Minggu, 28 Februari 2016

Behid the Scane: Bedah Karya FLP Malang

Setiap hari minggu, kami (anak-anak FLP Malang), baik yang sudah resmi jadi anggota ataupun belum, berkumpul di teras Gedung Ir Soekarno di UIN Maulana Malik Ibrahim. Saya merupakan non-member di sana. Namun, Mbak Wulynee mengizinkan saya untuk gabung setiap minggunya. Pertemuan kali ini sama seperti minggu sebelumnya, yaitu bedah karya. Karya Mas Muchtar yang selanjutnya disebut Mas Momo adalah karya yang akan dibedah di pertemuan ini.
Pertemuan rutin itu biasa dimulai pukul 13:00-16:00. Entah karena faktor cuaca atau faktor penghambat lainnya, saya, Mbak Wulynee, dan Mas Momo datang terlambat. Hujan mengguyur Malang cukup lebat. Cukup membuatku melipat celanaku 3 kali, dan cukup pula membuat kakiku terendam sepanjang perjalanan yang dilakukan dari Gajayana ke UIN.
Mbak Yenni, Mbak Siro, dan Firda tengah berduduk santai dengan ditemani 8 potong kue (aku tidak tahu itu kue apa), dan beberapa gorengan. Lengkap pula dengan mizone yang masih terbungkus kresek putih. Aku datang sembari mengibas-ngibaskan celanaku yang basah kuyup. Tak lama setelah itu Mbak Wulynee datang dibalut dengan mantel berwarna merah cerah. Dia tampak seperti pinguin. Namun balutannya cukup rapih sehingga dia aman dari hujan.
Kami belum memulai acara bedah karya karena Mas Momo belum datang. Kami dengan bahagia mencomoti kue dan biskuit yang tergeletak di depan mata—tepatnya di lantai. Firda kemudian pergi dan tak lama dari itu datang lagi dengan satu tas dijinjingnya. “Selamat makan semua.” Kami dihidangkan lagi makanan. Tentu bukan makanan ringan. Makana berat yang dapat membuat berat badanmu bertambah 0,09 kg dalam sehari.
Mas Momo datang dengan senyum pengiring keterlambatannya. Dia melihat lantai yang bernada-nada kekenyangan. Ya, makanan sudah habis. Tapi, kami masih menyisakan beberapa kue, gorengan, juga biskuit. Mas Momo membagikan karyanya untuk kami baca. Perlahan semua orang terfokus dengan tulisan  yang berjudul kucing hitam. Berbeda halnya dengan Mas Momo yang memakan biskuit, gorengan yang kesepian.
Kucing hitam. Cerita milik Mas Momo menceritakan kisah seekor kucing dalam menjalani kehidupannya. Menjelaskan rasa lapar si kucing ketika ia tak menemui pengganjal perut. Ketika semua jalanan tengah lengang dan hanya ada dia dan bak-bak sampah yang menanti kunjungannya. Kisah ini cukup menarik. Seolah mengajarkan kita untuk dapat berbagi pada siapapun karena kita tak tahu bagaimana keadaan orang di sekitar. Belajar perduli. Bukan hanya pada manusia. Tapi makhluk hidup yang lain.
Mbak Wulynee sekaligus senior di FLP Malang mulai mengoreksi hasil karya Mas Momo. Mas Momo terlihat pasrah, lalu diam memandangi tulisan yang dimaksud. Berbeda dengan kami, ada yang sibuk membahas kucing (itu aku dan Mbak Umu), ada pula yang rajin menulis koreksinya. Tiba saatnya kami memberi masukan. Diawali dari Mbak Umu. “Matanya terbelalak ketika ada piring. Bukannya kalau kucing itu lebih ke penciumannya ya?” Sambil menirukan gaya kucing mengendus makanan. Melihat ke atas seolah dia adalah seekor kucing di bawah meja yang mengendus bau tongkol. “Biasanya kucing kalau berantem itu jarang bergulat. Dia Cuma beberapa detik cakar-cakaran. Kadang-kadang badannya melengkung terus kejar-kejaran.” Dia kembali menirukan suara kucing mengeong-ngeong  ketika sedang bertengkar.
Aku yang biasanya hanya diam dan mendengar, pun mengangguk-ngangguk seolah mengerti, akhrinya ikut berpendapat. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku angkat biacara setelah sekian pertemuan aku lewati. “Kucing tetangga aku itu pengamat keadaan. Kalau mata kita bertemu, dia seketika akan mematung. Hingga aku melakukan satu gerakan, dia akan merespon. Entah hanya gerakan seakan akan lari terbirit-birit atau memang langsung melarikan diri.” Terangku sambil mengamati wajah mereka yang nampak serius memperhatikan ceritaku. “Itu Mo. Masukan buat si hitam.
Kucing Hitam dalam Kabut Malam. Begitu cetus Mbak Wulynee ketika membahas judul cerpen itu. Seolah kami tak bisa move on dari cerita lalu yang juga milik Mas Momo. Kabut pagi kalau tidak salah. Cerita seorang Ayah yang merindukan anaknya yang sudah tak lagi bersamanya karena perceraian yang terjadi. Disusul “Elang”’, “Istana Pasir”, memburu perbincangan kami.
Seperti biasa, kami mengabadikan momen. Mas Momo menjadi kepala keluarga kami saat itu. Kami berjejer seolah sedang berfoto keluarga. Ya. Ini menjadi satu-satunya perkumpulan bagiku. Dengan ini aku belajar berani berucap walau tak jarang bingung dengan apa yang hendak dikatakan. Gugup. Mungkin begitu kata yang tepat.

Malang, 28 February 2016

Sabtu, 27 Februari 2016

Sekilas Obrolan tentang Kepribadian

Berawal dari sebuah grup chatt WA. Perbincangan kami kali itu mengenai parenting. Salah satu teman saya bernama Firdaus Habibi adalah salah satunya yang sedang mempelajari parenting. Kali itu saya sempat share kepada grup mengenai “Dunia Tanpa Ayah”. Sehingga perbincangan kami berlanjut mulai dari pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak, sampai bahasan yang berawal dari curhatan salah satu member tentang “broken home”.
Sebut saja Aang. “Aku dari keluarga broken home. It’s depend by himself sih gimana dia bisa survivenya. Paling penting itu do your best aja lah. The first is Allah. Kalau orang tua aku sih fine-fine aja. Mereka nggak marah-marah kok ke aku. They’re know where is the right place and time. But it’s sometime we know lah when the war was begin hehehe. But, keep stronger aja.”
Kemudian, datanglah salah satu member grup yang sudah menempuh S1 Psikologi di Universitas Maranata. “Saya setuju dengan Mas Aang. Pribadi diri (kepribadian) ikut berkontribusi untuk menentukan kita dalam menilai serta menyikapi suatu masalah. Salah satu tokoh, kalau tidak salah namanya Albert Bandura menjelaskan bahwa tingkah laku merupakan hubungan interaksi antara indidu (trait dari kepribadian)+lingkungan. Lingkungan mengambil pengaruh saat kita nanti akan berprilaku seperti apa. Misalnya, pola asuh orang tua apakah yang mempengaruhi dan bagaimana anaknya berprilaku di masa depan. Kemudian contoh lainnya adalah pengaruh peer group (kumpulan teman sebaya) menentukan kita berprilaku seperti apa sehingga terjadi konformitas. Kita mengamati perilaku, mengobservasi, menginternalisasi, kemudian meniru. Itu adalah dinamika saat memodeling seseorang.
Lalu, tibalah giliran saya untuk berbagi sedikit cerita klasik. Tentunya bukan soal pacaran ya. Begini ceritanya.. Aku di kampus deket sama anak-anak yang super sekali. Kenapa super?
Dia anak orang kaya tapi sering galau dan nilai akademiknya kurang bagus.
Yang 2 orang ini berlatar belakang ekonomi yang biasa saja tetapi mereka berdua pintar.
Yang 2 itu adalah wanita. Yang 1 menyukai Justin Beiber dan yang 1 lagi fanatik sekali dengan lagu, drama, dan semua yang berbau dengan Korea.  Kebetulan aku satu kamar kostan dengan anak yang menyukai Korea itu. Dan aku? Aku termasuk yang mudah dipengaruhi. Aku jadi tipis-tipis suka nyayi lagu Korea. Berbalik dengan mereka. Tak ada satupun yang dapat aku pengaruhi untuk turut serta menyukai lagu yang aku suka seperti lagu Jepang, Pilipin, dll.
Menurut Susanti, “Karena peran individu mempengaruhi. Mbak Kartini mungkin menginternalisasi perilaku teman-temannya sehingga memodeling. Sementara teman-teman Mbak Kartini tidak menginternalisasi perilaku Mbak. Semua orang punya kemampuan memodeling hanya pada bagian-bagian tertentu saja dia ingin menginternalisasi dan ada yang tidak ingin. Jadi,  lebih dikembangkan lagi untuk memodeling hal-hal yang positif.”
(Aku pintar memodeling? Luar biasa) Pikirku ketika aku membaca tanggapan Susanti.
Lanjut perbincangan kami. Kini masalah grafologi. Sempat merasa aneh dengan penampakan tulisan yang tak jarang berubah-ubah. Apakah ini mencerminkan bahwa seseorang itu termasuk orang yang plin-plan?
“Sebenarnya, keadaan tulisan tangan itu adalah representatif keadaan kognitif dan afektif kita saat menulis yang dihantarkan oleh otak melalui saraf tangan dan tertuang dalam tulisan tangan. Saat kita marah dan senang pasti tulisan kita berbeda kan? Walau kenyataannya begitu, walau berubah-ubah, akan ada tanda-tanda yang menggambarkan kepribadian seseorang secara umum.” Tutur Susanti

Berikut saya tuliskan beberapa penjelasan para Psikolog yang ikut hadir dalam perbincangan di grup saat itu.
Tentang seseorang yang terlalu mendengar perkataan orang lain (bisa berarti terlalu menginternalisasi dan memodeling) itu bisa menjadikan ia sosok yang plin-plan. Krena itulah perlu lebih memilih dalam memodeling.
Jika tulisanmu menekan sehingga menimbulkan bekas dibagian belakang halaman kertas tersebut bisa berarti bahwa anda adalah seseorang yang memiliki perasaan mendalam, tegas, namun kadang emosional dan terburu-buru. Perasaan yang mendalam di sini dapat berarti kejadian sesuatu yang menurut anda berkesan atau sangat melekat di memori anda. Jadi, jika sedang merasa bahagia, anda akan sangat bahagia dan sampai memori perasaannya itu sangat melekat. Begitupun dengan persaan marah, kecewa dan lain sebagainya. Jika ada suatu hal yang membuat anda merasa sakit, maka anda bisa saja memaafkan. Namun belum tentu melupakan. Karena itu tadi. Melekat.

