulang kampung ke Pengasinan, Bekasi. Setelah sejak beberapa hari aku membeli oleh-oleh dan menyiapkan beberapa baju yang akan aku bawa pulang kampung, aku menghabiskan waktu senggang pada siang harinya untuk senam SKJ 2004, sembari nostalgia jaman SD. Hingga 1 jam sebelum kereta berangkat, aku sudah dijemput  kak Imam dan diantar menuju stasiun. Jarak stasiun dan kostanku sebenarnya tidak terlalu jauh, karena itulah kak Imam tidak mengebut saat mengendarai motor. Kami tertawa-tertawa saat itu dan menceritakan pengalaman kami pada semester ini. Hingga kejadian drama itu terjadi. Ketika kami saling terdiam entah mengapa, tiba-tiba aku memikirkan akan hal apa yang akan aku lakukan ketika aku sampai di stasiun. Aku harus mencetak tiket dan menunggu pemanggilan penumpang menuju Bandung. “Oke. Apaaaaa? Tiket? Tas? Dompet? Semua itu masih tergantung di sebelah lemari di kostan-ku.” Aku yang sangat ceroboh meninggalkan barang terpenting yang seharusnya aku bawa, bukan tangan yang sedari tadi menggenggam tas berisi oleh-oleh itu. Sontak saat itu aku mengoyak-ngoyak badan kak Imam yang sedang menyetir dan berteriak histeris. Jarak yang sudah hampir sampai, terpaksa kami putar balik dan kak Imam mengendarai motornya lebih cepat.
Aku yang kalut saat itu kemudian mencoba menghubungi Hana, berharap ia belum berangkat. Namun, karena handphone-ku sedang error, jaringan sangat sulit membuat kami terhubung. Hingga akhirnya aku memijam handphone milik kak Imam. Itupun masih sulit terhubung. Namun, fortunately aku sampai di depan jalan dengan tepat waktu, sehingga saat itu aku bertemu dengan Hana, dia sedang tersenyum-senyum sendiri memandangi ponselnya dan tak menyadari kehadiranku yang hampir menangis ini, sampai aku benar-benar ada di hadapannya. Langsung aku menghampirinya dan meminjam kunci kostan, karena kunciku aku simpan di tasku yang tertinggal itu. Tas yang berat di punggung ini masih melekat ketika aku berlari menuju kost, juga sepatu yang aku bawa masuk menginjak-injak lantai yang saat itu terlihat bersih.
Aku sangat merepotkan sekali. Tapi, kak Imam tampak sukarela mengantarku dan tanpa ragu mengendarai motor seperti itu. Hingga 4 menit sebelum kereta berangkat, aku sampai di depan stasiun. Struk tanda booking-pun sudah aku persiapkan. “Kak Imam, makasih banget yah udah ngaterin. Makasih banget,” mataku yang basah ini sedikit menyipit ketika aku tersenyum padanya. Namun, baru beberapa langkah, kak Imam memanggilku. “Dek?” Katanya tanpa meneruskan kata-kata hingga aku berbalik dan bertanya, “Apa lagi kak?” Aku yang terburu-buru bertanya dengan nada sedikit ketakutan karena aku belum mencetak tiketnya. “Helmnya mau kamu bawa tah?” kak Imam berkata sambil tersenyum lebar. Aku sangat malu dan lekas melepas helmnya lantas berlalu menuju self-printing di stasiun Malang.
Aku tak mengerti dengan barang bawaan ini. Tas yang seperti ini,  membuat pundakku terasa pegal sekali. Tapi, demi pulang kampung, aku hanya terseyum saja. belum lagi tatapan-tatapan yang sejak aku berlarian tadi terus memburuku. Seperti melihat keanehan pada diriku. Mungkin ya, aku aneh dengan tas besar ini, dengan tangan yang penuh dengan barang bawaan, sehingga aku mengigit sesuatu karena kedua tangan ini tak mampu menampungnya. Ketika aku akan masuk ke ruang pemeriksaan penumpang, aku melihat antrian yang sangat panjang hingga pintu yang akan aku masuki itu. Waktu itu sudah menunjukkan pukul 16:00, yang seharusnya waktu keberangkatan keretaku. Karena tak mungkin aku mengantri selama itu, aku mulai memasuki kerumunan orang itu sambil berkata: “Maaf-maaf buk, pak, permisi,” karena tasku yang sejak awal terus membuat beberapa orang terdorong. Hingga aku sampai di 4 orang yang sedang mengantri masuk. Lalu aku bertanya padanya begini: “Ibu mau ke Bandung juga?” meyakinkan bahwa aku bukanlah satu-satunya orang yang hampir ketinggalan kereta. Namun sialnya, hanya aku yang akan ke Bandung yang belum masuk kereta. Lalu, ibu yang baik hati itu mempersilahkanku masuk duluan dan diperbolehkan melewati beberapa orang yang sedang mengantri saat itu. Bukan beberapa orang sih, aku melewati banyak sekali orang. Ini memang bukan tradisi orang Indonesia banget, tapi kali ini aku benar-benar terpaksa. Terpaksa tidak mengantri demi pulang kampung.