Jumat, 26 Februari 2016

Yossi dan Jurnalis Nusantara

“Tak ada yang kebetulan kan? Begitupun aku percaya bahwa pertemuan ini akan menjadi kisah yang mengharukan untuk kita. Hanya kita.”
***
Mataku bertemu dengannya bukan untuk pertama kalinya. Ya, aku kenal suara sepatu itu. Matanya yang indah, senyumnya, bahkan suaranya, masih jelas diingatanku bahwa dia adalah Yossi, temanku di pesantren dulu. Pagi itu masih sepi karena jam buka kantor masih sekitar pukul 07:00. Di depan gerbang sudah berdiri seorang wanita—sebut saja dia akan melamar pekerjaan. Map putih di pangkuan, rok panjang menjuntai hingga paving blok, dan botol minum di samping kiri tasnya. Tunggu, rok? Belum lagi aku sadar bahwa  wanita itu mengenakan jilbab. Ini kejadian langka, jarang sekali ada wanita berjilbab yang melamar kerja di kantor ini: kantor Nusantara, tempat berkumpulnya para jurnalis dari Indonesia.
Dia membungkuk menyambut kedatanganku. Samar giginya yang putih terlihat. Mungkin ia sedang tersenyum. Aku masukkan tanganku mencari letak kaca mataku. “Hi, my names Yossi. Im looking for my brother, Reza.” Suaranya menyapa pendengaranku yang masih kaku. Lagi-lagi karena masih pagi. “Oh.. Hi! My names Robi. Please wait a moment.” Sambil berjalan menuju lobi, ia mengikutiku. “Have a sit.”
Aku undergraduate yang bekerja part time di kantor ini. Aku belajar banyak dari senior yang menurutku—sangat keren. Sebut saja, Mas Ferdi, Mas, Reza, Mbak Yus, dan masih banyak lagi. Aku berniat membuatkan tamu itu minuman. Tiba-tiba datang dari balik pintu dapur, Mas Ferdi. Dia datang dengan jas yang sangat tebal. Maklum, di sini: Jepang, lagi turun salju.
“Itu ada tamu ya, Rob? Aku kok kayak kenal ya?”
“Dia adiknya Mas Reza. Dia bilang sih gitu Mas.” Sambil mengaduk teh. “Aku ke depan dulu ya Mas.”
Aku berjalan memperlambat langkah. Aku terbayang akan itu. Senyum, matanya, langkahnya, dan suaranya. Namanya Yossi, adiknya Mas Reza. Astaga! Aku kenal dia. Yossi anak pesantren. Tapi, dia sedikit berubah. Dia sudah berani berbicara denganku. Maksudku dengan lawan jenis.
“Iya Mas. Yossi udah di lobi kantornya Mas. Baru ada dua orang deh kayaknya. Masih sepi. Kenapa Yossi nggak di suruh ke rumah Mas aja?” Hening beberapa saat. “Yaudah kalau gitu. Jangan lama-lama ya Mas.” Tatapnya langsung menangkapku yang berdiri di samping pintu masuk.
“Ah.. Im sorry. So, you can speak Indonesian?” Aku sedikit gugup dengan pandangannya.
“Yes, Why?” Senyumnya mengembang. “You also, right? So, mari kita berbahasa Indonesia saja.” Senyumnya mengembang. Lagi.
“Aku membuatkanmu minum di dalam. Jika tidak keberatan, kamu bisa masuk ke dalam. Di sana juga ada Mas Ferdi.” Jelasku.
“Oh.. Iya terimakasih ya. Maaf merepotkan”
“Sebelah sini..” Aku mempersilahkan.
Hari ini aku ditugaskan Mas Reza ke kediamannya Mr Hiroshi, owner Mirai Ocha yang lagi booming di kalangan pencinta teh di Jepang. Mas Reza sedang bercengkara dengan adiknya ketika aku hendak pamit berangkat menjalankan tugas. Berhubung hari ini tidak ada jadwal kuliah, aku hendak langsung menuju TKP. “Duduk dulu sebentar, Rob. Aku ingin memperkenalkanmu pada adikku.” Ucapnya sambil menebar senyum. Memang mas Reza ini sangat baik dan “amis budi”. Aku duduk tepat berhadapan dengan Mas Reza dan Yossi.
“Ini Yossi, adik bungsu Mas Reza. Dia sekarang kuliah di Tokyo University. Kalau tidak salah, Robi juga dulu pernah pesantren kan?”
“Iya Mas. Saya dulu pernah di Gontor.”
“Wah.. Jangan-jangan kalian sebenarnya sudah saling kenal.” Tatapnya mengintrogasi.
“Aku seperti kenal sih Mas. Kalau tidak salah, dulu pun ada murid bernama Robi yang daftar jadi jurnalis di sekolah.” Jelas Yossi.
“Dulu pun kalau tidak salah, Yossi yang menang lomba MTQ se-Jawa Timur kan ya?” Aku memastikan.
“Astaga.. Ternyata kita sudah lama saling kenal. Tapi Yossi agak pangling.” Senyumnya mengembang.
***
Aku tak menyangka pertemuan ini akan terjadi. Dulu aku sempat ingin berkenalan dengan Yossi. Banyak teman-temanku yang mengagumi Yossi. Bagaimana tidak? Yossi pintar mengaji, cantik. Jujur, motivasiku menjadi seorang jurnalis adalah agar suatu saat aku bisa mewawancarai Yossi. Namun keinginanku tak pernah menjadi nyata. Yossi pindah sekolah karena orang tuanya ada proyek di luar negeri.
Aku berjalan mengikuti jalur yang biasa aku lalui menuju kampus. Jepang seolah tak ada siang untuk musim dingin seperti ini. Sepatuku memutih. Tanganku terbalut sarung tangan tebal pemberian ibuku. Lagu Maboroshi memenuhi pendengaranku. Aku berjalan dengan tas laptop di pelukan. Jalanan masih sepi ketika itu. Aktivitas tak terlalu banyak dilakukan.
Aku mendapat pesan dari Mas Reza untuk menjemput Yossi di kampusnya. Katanya ia lupa jalan menuju kantor. “With pleasure Mr Reza.” Jawabku mengakhiri perbincanganku dengannya. Anak-anak seumuran Yossi banyak berhamburan memenuhi pintu gerbang. Aku melihat Yossi sedang berdiri sendirian di kafe di samping kampusnya. Senyumnya yang khas menyambut kedatanganku. Aku diajaknya duduk di sana untuk sekedar menunggu waktu shalat Dzuhur. Aku melihat bulu matanya yang lentik. Sama seperti terakhir kali aku bertemu dengannya di pesantren dulu.
“Jadi kamu ini benar-benar Robi yang jurnalis itu ya?” Suaranya memecah keheningan.
“Ah.. Iya. Kamu kenal saya?”
“Kenal. Kamu kan banyak menulis untuk media online kan? Aku suka membaca cerita darimu. Aku ingat tentang ‘Aisah dan sebuah buku diary’.” Sambil menatap layar ponselnnya. “Ini.” Layarnya menunjukkan situs web.
“Ternyata kamu adalah pemilik akun bernama Fitri? Aku baru tahu. Jadi kamu penggemar rahasiaku itu?”
“Bisa dibilang begitu.” Senyumnya masih terus mengembang.
Setelah beberapa hari ini, aku semakin akrab dengan Yossi. Bahkan Mas Reza tak jarang menyuruh Yossi menemaniku meliput berita. Terutama ketika kegiatannya dilakukan di sekitar kampusnya. “Jadi, kenpa sekarang kamu berubah? Maksudku, kenapa kamu jadi—mudah akrab?” Ucapku di suatu senja. “Aku mendapatkan keberanian itu setelah membaca motivasi-motivasi yang kau tuliskan di website milikmu.” Langkahku sejenak terhenti. Aku tak menyangka bahwa ia benar-benar membaca detail postingan di web pribadiku.
***
Bersambung

Kamis, 25 Februari 2016

Nikah atau Putus


“Aku tak mungkin membiarkan semua ini terus berlarut.”
Oh iya.. Namaku Siti Fatima. Aku biasa memanggilku Ima. Aku sedang berkuliah di UIN Malang. Tempat yang turun-temurun bagi keluargaku. Saat itu aku sedang menunggu waktu untuk berkonsultasi dengan dosenku. Aku mondar-mandir masih dengan setumpukkan kertas-kertas yang semakin akrab menemaniku. Di ujung teras tempatku sedang berdiri, ada seorang pemuda yang tampak kebingungan. Hingga akhirnya ia sampai kehadapanku. “Maaf Mbak, gedung D Fakultas Adab di mana ya?” Aku kemudian menunjuk arah gedung yang ia maksud tanpa mengatakan apapun lalu pergi.
Aku benar-benar tak menyangka akan dihampiri seorang pemuda hari ini. Aku sempat begitu gugup karena bertemu dengannya, bagiku tidaklah mudah untuk mendengar suaranya yang—indah. Aku menyingkirkan beberapa motor yang menghalangi kendaraanku. Tiba-tiba dari belakangku muncul pemuda tadi yang membantuku memindahkan kendaraan yang lain. “Terimakasih. Nama kamu siapa?” Ulur tangannya mengajak bersalaman. Aku hanya tersenyum sambil merasakan detakkan jantungku yang membuatku gemetaran. Aku tersenyum ketakutan sambil melajukan motorku. “Ima..”
Malam ini terasa lebih panjang dari malam-malam yang lain. Aku berniat membuka jendela untuk mengundang angin malam. Kamarku yang berukuran 2x3 ini terasa begitu pengap. Tapi, aku kemudian melihat warna kelabu yang kemudian membawaku ke dunia itu. Warnanya serba putih. Daun putih, tanah putih, gunung putih, semuanya putih. Aku kira, ini adalah syurga. Semua terasa sunyi. Tak ada getaran, apalagi gelombang. Hingga datang dari ujung pelupuk mataku seseorang yang siang ini aku temui. “Nama aku Rizal.” Aku mengedipkan mata, lalu menguceknya dengan kedua tanganku. Mentari sudah melewati celah tirai orange-ku.
Aku sudah siap untuk hari ini. Mengerjakan revisi tugas-tugas kuliahku. Aku membuka gerbang dan.. hari ini membuatku bertemu dengan pria itu lagi. “Hai, namaku Rizal. Kemarin aku belum sempat memperkenalkan diri.” Tahu dari mana dia alamat rumahku? “Aku kebetulan tinggal di ujung komplek ini.” Dia turun dari kendaraannya. “Mau ke kampus kan? Bareng aja yuk?” Aku berpikir keras akan ajakannya. Berbicara dengannya saja membuat aku tak karuan. Apalagi duduk bersebelahan dengannya? “Kamu bisa menyimpan tas mu diantara kita. Jadi kita takkan bersentuhan.” Dia menjawab kegelisahanku yang belum aku ungkapkan.
Aku mulai berani berbicara dengannya. Bahkan aku sudah berani tersenyum tanpa ketakutan lagi. Aku diajak ke sebuah taman yang baru saja di bangun di sekitar komplek kami. Kami menghabiskan waktu saling bercerita. Aku pun menceritakan tentang mimpiku semalam. “Sebenarnya aku tahu bahwa namamu itu Rizal. Semalam kau datang ke mimpiku.” Dia tersenyum lalu ikut pula menceritakan mimpinya. Kami semakin akrab.
Aku mulai bercerita tentang Rizal, kepada temanku, Sholiha. Sejak kami memutuskan untuk—berpacaran—kami berkomitmen untuk saling menjaga. Sholiha begitu tercengang. Matanya membulat membuatku takut. “Tenang. Aku tak berbuat yang macam-macam kok berpacaran dengannya. Dia pun lelaki yang baik dan sholeh.” Aku menjelaskan. “Setan lebih pintar dari kita. Ingat itu. Aku tak ingin kau terjerumus pada kenikmatan sesaat.” Matanya memancarkan kegelisahan. Sama persis ketika pertama kali aku merasakan perasaan yang aku anggap cinta.
Aku semakin yakin dengan jalan yang aku pilih. Rizal selalu mengingatkanku untuk shalat. Dia pasti akan menjadi imam yang baik. Aku tinggal menunggu waktu dia siap menjadikanku makmumnya. Sholiha bilang, aku harus cepat menikah dengannya, atau putuskan dia. Begitu katanya pagi ini. Pesan pembuka yang membuatku sedih sekaligus takut.
Aku merenungkan perkataan Sholiha hari itu. Dia benar, aku seharusnya tidak berpacaran. Bahkan hadist yang ia tunjukkan padaku itu sangat jelas. Tidak ada yang namnya pacaran. Aku berjalan sendirian. Taman ini masih ramai. Aku sengaja mengajak Rizal bertemu sore ini. Wajahnya begitu bahagia ketika bertemu denganku. Tanpa basa-basi, aku langsung mengungkapkan apa niatku menemuinya. Wajahnya langsung berubah 180 derajat. Senyumnya berubah jadi raut kesedihan. “Aku belum cukup umur untuk mempersuntingmu. Aku pun belum punya banyak uang untuk membiayai kehidupan kita. Katanya menjelaskan. “Kalau begitu, putuskan saja hubungan ini. Kita sama-sama tahu bahwa pacaran tak ada dalam aturan agama kita.” Kataku tegas.

Rabu, 24 Februari 2016

Bagian Hati yang Hilang Part 2

“Semua terjadi begitu saja. Masih terasa berat langkahku meninggalkanmu dalam keramaian yang sebenarnya adalah kerumunan keheningan. Aku membiarkan semua terjadi sama seperti yang Tuhan inginkan. Aku meyakini bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipun kita harus berpisah. Tangis yang Kau beri meyakinkanku bahwa cintaku hanyalah untuk-Mu”
***
Dinding yang ramai itu akan segera kesepian. Aku sudah mempersiapkan keberangkatanku ke Australia untuk melanjutkan studiku di Nanyang University. Aku akan merindukan ayah dan ibu tentunya, keluargaku, teman-teman di teater, tak terkecuali si pemilik senyum anggun yang hingga kini masih ada dalam pikiranku. Aku duduk tepat di depan laptop yang selama ini menemaniku berkomunikasi dengan Annisa. Saat itu pun aku mengiriminya pesan dan tak lupa aku kabarkan bahwa esok aku akan pergi ke Australi.
Jam dinding berdetik seolah menginginkan perjumpaanku dengan Annisa malam itu. Aku sempat beberapa kali melihat senyum Annisa di depan wajahku. “Astagfirullah.” Aku mengusap wajahku dan kemudian pergi mengistirahatkan diri. Malam ini sudah tak “sedingin” malam kemarin. Ibu sudah memberi pesan yang begitu berharga tentang sebuah penantian mulia. Suara batinku sudah rela--melepaskannya.
Ibu dan ayah mengantarkanku ke Bandara Husein. Suasana pagi itu sungguh hangat dan menentramkan. Mentari hangat menyapa wajahku. Aku mendengar panggilan rindu dari teman-temanku, pepohonan di halaman belakang, juga senyum Annisa yang masih membayangi. Aku sempat ragu dengan pilihanku. Bagaimana perasaanmu bila kau meninggalkan seseorang yang kau kasihi? Aku sungguh tak menampik akan keindahan yang tersirat di setiap hariku. Aku sungguh bersyukur karenanya. Termasuk dengan perpisahan yang semakin mendekatkanku kepada-Nya.
Assalammualaikum, Annisa? Aku tahu ini akan berat pada awalnya. Aku pun mengakuinya. Sangat sulit untuk tidak mengakui bahwa aku menyimpan rasa padamu. Aku sadar, aku belum siap untuk menikahimu. Aku mengikhlaskanmu jikalau kau ingin menikah dengan yang lain. Semua sudah diatur dan aku percaya itu. Semua akan indah pada waktunya. Jika penantianku akan berujung padamu, Tuhan pasti akan menjagamu untukku. Aku pergi sekarang Annisa. Wassalammualaikum.”
***
Aku sedang berdiskusi ringan terkait konsep penataan ulang tata letak saluran air di sekitar kampusku. Dea, Arsil, dan Rio sudah merancang semuanya dan memintaku memberi masukan. Aku melihatnya dengan seksama. Semua orang begitu serius menatapku awalnya. Hingga aku terkejut ketika Arsil mengoyak-oyak badanku. Aku baru saja membayangkan senyum manis Annisa.
Dua tahun sudah aku jalani kehidupanku di perantauan ini. Sidang kelulusanku akan segera dilaksanakan beberapa hari lagi. Aku sudah bersiap-siap dengan pakaian ter-rapih yang aku miliki. Aku berjalan dengan santai, pagi masih terlalu pagi namun aku dapat melihat penampakan alam yang begitu indah. Aku berdiri di dekat Marina Bay, menikmati udara yang masih sejuk.
Arsil, Dea, dan Rio sudah berdiri di depan ruangan di mana sidangku akan dilaksanakan. “Ayo.. Kamu pasti bisa.” Ucap salah satunya sambil menepuk pundakku. Aku berjalan optimis memasuki ruangan itu. Damai. Berbeda ketika aku keluar dari Ruangan itu. Semua terasa hampa dan tak bernyawa. Aku berjalan gontai bagai juga tak bernyawa. Ketiga sahabatku sudah menungguku dengan setia. Wajah mereka terlihat khawatir dengan keadaanku saat itu. Aku menahannya hingga beberapa saat kemudian—aku tersenyum bahagia karena aku lulus.
Para turis sedang mengabadikan momen di dekat Merlion. Aku pun teringat ketika pertama kali aku mendatangi tempat ini pun melakukan hal yang sama. Aku duduk lagi di tepi Marina. Merasakan lagi angin senja dan juga lanskap yang terpampang indah ketika itu. Hening dan bahagia, begitulah alam dan aku menyatu saat itu. Hingga suara itu terdengar jelas dari belakangnku—Dea dengan segelintir balon gas digenggamannya.
“Khoirul..”
“Dea.. Ada apa datang kemari?”
“Aku ingin memberikan ini kepadamu, Rul.” Wajahnya menunduk. “Aku ingin terus bersamamu. Aku sudah menyimpan ini cukup lama. Aku harap kau mengerti.” Ulur tangannya memberikanku sekumpulan balon itu.
Aku tercengang hebat. Dea.. Balon itu terbang sebelum aku menggapainya. “Maaf.. Tapi aku tidak bisa.” Aku bergeming. Suasana di sekelilingku kemudian hening. Sama heningnya ketika aku membiarkan Annisa dalam penantian—awalnya.
Dea adalah sahabatku sejak aku studi di sini. Aku, Dea, Arsil, dan Rio selalu bersama-sama sepanjang tahun. Aku tak menyangka bahwa Dea menyimpan rasa itu padaku. “Dea sudah seperti adikku sendiri.” Bahkan ketika ia ada di hadapanku dan mengutarakan perasaannya itu, aku masih terbayang pada Annisa. Annisa masih menantiku. Tuhan pun masih menjaga perasaanku untuknya.
***
Keberangkatanku sudah tinggal menghitung jam. Aku sudah berpamitan dengan sahabat-sahabatku. Suara mereka sudah aku simpan dalam rekaman hanphone-ku. Mereka sangat mendukung kepulanganku ke Indonesia, tak terkecuali Dea. Senyum Dea pagi ini begitu tulus tak seperti kemarin. Aku sempat merasa bersalah padanya karena sudah mematahkan perasaannya. Namun, aku percaya, Dea, akan menemukan yang lebih baik dan ia butuhkan.
“Assalammualaikum, Annisa? Waktu berlalu. Tapi perasaanku tidak. Aku di sini sudah mempersiapkan diri untuk bertemu denganmu. Sudah banyak pula waktu kulalui. Tapi keyakinanku masih padamu. Aku bertemu denganmu lewat mimpi. Mungkinkah itu jawaban dari setiap doaku? Annisa, bersediakah kau untuk menjadi penyempurna agamaku?”
Aku sudah menyampaikan niatku untuk menikahi Annisa pada kedua orangtuaku. Mereka setuju. Esok hari aku akan menemui Annisa di rumahnya. Rasanya, sakit yang dulu kurasakan akibat perpisahan itu tak ada artinya dengan kebahagiaan yang aku rasakan. Aku mengerti, mengapa Tuhan memisahkan kami. Tuhan ingin memberikan yang terbaik dan tepat pada waktunya. Ibu menyambutku dengan pelukan hangat. Begitu pula ayah yang sudah berdiri di belakang ibu. Aku kembali ke rumah.
Detik jam membangunkanku kembali. Selalu pada sepertiga malam yang mulia. Sebentar lagi akan ada sosok wanita yang akan menemaiku. Annisa. Wajahnya masih terbayang dengan jelas sejak terakhir pertemuanku dengannya. Pagi harinya, aku dan orangtuaku sudah bersiap untuk mengunjungi rumah Annisa. Tak lupa aku bawa selembar kertas yang baru terisi tiga paragraf itu untuk ia lengkapi kisahnya. Kami pergi dengan hati damai, sedamai hari yang Tuhan sebut sebagai hari kemenangan.
“Assalammualaikum, Annisa?”
“Waalaikumsalam.. Khoirul?” Wajahnya berubah warna. Aku masih tak kuasa menatapnya dengan tenang.
“Nis, maukah kau melengkapi kisah wanita yang sedang patah hati ini?” Aku memberikan kertas yang kugenggam sedari tadi.
“Akhirnya wanita itu mengerti. Kehilangan yang ia rasakan bukanlah semata-mata kesedihan yang benar. Melainkan sebuah kebahagiaan yang tertunda.” Ucapnya sambil melirikku.