Ketika petugas selesai memeriksa tiketku, aku dipersilahkan cepat menaiki kereta, karena saat itu petugas sudah membunyikan peluit, tanda bahwa kereta akan segera berangkat. Karena sangat gugup, aku berjalan lulus tepat pada sebuah pintu yang terbuka lebar saat itu. Sialnya itu adalah pintu penyimpanan barang. Lalu pak satpam yag melihatku langsung menyuruhku menaiki pintu yang satunya lagi. Aku masuk lewat pintu kelas eksekutif. Aku kira aku akan sedikit lega karena aku sudah berada dalam kereta. Namun ternyata salah, karena aku sedang berada di kelas eksekutif dengan barang bawaan yang membuatku bernafas tak beraturan. Belum lagi aku harus melewati beberapa pintu, karena saat itu akupun harus melewati dapur kereta dan kelas dua bisnis, karena kelasku berada paling depan, yaitu kelas ekonomi. Belum lagi pintu setiap gerbong yang sulit aku buka dan harus menunggu kepekaan orang sekitar untuk membantuku membukanya.
Aku merasa sangat bahagia ketika aku menemukan kursiku. Di sebelahku duduk wanita cantik yang sedang bertelpon dengan ibunya dengan bahasa Padang. Aku jadi teringat pada novel yang temanku beri padaku, berjudul “Rantau 1 Muara” karya Ahmad Fuadi, karena dalam novel itu ada beberapa bahasa minang, ya walaupun wanita sebelahku tidak berbicara bahasa minang. Aku sangka, wanita yang duduk sebelahku itu lebih tua dariku, tapi ternyata dia baru semester 2 dan berkuliah jurusan akutansi di UMM. Selain cantik, suaranya sangat bagus ketika mengaji, membuatku sangat iri karena hingga kini aku belum bisa seperti dirinya. Diapun sangat ramah dan menyukai lagu dangdut, aku mengetahuinya karena saat malam menjelang, aku mendengarnya bernyanyi kecil lagu dangdut tanpa malu. Padahal, walaupun suara kecil, aku dapat mendengarnya dengan jelas karena beberapa orang sedang tertidur.
Selain wanita itu, di depanku terduduk 2 wanita yang sejak awal aku sampai di tempat dudukku sedang asyik mengobrol banyak sekali, macam orang lama tak bersua. Tapi, setelah wanita di depanku menghadap ke arahku, ternyata ia adalah kakak tingkatku di Prodi yang sama denganku. Lalu aku sedikit mengobrol dengannya karena kami tak begitu akrab. Saat itu, aku tahu bahwa ia akan melaksanakan PKM di Ciparay. Pantas saja, selain dia, di sebelah kiriku-pun ada seorang laki-laki yang mengenakan jaket angkatan 2012, mungkin ia akan melakukan hal yang sama. Aku tak menyapanya karena aku tak mengenalnya. Namun, sejak awal aku bertemu pandang dengannya, dia metatapku aneh, seperti mengenalku, namun aku yang tak mengenalnya. Jadi, kami hanya saling memandang tanpa berkata.
Perjalanan panjang saat itu membuatku sedikit sakit badan. Belum lagi sejak ada penumpang baru yang duduk di sebelahku, membuatku harus menekuk kaki agar makananku berada tepat di hadapanku. Aku yang mengenakan masker, mulai tertidur beberapa saat, hingga akhirnya aku tersadar ketika kereta berhenti bukan di sebuah stasiun, melainkan berhenti di tengah jalan yang gelap untuk menunggu kereta lain melintas. Lalu, di tengah malamnya, aku ngemil dan tak memperdulikan orang sekitar yang sedang tertidur, karena sejak magrib aku tak memakan apapun. Aku melihat wajah-wajah yang kelelahan, juga 2 orang di seberang sebelah kananku yang sedang asyik dengan ponselnya.
Selain lelah yang merajai diriku, kebingunganpun tak kalah merajainya. Sudah sejak malam aku mengirimi ayahku pesan, namun tak satupun yang terkirim. Di layar ponsel hanya tertulis emergency call. Begitupun dengan beberapa pesan yang masih pending sejak aku menaiki kereta. Akhirnya, dengan menghiraukan rasa malu, aku meminta bantuan pada kakak tingkatku untuk mengirimi ayahku pesan, karena aku tak tahu arah jalan pulang jika aku turun di stasiun Bandung.

Akhirnya aku sampai di Bandung. Aku berjalan gembira dengan masker yang masih menutupi setengah wajahku. Dengan barang bawaan yang memenuhi kedua tanganku, aku menunggu ayahku di pintu keluar selatan. Lalu tak lama kemudian ayaku datang dan aku langsung memeluknya dan aku tahu saat itu mataku berkaca-kaca. Ayahku terlihat tua, dan aku sangat bangga padanya, karena masih terlihat bersemangat. Ketika aku sampai di rumah, akupun memeluk ibuku dan menangis. Rindu yang aku simpan lama akhirnya terbayar sudah dengan 17 jam perjalanan yang membuatku bertemu dengan orang yang tersayang. Walau di sana ada sebuah hati yang aku titipkan. Berharap sebuah jarak tak menjadi penghalang, karena memang begitu, jika sayang benar-benar dirasakan dari hati, apapun hambatannya akan menemukan jalan keluarnya. Kini, ketika aku sudah tidak diperantauan, cintaku yang merantau.
 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design