Selasa, 23 Februari 2016

Bagian Hati yang Hilang

Dia adalah cinta pertamaku yang belum lenyap. Kami memutuskan untuk berpisah sudah sejak 2 tahun yang lalu. “Kita harus memperbaiki kualitas diri kita.” Begitu jelasnya dengan nada serius. Nyawa lampu disekelilingku seolah akan keluar dari wadahnya. Ngeblur.
Aku berjalan melewati tempat biasa orang-orang menghabiskan waktu sendirian. Aku pun sedang sendiri kala itu. Hanya sedang bercengkrama dengan angin lembut lalu merangkai sebuah cerita seorang wanita yang sedang patah hati. Ketika jantungku berdebar semakin kencang, selembar kertas yang baru saja kuberi nyawa itu terbang dibawa oleh si lembut yang berubah menjadi ganas.
Keesokan harinya aku sedang duduk di tempat yang sama seperti kemarin. Cuaca hari ini begitu cerah. Semut-semut kutangkap basah sedang memakan sisa roti yang belum kuhabiskan. Aku melanjutkan kisah kemarin yang masih belum selesai.
“Assalammualaikum, Annisa?” Suara Ikhwan mengagetkanku.
“Oh. Ikhwan. Waalaikumsalam. Kamu mengagetkan saja.”
“Kamu lagi sibuk, Nis?
“Aku lagi nulis cerita. Nggak terlalu sibuk kok. Ada apa ya?”
“Itu.” Menunjuk seorang pria yang tidak aku kenal. “Dia ingin berkenalan denganmu. Ini tulisanmu kan?” Menunjukkan selembar kertas yang kemarin hilang.
“Oh iya. Ini kertasku yang kemarin terbawa angin. Memangnya dia siapa, Ikhwan?
Tanpa menjawab pertanyaankku, Ikhwan berlari membawa pria itu kehadapanku.
“Namanya Khoirul. Dia kuliah di jurusan Teknik seangkatan sama kita.” Jelas Ikhwan.
Ikhwan meninggalkan kami bersama angin yang sama lembutnya seperti kemarin sore.
Aku mulai berkenalan dengan Khoirul. Khoirul menemuiku sore itu lantaran ia ingin mengajakku bergabung dalam grup teaternya. Dia menyatakan ketertarikannya dengan cerita yang aku tuangkan di selembar kertas yang kini sudah mulai luntur tulisannya. Perbincangan kami berakhir ketika rintik hujan mulai menyapa kami di sore yang masih terpancar cahaya mentari. Kami berpisah dengan diakhiri saling bertukar nomor handphone.
Aku membantu khoirul dalam editing skenario. Ini merupakan proyek pertama Khoirul yang berjudul “Sepotong Hati Milik Fatimah”. Aku mulai akrab pula dengan teman-teman Khoirul yang notabene islamik. Tanpa sadar, hari ke hari, penampilanku pun semakin menyerupai mereka. Mungkin ini pun karena karakterku yang cenderung mudah memodeling keadaan sekitar.
Akhir-akhir ini aku memergoki diriku sedang tersenyum sendiri. Rautku tak jarang berubah menjadi begitu bahagia. Laksana insan yang sedang dilanda asmara. Jika kuingat pertemuan hari ini, aku tak bisa tidur dan terus memikirkannya. Khoirul. Lelaki itu hadir begitu saja dan kini namanya mulai kusebut dalam doa di sepertiga malam. Khoirul. Tatapannya begitu santun setiap memandangku. Aku rasa Tuhan sedang membiarkan aku jatuh cinta.
***
Hari ini aku sedang tidak melakukan kegiatanku yang rutin. Keadaan membuatku tehimpit antara harus menyerah atau menemukan aroma baru dalam kisah wanita yang sedang patah hati. Langkahku berjalan tidak sesuai keinginan hatiku. Angin berhembus cukup kencang. Dedaunan yang menguning itu telah menutupi jalanan berbatu lembut.
Aku duduk tepat di depan sebuah pemandangan manusia yang sedang berbahagia sendiri-sendiri. Pancarannya seolah mengajakku untuk berbahagia pula di perasaan yang sedang tidak baik. Ketika angin semakin ganas, selembar kertas menampar pipiku. Tidak sakit sama sekali. Kuambil dan kubaca untaian kata 2 paragraf yang tanggung itu. Aku pandangi keadaan di sekelilingku, berharap seseorang menampakan wajah sedihnya karena selembar kertasnya telah terbawa angin. Hingga awan mendung berkerumun, tak satu pun orang menghampiriku.
Kubaca berulang-ulang kisah yang belum tamat itu. Tak ada nama penulis yang tercantum di selembar kertas itu. Kuputuskan untuk bertemu dengan teman-temanku di kampus. Barang kemungkinan seseorang tahu siapa pemilik tulisan yang belum tamat ini. Aku menyukai alur dan aroma yang tercium darinya. Aku memutuskan untuk mengundangnya bergabung dengan grup teaterku.
Ikhwan mengatakan bahwa ini adalah milik Annisa. Ia adalah siswi sastra Indonesia yang terkenal gemar menuliskan kata-kata yang menyayat. Aku mengetahui hal itu setelah beberapa kali gagal mengetahui si pemilik cerita yang belum tamat ini. Ikhwan mengajakku pergi ke taman di belakang rektorat, tempat di mana Annisa selalu menyendiri dan menghadirkan inspirasi untuk ceritanya.
Mataku sempat perih. Bukan karena sedih atau kelilipan. Aku tak berkedip ketika pandanganku menemukan sosok Annisa yang begitu anggun sedang ditemani semilir angin yang menyejukkan. Aku sempat ragu untuk berkenalan dengannya. Tapi Ikhwan tetap memaksaku dan membawaku kehadapan wanita yang anggun itu. Kami mulai bertukar kata dan tak jarang tersenyum sendiri-sendiri. Aku tak kuasa menatapnya dari jarak setengah lencang kanan ini. Mulutku terlalu kaku untuk berpatah kata terlalu banyak.
Alam mendengar isi hatiku. Rintik mulai turun ketika cahaya mentari masih bersinar sore itu. Aku sudah sempat bertukar nomor handphone dengannya. Bahkan ia pun sudah paham maksudku menemuinya sore itu. Kertas yang belum tamat ceritanya itu mulai terisi satu paragraf hari ini. Tak kusangka tamparan lembut kertas itu membawaku menemui tuannya yang mampu membuatku tersenyum sekaligus membantuku dalam krisis cerita wanita yang sedang patah hati.
Hari berganti hari. Kedekatanku dengan Annisa pun semakin menjadi-jadi. Tetapi tetap saja, jarak antara kami tak pernah melebihi satu lencang kanan, begitupun lencang depan. Aku masih tak kuasa menatapnya dengan seluruh perasaanku yang terpancar di mataku. Sekali tatapku menyergap matanya yang berbinar itu, seketika itu pula aku menjadi salah tingkah. Lagi ketika kuingat penampakannya semakin hari serupa bidadari surga. Dan kurasa, Tuhan sedang mengizinkanku jatu cinta pada makhluknya yang membuatku menyisipkan namanya dalam doa di sepertiga malamku.
***
Lambaian dedaunan itu seolah mengisyaratkan kegelisahan. Sudah beberapa hari ini aku semakin dekat dengan Khoirul. Meskipun pastilah kedekatan kami tak pernah lebih dekat dari pada satu lencang kanan. Ketika itu aku pun merasakan kegelisahan dalam hatiku. Aku tak pernah merasakan perasaan yang begitu hebat. Mampu membuatku berharap pada Tuhan atas seseorang yang belum lama ini hadir dalam hidupku. Khoirul sedang sibuk dengan panggung yang akan digunakan untuk pementasan esok. Aku bergabung dengan teman-teman yang lain membantu mendekorasi panggung yang kala itu sudah dipasang tirai besar berwarna merah marun.
Khoirul meminta para panitia untuk menginap di kampus malam ini. Semua orang tampak kelelahan sekali. Satu per satu di antara kami mulai berguguran ke tempat tidur. Tersisa hanya aku dan Khoirul. Mulutnya belum berkata apapun sejak kami hanya berdua di sana. Aku berjarak sekitar 10 meter ketika Khoirul sedang menatapku. Tatapannya begitu membuatku terbayang-bayang akan rupanya yang menawan. Belum lagi usahanya yang keras memimpin kami semua demi kesuksesan acara. Aku menunduk tak bergeming pula.

Acara hari ini berjalan dengan lancar. “Alhamdulillah. Terimakasih atas kerja keras kalian selama ini. Terimakasih pula kepada Annisa, atas pencerahannya dengan cerita wanita yang patah hati itu. Kuharap kau sedang tidak patah hati.” Kalimat Khoirul ketika evaluasi. Acara hari ini memang berjalan lancar. Belum lagi banggaku ketika melihat beberapa audiens yang menitikkan air mata. Aku begitu mendalami cerita itu. Namun, aku tidak sedang patah hati.
Untuk pertama kalinya, Khoirul, mengajakku bertemu di sebuah tempat yang begitu ramai. Selama aku mengenalnya, Khoirul selalu menyukai kesunyian. Bahkan ia pun memintaku mengoreksi skenarionya dengan keadaan tenang dan sepi. Jam menunjukkan pukul 20:00. Aku bersiap-siap seolah ini adalah hari pertamaku bertemu sang pangeran di cerita dongeng. Aku berdiri di pedestrian yang cukup ramai. Tiba-tiba keadaan terlukis seolah hanya kesunyian ketika pijakan kakinya tepat berada di hadapanku. Kalimatnya terlontar dengan lancar. Suara menghilang tak menyentuh pendengaranku sama sekali ketika itu.
***
Tulisan itu masih tiga paragraf. Aku belum sempat bertemu Annisa untuk memintanya menuliskan kisah yang membuatku bertemu dengannya. Aku sedang mempersiapkan panggung untuk pementasan esok. Teman-teman berjalan bersamaan diiringi senyum khas milik Annisa yang masih sama seperti pertama aku mendapatinya. Manis dan Anggun.
Aku meminta semua panitia untuk menginap di kampus malam ini, mengingat masih ada yang harus dipersiapkan esok pagi. Tirai merah marun sudah terpasang. Pekerjaan kami hampir selesai. Perlahan teman-teman mulai berguguran. Tersisa hanya aku dan Annisa di panggung yang sepi itu. Annisa sedang menghayati rangkaian bunganya ketika mataku tertangkap memperhatikannya. Aku sungguh malu. Aku tundukkan pandanganku setunduk-tunduknya.
Acara hari ini berjalan dengan lancar. Semua orang begitu bahagia dengan pertunjukan drama itu. Bahkan diantaranya begitu menghayati hingga menangis karenanya. Aku begitu penasaran mengapa Annisa dapat menciptakan alur yang begitu menyayat hati. Apakah ia sedang patah hati?
Setelah tulisan itu masih menempel pada papan sterofom di kamarku, aku mulai menemukan jawaban atas kegelisahanku pada Annisa. Hari ini aku berencana bertemu dengannya di sebuah tempat yang ramai di daerah Dago. Aku menegaskan diri untuk serius pada Annisa. Aku berjalan melewati keramaian yang tak begitu aku sukai. Annisa sudah berdiri di sana. Pakaiannya masih telihat anggun seperti biasa.
“Annisa, maaf membuatmu menunggu dan keluar malam hari seperti ini.”
“Iya. Ada apa Khoirul mengajak bertemu di ‘tempat’ seperti ini?”
“Nis..” Kemudian hening menyergap kami. “Sebaiknya kita tak menyimpan baik perasaan yang Tuhan anugerahkan ini.”
“Apa maksudmu?” Matamu berbinar.
“Tak perlu ada hubungan apapun antar kita. Kita harus belajar saling mengikhlaskan dan menerima ketentuan-Nya.” Hening semakin menjadi.

Minggu, 21 Februari 2016

Memori: Kimi wa Aitai Desu

“Pagi sudah tak berkabut. Bagaimana dengan hatimu?”
Sudah lama. Kimi wa aitai desu (ingin bertemu denganmu). Hari ini bukan hari libur. Aku memutuskan untuk menemuimu. Sosok yang selama ini hanya sebuah khayalan. Aku bahkan tak merencanakan kepergianku menemuimu. Jemariku refleks mengetik sebuah pesan dan.. aku berangkat menemuimu.
Jalanan cukup ramai, padahal bukan hari libur. Hari seperti biasa, bukan musim hujan dan sangat terik rasanya. Aku duduk berhimpitan dengan penumpang yang lain dalan sebuah angkutan umum. Kau begitu mewanti-wanti agar aku berhati-hati sepanjang perjalanan. Mungkin kau sedang memperhatikan huruf demi huruf di layar ponselmu. “Aku otw Surabaya.” Begitu ringan aku menuliskannya dan terkirim dengan sekali klik.
Dekat atau jauh perjalananku berlangsung, tasku selalu terisi penuh dan tak ada yang terlewat kubawa kemanapun aku pergi, terutama botol minumku yang berwarna orange. Dengan ditemani sebuah alunan musik khas bergenre japanese, aku mulai sedikit terlelap menikmati perjalanan di kereta itu. Ketika mimpi hampir saja bertemu denganku, handphone-ku bergetar lagi. Ya.. Kau mengirimiku pesan lagi. “Inget, turunnya di Stasiun Pasar Turi ya. Jangan bablas.” Katanya terus mengingatkanku. “Aku dari Bandung ke Malang aja nggak pernah nyasar kok.” Jawabku tak nyambung.
Seketika aku teringat padanya, sosok yang tak benar-benar aku temui, namun rasanya jelas-jelas dapat membuat jantungku berdegup tak karuan. Setiap pesan yang ia kirimkan padaku, secara mantap tertuju pada hatiku yang kemudian orang biasa menyebutnya: “Hati yang sedang berbunga-bunga”, atau “Rona wajah yang berubah menjadi merah muda.” Ya.. Perlahan namun pasti, perasaanku mendadak bahagia setiap kubangun membuka mata dan melihat pesannya meyangkut dilayar ponselku. Juga pesan terakhir sebelum tidur yang kubaca pastilah darinya. Entah mengapa, langkahku tak ragu sedikitpun untuk bertemu dengannya.
***
Aku harus berjalan sampai lampu merah, baru menemukan bus yang dimaksudkan pedagang telur asin di depan stasiun kereta. Aku berjalan ditemani para masyarakat yang sedang asik jalan-jalan di tengah terik ukuran Surabaya pukul 1 siang. Kelenjar keringatku sedang panen hasil produksi. Tisu sudah berlembar-lembar aku tarik. Dia masih terus menanyakan keberadaanku. Terus tak henti-henti mengontrolnya. Sebentar lagi aku akan bertemu sosok itu, sosok yang dapat membuatku tersenyum sendiri tanpa pernah bertemu dengannya. Ketika kuterduduk di bangku bus yang tak begitu nyaman, aku melihat ke arah luar hujan turun begitu deras. Namun suhu di sana tak sama sekali sejuk. Aku masih berkomunikasi dengannya. Hingga kondektur meminta uang tarifnya. “Turun di UIN Pak,” ucapku sambil mengulurkan tangan. “UIN?” Wajahnya keheranan. Aku seketika itu ingat, IAIN masih sangat populer di kota pahlawan ini. “IAIN” jawabku pasti.
“Masjid hijau itu adalah masjid IAIN. Kamu berjalan saja sampai sana, kau akan sampai tempat di depan kampusnya.” Begitu kata pak kondektur. Bahkan aku harus meloncat ketika hendak turun, karena jalan di sana begitu padat dan tak sempat bagi si supir untuk sedikit meminggirkan busnya. Punggungku pegal bukan main. Mungkin kakiku pun sudah bengkak entah seperti apa. Ketika aku melihat langkahku, sama sekali tak ada bekas hujan setetespun. Aku lalu memasukkan kembali payung yang sudah kupegang sejak pertama kali melihat hujan deras tadi.
Aku berjalan di trotoar seluas 1 meter. Langkah aku percepat ketika melihat langit mulai mengundang hujan. Dia berkata bahwa dirinya sedang menuju ke tempat di mana aku diturunkan. Aku bahkan sudah melewati setengah perjalanan menuju masjid yang katanya masjid IAIN itu. Aku masih belum melihat pria kecil dengan baju kotak-kotak. Aku sedikit takut, bisa saja ia menjebakku kemudian menjualku seperti tren yang sedang berkembang. Tapi semua itu terjawab ketika aku menemuinya. Pria kecil dengan ransel hitam berjalan tepat ke arahku. Entah mengapa senyumku begitu lebar padanya. Aku mungkin juga terlalu bahagia kala itu. Ya.. Bahagia bercampur malu. Bahkan aku tak sampai mampu berjabat tangan dengan lelaki itu. “Farid?” Aku memastikan. “Iya. Akhirnya ketemu juga.” Jawabnya malu-malu. Perbincangan kami tak banyak, kami langsung menuju masjid di IAIN dan aku melaksanakan shalat ashar yang hampir lewat.
Hujan turun lebat sekali. Airnya dengan pasti meresap pada sendal yang baru aku beli beberapa bulan lalu. Aku memandanginya prihatin dari jarak 5 meter. Ketika aku selesai shalat, aku melihat Farid sudah duduk bersama seorang gadis. Aku sedikit cemburu tapi, apa hakku? Aku menghampiri mereka. Dengan senyum yang semakin aku kenal, Farid menyambutku. Begitupun dengan wanita di sampingnya. Entah bagaimana caranya aku bisa duduk memisahkan mereka. Aku duduk menghadap hujan yang sedang mendinginkan suasana.
“Berapa lama akan tinggak di sini?” Sapa Ika setelah kami berkenalan.
“Hanya sehari saja, besok aku pulang karena senin ada praktikum.”
“Sering-seringlah main ke mari. Oh iya, Farid sangat cemas sekali ketika tahu kamu salah naik bus.” Ucapnya bernada meledek
Aku hanya tertawa kecil yang disusul dengan raut wajah Farid yang kesal pada Ika.
***
Aku sempat mengunjungi ikon kota pahlawan. Juga sebuah taman yang aku lupa namanya. Kami semakin dekat dan tak malu saling meledek atau membuat rona wajah kami memerah. Untuk pertama kalinya aku berjalan berdua dengan seseorang yang bukan kekasihku namun serasa seperti kekasih. Cuaca kala itu begitu mendukung, cerah berawan. Kami saling bercerita tentang kehidupan kami, kecuali tentang pacar.
Farid berjanji akan mengantarkanku. Dia sudah menungguku di depan gang rumah temannya yang aku menginap di sana. Malam itu cukup dingin, namun hatiku begitu hangat. Ya.. Itulah yang aku rasakan. Aku sangat ingin berlama-lama dengannya pada malam itu, perjalanan menuju stasiun. Aku tak menyangka rasanya akan seperti ini. Jika aku tidak mem-bonsai perasaanku, ini akan tumbuh terlalu tinggi. Tapi senyumku masih mengembang, masih merasakan sensasi kebahagian yang begitu memenuhi perasaanku. “Aku masih ingin bersamamu.” Suaranya memecah keadaan ramai jalanan malam itu. Aku bersandar di bahunya, aku pun merasakan hal yang sama.
Perasaanku jadi tak karuan. Bahagia bercampur sedih. Begitulah ketika detik-detik perpisahan sudah di depan mata. Ini perjumpaanku yang pertama dengannya. Aku pun belum saling mengungkapkan perasaan yang terpendam dalam itu. Aku hanya mengisyaratkan, juga membaca hal yang sama dari pancaran matanya yang sayu. Keadaan tak begitu ramai di tempat pemeriksaan tiket. Tak lama pula keretaku akan berangkat. Farid perlahan melepaskan tanganku. Haru bercampur bahagia begitu memenuhi perasaanku. Matanya pun berkaca-kaca. Kilaunya terpancar ketika lampu ruangan itu menangkapnya. Dengan berat kakiku mulai melangkah berjalan memeriksakan tiketku. Aku menoleh padanya untuk terakhir kalinya, pandanganku semakin buram.

Sepersekian Detik yang Terlambat

Dika. Dia seumuran denganku. Bulan lahir kami sama, November. Kami sama sama pendiam dan tidak suka keramaian. Satu yang berbeda, aku memiliki kekasih dan dia tidak.
***
Aku mengenalnya sejak kelas 2 SMP. Dia tak sering masuk sekolah karena sakit-sakitan. Itulah mengapa aku mengenalnya. Selain itu, Dika adalah sosok yang rajin di kelas. Bu Imas, guru Bahasa Inggrisku pernah menunjuk kami menjadi perwakilan kelas F untuk kegiatan kunjungan dari Bandung International School. Tak jarang pula aku melihatnya dijemput oleh ibunya dengan sepeda motor listrik. Sementara aku dan peer groupku berjalan melewati aspal Panyirapan yang panasnya melelehkan alas sepatuku.
Selama aku mengenalnya, tak satu pun kata pernah terlontar antara kami. Aku pun tak sering melihatnya bercengkrama dengan teman dekatnya. Dia jarang bicara dan begitu pendiam. Hingga satu kesempatan aku melihat di sudut pandangku, ia sedang memperhatikanku. Aku bahkan tak yakin bahwa ia memandangiku. Esoknya, aku masih melihatnya memandangku. Berulang hingga beberapa hari ke depan dan masih tetap sama. Tatapan tanpa sapaan. Bahkan aku ragu bahwa ia tahu namaku.
Hujan begitu deras. Kelasku terletak di sebelah utara gedung utama sekolahku. Tanah merah membuat sepatuku menyisakan jejak di lantai. Ada satu jejak yang sama di depanku. Itu bukan jejakku. Jejak sepatu Dika yang ia tinggalkan hingga menuju kelasku. Aku tak mengucapkan salam dan duduk di bangku paling depan. Saat itu hanya ada kami, juga sisa pelajaran kemarin yang masih membekas di papan tulis. Aku membuka lembaran kosong di bukuku. Aku ingin sekali menyapa anak itu. Si penyendiri yang tak pernah kudengar suaranya itu. Namun kali ini ia tak menatapku sama sekali. Seolah aku tak berada di sana. Ia sedang duduk memandangi anak kelas lain yang berlarian karena kehujanan.
***
Aku selalu duduk di barisan paling depan. Bukan karena mataku minus. Aku lebih suka jika tatapanku langsung menuju pada guruku. Belum lagi glukaoma yang aku alami, membuatku tak jarang meninggalkan pelajaran. Ibuku tak jarang menjemputku, dengan sepeda listrik yang  lagi ngetren kala itu. Aku duduk seperti anak kecil di belakangnya. Merasakan mentari yang panasnya seakan melelehkan ban sepeda motor listrik ibuku.
Aku melihat seorang gadis yang duduk sebaris denganku. Hanya terhalang oleh satu bangku saja. Hasni. Kerudungnya cukup rapih dibandingkan anak-anak yang lain. Jika aku melihat wajahnya yang bulat itu, aku bisa merasakan ke-jutekan yang amat besar. Dia supel, rajin, dan memiliki peer group yang menyenangkan. Selama kami berada di kelas yang sama, kelas F, tak satupun kami pernah menghamburkan kata secara bersamaan. Bahkan ketika aku dan dia dipilih menjadi perwakilan kelas untuk kegiatan kunjungan dari Bandung International School. Masih tak juga aku berkenalan dengannya.
Pagi itu masih berkabut. Belum banyak siswa yang datang sepagi ini. Selain berkabut, pagi itu turun hujan. Daerah sebelah utara gedung sekolahku masih belum dipasang paving block, membuatku menyisakan jejak merah di lantai. Aku membuka pintu kelasku yang baru saja dibuka gemboknya. Kelas masih sangat sepi dan begitu dingin.  Bertambah dingin ketika anak itu memasuki kelas. Suasana cukup menegangkan untuk anak kecil seusia kami. Entah mengapa aku ingin menyapanya. Dia satu-satunya wanita yang ingin aku sapa dibanding teman yang lain. Dia jelas bukan pendiam, tapi tatapannya yang acuh dan jutek itu membuatnya, um, terlihat cantik.
Dia membuka bukunya. Membolak-balik kertas kosong yang masih sepi. Sama sepinya kelasku yang masih belum ada siswa yang datang. Di luar, anak-anak berlarian diserbu hujan yang semakin deras. Mereka mengibas-ngibaskan rambutnya yang kebasahan. Satu per satu temanku berdatangan. Kelas menjadi hangat, walau sebenarnya hatiku masih tetap dingin. Lebih dingin lagi ketika aku melihatnya, namun ia tak melihatku.
***
Aku berencana mengunjungi rumah temanku, Aul, di Soreang Indah. Seperti biasa pula kami tertawa dan menceritakan hal yang tak penting. Jalannya begitu berliku, bukan karena berbatu atau curam, begitu banyak tikungan. Aku masih tertawa dan tak menyadari, Dika melintas dihadapanku dengan sepeda yang bukan milik ibunya. Aku hampir lupa padanya. Sudah 2 tahun lalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Dia tampak berubah. Namun satu yang pasti, kami masih tak saling menyapa. Sepersekian detik yang masih tetap sama.
Aku diajak makan siang di rumah Aul. Sambal buatan ibunya Aul begitu enak. Juga sayur sop jagung yang juga enak. Aku makan bersama keluarga Aul, kecuali ayahnya yang sedang di luar kota. Setelah perut terisi, aku keluar dari rumah Aul, merasakan terik yang begitu menyengat. Mataku menyipit kala itu, bukan karena teriknya. Aku memfokuskan pandangan melihat seseorang jarak 10 meter. Dika! Teriakku tak terucap. Ya, Dika sedang melajukan sepedanya tepat melintas dihadapanku. Refleks. Keinginanku sejak SMP untuk menyapanya terjadi di sepersekian detik itu.
“Dika..” Ucapku mengambang. Entah menyapa atau bertanya memastikan bahwa ia adalah Dika, teman SMPku.
“Ya..” Jawabnya tak berekspresi.
“Kamu Dika teman SMPku kan?” Kini aku memastikan.
“Iya..” Jawabnya datar.
“Kamu sekolah di mana sekarang? Boleh minta nomor handphone? Aku ada PR Bahasa Inggris.”
“Di SMAN 1 Soreang. Oh, iya boleh. Rumahku berpagar hijau di ujung jalan ini.”
Degup jantungku tak karuan. Terik panas itu membuatku bertemu dengannya. Kini aku sudah berani menyapanya, si anak pendiam. Kini aku tahu bagaimana suaranya. Suaranya berat, khas anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Aku tersenyum sendiri di depan rumah, Aul. Seperti melepas rindu yang tertahan. Bahagia.
Aku tak tahu, apakah aku jatuh cinta padanya sejak SMP atau tidak. Bahkan aku tak tahu apa itu cinta. Langkahku masih tak beranjak sejak aku bertemu dengannya. Kini, langkahku masih menuju rumah berpagar hijau. Sudah sampai ujung. Aku berjalan mondar-mandir di sana. Tak kutemukan rumah berpagar hijau yang ia maksud. “Rumah Dika yang itu, Kak,” Ucap anak kecil yang sedang main sepeda di halaman yang entah rumah siapa. Tak lama kemudian, Dika keluar. Senyumnya mengembang lebar untuk pertama kalinya. Aku sadar akan itu, hingga kami berhadapan. Dia memberikan telapak tangannya yang sudah bertuliskan nomor handphone-nya.
***
Siang itu sangat terik. Aku melajukan sepedaku menuju warung 123. Orang-orang mungkin sedang tidur siang. Hanya ada beberapa penikmat terik di siang ini. Begitu pula 2 gadis yang sedang tertawa entah atas dasar apa. Aku melintasi mereka. Tak dengan seluruh pandanganku, jelas terlihat wajah jutek itu. Hasni. Dia masih di sini. Namun kakiku tak berhenti mengayuh sepeda hingga tikungan yang membuat kami berpisah.
Aku ingin menyapanya. Namun rasa inginku dikalahkan oleh ketidak adaannya keberanian untuk berucap. Entah kapan terakhir aku bertemu dengannya. Wajahnya masih cantik seperti terakhir aku melihatnya. Kerudungnya masih rapih, begitu pun wajah juteknya yang masih sama. Berbeda ketika aku memandangnya, wajahnya mengekspresikan rindu yang tertunda. Aku mengayuh lagi dengan perasaan sedikit senang. Melintasi perumahan Soreang Indah yang masih sepi karena panas begitu menyengat.
10 meter jaraknya. Aku melihat seorang gadis tengah berdiri di depan rumah yang aku tak tahu itu rumah siapa. Perlahan tapi pasti, penampakan gadis itu menyerupai, Hasni. Ya.. Hasni! Teriakku keras dalam pikirku. Tapi kakiku tak berhenti mengayuh. Aku tak bisa menghentikannya dengan pasti. Aku terlalu gugup untuk pertemuan yang mendadak itu. Menyembul namaku yang ia setengah teriakkan. “Dika..” Ucapnya mengambang. Kini aku tahu suaranya. Tatapnya sudah tak membuatku merasa sendirian. Aku masih melihtanya secantik dulu ketika kami masih sama-sama duduk di bangku SMP.
Aku mulai bertukar nomor handphone dengannya. Hidupku yang sepi mulai terisi oleh kehadiran anak jutek yang sangat ingin aku kenal sejak SMP. Sudah 2 tahun tertahan salam perkenalan ini. Dia adalah pengecualian bagiku. Dia satu-satunya yang mampu memasuki hidupku yang sepi. Ya.. Hidupku yang hanya ada aku dan duniaku yang mono: tak berwarna.
***
Aku semakin mengenalnya. Kepribadiannya yang unik dan menyenangkan. Jika tahu begini, sudah lama aku menyingkirkan keraguanku untuk mengenalnya. Pagi ini aku menunggunya di depan jalan Gading Tutuka. Ternyata sekolah kami bertetangga. Jalannya masih khas, seperti dulu terakhir kali aku melihatnya membuat jejak di lantai depan kelasku. Dia tersenyum lagi. Senyumnya bertubi-tubi, begitupun denganku. Langkah kami sudah beriringan. Jalan yang cukup ramai itu seolah tiada arti. Aku berdialog dalam dunianya yang sepi.
“Ini cerita yang kamu minta.” Dika masih melempar senyuman.
“Makasih ya, Dik. Aku harus ngasih apa nih?”
“Aku minta satu, tapi akan terasa berat untuk kamu.”
“Apa?” Lirikku penasaran.
“Maukah kamu menemaniku dalam duniaku yang sepi?” Lirikku pada matamu yang juga menatapku.
“Tapi, duniaku sudah tak sepi lagi, Dik.” Kau menunduk
Jalanan yang ramai, terasa begitu hening. Kegugupan antara kami begitu terasa. Membawa memori ketika kami saling terduduk tanpa sepatah kata. Lembar cerita dan mentari yang bersinar cukup tertang pun menjadi saksi. Bukan aku takut merajut kasih. Namun hatiku telah terlebih dahulu melupakan perasaan yang seharusnya hadir saat ini.

Sabtu, 20 Februari 2016

Sekelebat Sunyi

“Aku tahu kita memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Banyak orang berkata pula bahwa kelebihan dan kekurangan itu diciptakan untuk saling melengkapi. Bahkan kalian pasti setuju pula dengan hal yang berpasang-pasangan itu. Itu pula mengapa dia (pendiam) kini berpasangan dengan aku (yang lebih cerewet).
Ini bukan perjumpaanku yang pertama dengannya. Namun degup jantungku masih pula tak beraturan. Dia kekasihku sudah sejak 9 bulan yang lalu. Sejak itu pula aku mulai mengenalnya. Caranya berjalan dan nada bicaranya. Ketika itu aku sedang kesal karena tahu bahwa ia tak akan mengantarkanku ke kota perantauanku (baca: Malang). Pipiku sudah mengembang bagai kue bolu yang terlalu banyak pengembang. Juga tatapku yang kala itu tak ingin menatap siapa pun. Hanya kerikil di jalanan yang tak kesepian, juga derap langkah yang saling berkejaran. Dia sudah berdiri tepat di depan gang kontrakannya. Remang-remang aku menatapnya, namun aku tahu itu adalah dia. Ya.. Kekasihku yang sangat pengertian dan begitu penurut.
Aku tak menoleh atau pun tak menghentikan langkahku ketika aku melewatinya. Kini dia sudah ada di sampingku dan menyenggol-nyenggol pada tasku yang begitu sesak kala itu. Aku hanya terdiam kesal bila mengingat bahwa ia harus sibuk dengan organisasinya di saat liburan seperti ini. Aku mengunci rapat mulutku. Bahkan mungkin minusku akan bertambah ketika aku melihat wajahnya. Ya.. Dia masih terus menggodaku. “Aku akan mengantarmu ke Malang.” Sontak perkatannya membuatku menatapnya dan juga ransel hitam yang digendongnya. “Dengan tas yang tak ada isinya itu?” Ucapku kemudian. “Kamu jangan menghibur aku. Aku tahu kamu sibuk. Jadi, tak usah khawatir. Tak akan ada yang mau menculikku.” Ucapku mencoba tegar. Tapi, dia selalu membuatku bisa tertawa, bahkan ketika hati ini sedang tak baik-baik saja. Secamacam stimulan. Ya.. Atau enzim, yang membuat suatu pekerjaan menjadi lebih mudah. Aku mudah melepas penat yang mengganjal. “Ikut aku ke Malang pliss..” Kataku merengek. Aku mulai jujur padanya.
Aku setuju. Usia tak mencerminkan seberapa dewasa dirimu. Jika kau lebih muda dariku, belum tentu kau lebih kekanak-kanakan dariku. Aku bisa melihat itu. Tatapanmu yang seolah merasa bahwa aku adalah adikmu yang perlu kau lindungi. Atau kah semacam pendestruksian? Ya.. Kau berhasil mendestruksi moodku yang sedang kacau. “Aku juga butuh liburan. Aku masih bisa mengerjakan tugasku karena esok aku sudah kembali ke Surabaya.”
Sepanjang jalan itu aku berniat untuk tidur. Aku akan senang karena kali itu aku sedang bersamanya dan kemungkinan ia akan menjagaku. Namun, ekspektasi dan realita sedang berbanding terbalik saat itu. Aku menjaganya. Bukan karena aku lebih tua darinya. Aku melihat wajahnya yang begitu kelelahan. Aku merasa bersalah kala itu. Belum lagi aku yang memaksanya untuk menemaniku. Namun, aku merasa beruntung. Dia selalu mencoba membuatku bahagia. Meski tak jarang ia mengatakan bahwa dirinya masih belum bisa membahagiakanku. Ya.. Kami hanyalah remaja yang sedang saling jatuh cinta. Mencintai sewajarnya usia kami dan mencoba saling mendewasakan.
***
Pagi sekali ia sudah membangunkanku. Mengajakku berkeliling atau sekedar mampir ke alun-alun. “Aku sudah di depan.” Bisa kubayangkan wajahnya yang menaruh seribu rahasia itu sedang berdiri kesepian karena pagi masih cukup pagi. Wajah itu masih belum terlepas dari kelelahan. Raut wajahnya, tatapnya, langkahnya, bahkan caranya menggenggam tanganku, begitu mengisyaratkan kegundahan. Apakah karena kami sama sama lahir di bulan November? Yang kami perlihatkan pada dunia, belum tentu watak kami yang sebenarnya.
Angkutan GL membawa kami menuju alun-alun. Kami duduk berhadapan. Kadang, tatap ini bertabrakan lalu diikuti senyum malu-malu yang memalukan. Suasana di sana sudah ramai. Bangku-bangku di taman itu pun kebanyakan sudah terisi. “Ayo cari makan dulu. Aku lapar. Hehe.” Ajaku ketika sampai di sana. Sudah kami putuskan bahwa kami akan makan bakso pagi itu. Pagi yang masih pagi. Langkah kami beriringan mencari tukang bakso. Cuaca sangat cerah. Begitu pula hatiku yang sedang berbunga-bunga. LDR membuatku begitu bahagia ketika diberi kesempatan untuk bertemu dengannya. Kala itu pun adalah pertama kalinya aku mengajaknya ke alun-alun.
“Kamu pindah ke sini, nanti tambah coklat.” Ucapnya ketika perjalanan itu cukup terik. Heran. Kami belum juga menemukan tukang bakso di pagi-pagi yang masih pagi itu. Hingga langkah ini sampai ke titik awal tempat kami turun dari angkutan umum. Saat aku melihat ke deretan kuliner, ternyata ada satu pedagang bakso di sana. Bukan sial atau apa. Ini karena Tuhan masih mengijinkan kami melangkah bersama mengitari pasar. Seperti biasanya, dia selalu menambahkan saus dan kecap. Bukan pula hal yang aneh jika kecap-kecap itu menginginkan lama-lama di tepian bibirnya. Aku tak mau mengelapnya.
“Apa rencanamu ke depan?” Ucapnya memecah konsentrasiku memotong bakso.
“Aku ingin melanjutkan studi.”
“Bagus. Aku ingin bekerja sembari melanjutkan studi juga.”
“Bagus. Kalau begitu, setelah ini kita abadikan momen.” Kataku sambil meniup es jeruk.
Kami berfoto sangat banyak. Entah untuk memuaskan diri atau bagaimana. Pasalnya, setiap kali kami berniat berfoto, apapun alasannya, selalu saja gagal. Namun, perjumpaan kali itu cukup membuat handphone-ku low batt. Seperti biasa, aku mulai bercerita ngaler-ngidul padanya. Ini mungkin karena kemampuan verbal aku yang tinggi membuatku tak henti-hentinya berceloteh. Dan tinggi pula padanya untuk tak bosan mendengarkan ceritaku (walau entah ia menyimak atau tidak). Kadang pula, aku memintanya untuk tertawa ketika aku bercerita hal yang lucu, namun ia tak tertawa sama sekali. Setelah dengan sedikit paksaan, akhirnya senyum ala dia mengembang. Ya.. senyum yang selalu manis. Senyum si ketua umum.
***
Langit akan mengundang hujan. Angin berhembus semakin kencang, menerbangkan debu-debu. Kami berlari menuju masjid dan menunggu hujan di sana. Cukup lama kami berdiam di sana (secara terpisah). Angkutan umum sudah menunggu kami menuju terminal Arjosari. Dia harus pulang lebih awal dengan alasan seniornya menyurhnya bertemu dengannya setelah magrib. Dengan sedih hati dan menampakkan wajah tetap ceria, aku mengantarkannya menuju terminal. Ditemani gerimis yang masih mengundang.
Aku bersalaman dan melambaikan tangan. Aku sempat ingin membelikannya sesuatu untuk dimakan di jalan, namun seperti biasa, aku selalu ditolak. Aku tak berdiam diri menunggu bus yang ia naiki melaju. Aku melangkah dengan hati tak karuan. Rasanya, senyum, tawa, kebahagiaan yang baru saja aku rasakan, bagai mimpi yang begitu cepat membawaku ke dunia nyata. Sepanjang jalan aku memikirkannya. Lelaki yang harus kuat dan tegar sedang dalam perjalanan. Aku tahu, ia tak perlu rasa ibaku. Itu pula mengapa aku tak ingin memperlihatkan atau mengatakan bahwa aku kasihan padanya.
Kamarku kembali sepi, sunyi tak beraroma bahagia. Bahkan aku enggan memasukinya atau sekedar merebahkan tubuh di kasur ber-eprei Micky Mouse. Jendela itu tak aku buka sejak aku datang ke mari. Setelah beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk tinggal di tempat Huril, di Tuban. Aku duduk di lantai. Menatap kosong pada tembok yang juga kosong. Bahkan aku tak mendengar bahwa kerinduan ini masih ingin berada di sampingnya. Aku hanya mendengar- sunyi yang amat sunyi. Di kamar berukuran 2x3. Sendirian tanpa sesiapa pun.

Jumat, 19 Februari 2016

Terbatas Kain Hitam - Edit

“Aneh. Tiba-tiba saja aku mencintai mata yang tidak benar-benar aku tatap.”

Pernahkah kau merasakan jatuh cinta, tetapi kamu tak pernah benar benar bertemu pandang dengannya? Aku mengalaminya. Ketika terik membuat kulitku semakin masak, begitupun peluhku yang semakin membanjiri. Aku duduk di bangku no 13 D sebelum wanita itu mengusirku. Ya, wanita yang tak bisa aku pandang. Hanya terdengar suaranya meminta, “Maaf, boleh tidak jika kamu duduk di situ, saya tidak biasa duduk di situ.” Mungkin karena ia adalah wanita yang sangat sholehah. Duduk pun tak mau bersebelahan dengan lawan jenis. Dengan sedikit mengangguk, aku pun pindah tepat menjadi berhadapan dengan wanita itu.
Saat itu aku setengah tersadar, pundakku terasa berat. Ah.. Ternyata ada seseorang yang bersandar di bahuku. Nampaknya seperti wanita berhijab, namun aku tak bisa melihat wajahnya. Aku terus terjaga. Perjalanan baru sampai Sidoarjo. Namun saat itu, aku merasa sedang bermimpi. Tiba-tiba aku terbangun tepat dengan kepalaku yang bersandar di kepala wanita itu. Aku cepat-cepat mengangkat kepalaku dan dia pun terkejut. Akhirnya, aku bisa melihat wajah wanita itu. Mata sipit dengan kaca mata merosot hingga ke hidungnya. Dia mengangguk kecil sambil meminta maaf. Aku hanya tersenyum lalu memberi tahu Rosa, bahwa aku akan segera sampai.
Aku berjalan tepat di depan pasar malam. Pasar itu sangat ramai dan terlihat indah dengan lampu kota berwarna kuning. Di sana pun aku mendengar lagu berjenis dangdut koplo. Tak sedikit orang yang mendengarkan, menggoyangkan jari tangannya dan menganggukkan kepalanya. Begitu pun tanpa sadar aku menggerakkan tipis kakiku. “Maaf ya lama, bibi minta aku membelikannya balsem.” Jelas Rosa, saat menjemputku. Aku tersenyum mengiyakan dan menaiki motornya.
Lampu sudah padam ketika aku melewati tempat itu. Rosa, memintaku untuk turun dan berjalan duluan. Dia kemudian menghilang di balik semak. Mungkinkah dia berubah jadi Cinderela? Aku tak perduli. Rosa, hanyalah anak kecil yang pandai mencari uang. Sepertinya ia akan pergi ke kafe untuk bekerja malam. Aku berjalan terus. Sunyi sekali. Aku hanya mendengar langkah kakiku dan suara degup jantungku. Aku mengambil handphone dan membuat penerangan. Samar-samar membuatku sulit untuk menghindari beceknya jalan itu. 5 Tahun tak ke Surabaya, membuatku pangling akan keadaanya. Apalagi gelap seperti ini. Menurut Rosa, setelah aku melewati rumah besar berwarna biru, aku harus belok kanan. Ya, aku belok kanan setelah ini. Namun, langkahku mulai meragu. Telingaku yang tajam mendengar suara dari balik gang yang akan aku lewati. Seperti langkah yang sama ragunya dengan langkahku. Aku melihat sedikit sinar yang meredup di sana. Aku membiarkan kakiku melangkah. Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Dingin sekali. Aku merasa tanganku direndam air es. Mataku ditutupi mentimun. Wajahku dibalut masker bengkuang. Tapi, perlahan ada hangat yang menjalar dari kakiku. Naik dan semakin naik. Hingga aku merasa masker di wajahku telah dicuci bersih. Dengan sedikit khawatir, aku membuka mataku. Aku menelan ludah keras-keras. Mataku memburu sudut ruangan itu. Hanya ada satu jendela kecil dan sebuah gulungan hitam di atas kursi. Hei. Itu seperti manusia. Tapi seperti gulungan besar. Adrenalinku meningkat. Entah mengapa aku berani mendekati gulungan itu. Saat semakin dekat, kain hitam terjatuh dari sana. Nampak wajah gadis yang sangat cantik. Seperti gadis yang bersandar di bahuku saat semalam tadi. Kulitnya sangat putih, seperti susu. Atau pucat? Apa dia sudah mati? Pikirku mulai tak beres. Aku mendekatkan telunjukku ke depan hidungnya. Udara keras berhembus darinya. Beriringan itu, si gadis membuka mata terkaget hingga terguling ke lantai. Aku tak menolongnya bangkit. Aku duduk dengan cepat di tempat tidur yang hanya dua langkah dari si gadis.
“Kenapa kau melepas kain itu?”
“Kau menjatuhkannya. Aku tak melakukan apapun. Dan mengapa aku di sini? Kau menculikku?” Aku mulai curiga.
“Kau harus menikahiku.”
“Hah? Yang benar saja. Mengapa aku harus melakukannya?”
“Kau sudah bersentuhan denganku. Kau pun sudah tahu rupaku. Kau pun sudah menginap di rumahku.”
“Aku tak pernah menyentuhmu. Sama sekali tidak. Dan aku pun tak berharap melihat wajahmu yang cantik. ”Duh, aku kelepasan.
“Aku akan sangat berdosa, jika malam itu tak menolongmu. Aku takut. Kau jatuh begitu saja di hadapanku. Sementara di sana sangat sepi.” Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku terdiam.
***
Aku sengaja melepas cadarku ketika aku ke kamar mandi. Satu per satu penumpang di tempat itu turun. Kau mungkin tak melihatku. Tapi tatapku jelas tertuju pada matamu. Kau duduk saja saat itu. Melihat pemandangan yang hanya lampu kecil di kejauhan. Kadang kau  menempelkan wajahmu tepat pada kaca. Menutupi sisi-sisinya. Sungguh sangat kekanakan untuk pemuda seusiamu. Kau membuka sebuah buku. Aku sangat terkejut, karena buku yang kau pegang adalah buku harianku 5 tahun yang lalu. Dia mulai berderai melekat di kain yang tidak kau suka. Aku mulai ingat. Kau adalah Fadli, lelaki yang meninggalkanku 5 tahun lalu. Aku sangat tak mengenalimu. Kau sekarang tampak karismatik dan lebih bersih. Suatu keajaiban bisa bertemu denganmu. Sejak itu, aku berjanji akan memperlihatkan wajahku padamu. Hingga aku berani duduk di sampingmu dan menyandarkan kepalaku. Setidaknya, aku memenuhi janjiku padamu.
Kau begitu terburu-buru. Aku sulit mengejarmu. Aku meminta kabar pada Rosa, akan kemanakah Fadli pergi. Rosa bilang, kau akan bertemu bibi. Aku menunggumu di gang itu. Gang sepi tanpa pencahayaan. Hanya lampu remang dari handphone jadulku. Rosa. Dia selalu menyampaikan salamku ketika aku ingin bertemu denganmu, tentunya ditemani Rosa. Kau bilang, “Aku hanya ingin berdua denganmu. Mengapa harus mengajak Rosa?” Aku menjelaskan padamu bahwa kita tak boleh hanya berduaan saja. Latar belakangku menjadikanku begitu lekat dengan nilai-nilai islam. Walau aku sadar, satu hal telah aku abaikan. Aku berpacaran dengan Fadli.
Aku meminta Rosa untuk menyampaikan pesanku bahwa aku rindu padamu. Kau tak muncul di tempat itu. Biasanya kau tak pernah mengabaikan rinduku. Tapi hari itu, menanti di bawah pohon belimbing yang terasa bertahun-tahun. Lama sekali. Hujan mulai turun, aku tetap menunggumu. Masih setia dengan kain yang kau benci. Aku terdiam hampir tak sadar diri. Aku menikmati pemandangan yang sudah tak nampak.
Aku mulai putus asa. Aku berjalan pulang di tengah azan magrib. Saat itu, kau muncul dihadapanku. Matamu nampak memerah. Aku tak pernah melihat matamu se-sendu ini. Kau tak juga bicara. Kau mengulurkan tangan dengan selembar kertas. “Ini yang terakhir sebelum aku pergi ke Jakarta.” Lalu kau menghilang di balik jalan gelap.
***
Aku meyukai suara itu. Suara indah yang terdengar setiap subuh. Denis bilang, itu suara milikmu. Aku menghayati setiap lantunan ayat yang kau bacakan. Aku ingin sekali melihat bagaimana wajahmu. Pasti secantik suaramu. Bahkan mungkin tatapanmu itu dapat meneduhkanku di terik ini. Aku dan Denis menunggumu tepat di depan masjid. Denis menunjukmu. Dia mengatakan bahwa gadis bersuara merdu itu adalah dirimu. Namun hingga kini, aku sama sekali tak bisa bayangkannya. Aku salah. Tak ada tatap yang meneduhkan. Hitam saja.
Kian hari, kian resah. Aku sangat ingin bertemu denganmu. Selepas magrib, aku menunggumu lagi di depan pintu. Aku tak bisa mengenali manakah gadis bersuara merdu itu. Hingga guruku menghukumku karena memasuki daerah terlarang. Daerah santri wati. Aku tak diizinkan keluar asrama selama satu bulan. Aku bak tawanan yang merindukan mentari. Tentunya pun pada suara merdu yang menenangkan jiwaku. Melakukan rutinitas di kamar sempit dengan 6 orang sahabatku.
Lewat Denis, sebuah surat dengan pita orange mendarat di tanganku. Aku membukanya perlahan. Aku melihat di akhir surat bertuliskan Fatmawati. Debarku mulai tak karuan. Mungkinkah ini Fatmawati anak Pak Haji Arifin?. Aku membacanya dengan seksama, hingga aku tak merasakan nafasku. Esoknya, kita bertemu di bawah beringin, di temani Rosa, sepupuku.
Kita ikrarkan bahwa kita menjalin hubungan. Kita selalu bertemu di tempat itu. Tapi, keinginanku selalu kau tolak. “Nanti kita akan benar-benar bahagia jika ikatan antara kita benar-benar kuat.” Aku selalu putus asa dan kadang menganggap kau terlalu sholehah. Aku bahkan tak pernah melihat ujung kukumu itu. Menatap matamu dari dekat pun, aku tak bisa melihat bola matamu. Hubungan kita benar-benar suci. Jarak kita berdiri selalu melebihi satu lengan lencang kanan.
Semakin lama, aku merasa semakin kesetanan. Aku terus memaksamu melepas kain yang menghalangi wajahmu. Kau terus berkilah dan berbalik menceramahiku. Aku menahan perasaan itu sekitar 2 tahun. Hingga aku memutuskan untuk berhenti menunggumu. Seperti biasa, salam itu sampai padaku ketika ibu menjengukku dan Rosa mengikuti dibelakang ibu. Aku tak datang sore itu. Aku tak sanggup untuk melepasmu. Mencintaimu walau tak harus menatapmu. Tapi, aku terlalu kekanakan. Aku tuliskan surat beracun itu. Mungkin akan membunuh perasaanmu.
Dalam surat itu aku tuliskan keinginan terbesarku. Aku ingin melihat matamu, menyentuhmu, dan menikah denganmu. Tapi aku tak siap jika aku harus menikahimu saat itu juga. Aku masih punya keinginan untuk melanjutkan kuliah. Maka, jika nanti kita bertemu, pastikan kau masih mencintaiku dan kau akan melepaskan kain penutup wajahmu itu. Aku merasa, kau terlalu fanatik.
***

“Jadi, kau tak ingat siapa aku?”
“Aku hanya seperti pernah mendengar suaramu. Tapi entah di mana.”
“Kau ingat Fatmawati?” Matanya semakin sendu.
“Aku rasa, kau adalah Fatma mantan kekasihku. Walaupun aku tak pernah melihatnya.” Dadaku semakin sesak.
“Aku telah menunaikan janjiku.”Dia mendekatiku dan meraih tanganku.
Terasa sangat panas. Aku mulai tak nyaman dengan suasana itu. Ternyata tatapan itu adalah tatapan yang selama ini aku nantikan. Tak sedikit pun aku bayangkan akan seperti ini aku menatapnya. Hari ini, aku sangat berdosa. Terdengar sedih suara burung dari luar. Seperti pertanda bahwa dunia sudah mengutuk kami berdua.
Nampak 20 panggilan tidak terjawab. Rosa. Dia pasti sangat cemas dengan keadaanku yang masih belum sampai tempat bibi. Aku langsung bergegas melawan rasa sedihku dan meninggalkan Fatma di tempat itu. Fatma tak mengenakan kain yang terjatuh itu. Dia seperti menatap setiap langkahku meninggalkannya. Aku bisa merasakan tatapan yang teduh itu.
“Aku semalam tersesat, Rosa. Kamu bisa menjemputku di Ahmad Yani?”
“Kau tersesat sangat sangat dekat denganku, Tunggu di sana.”
Rosa memang bagaikan ojek. Dia selalu mengantar jemput. Bukan hanya masalah itu, dia pun rajin mengantar suratku kepada Fatma. Rosa sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku mulai berpuisi dan membaca sebait tulisan di buku harian Fatma.
Mungkin alam akan mengerti. Bahwa dua insan ini saling jatuh cinta. Cinta tanpa ia tahu bagaimana aku dibalik kain hitam itu. Dia membuatku percaya, bahwa cinta memang dibawa dari alam untuk dipuisikan dalam hubungan ini.
Tak lama kemudian Rosa sudah berada di hadapanku. Menatapku dengan tatapan kesal. Dia memukul perutku yang kelaparan. Aku sedikit terdiam tak merespon. Aku ingat, mengapa aku tak sadarkan diri malam tadi. Aku melihat bayangan hitam sepantaranku sedang menempel di tempok. Ah.. jelas saja. seharusnya aku tahu itu Fatma. Aku dibawa Rosa menuju tempat bibi. Aku terlihat kucel katanya. “Kau seperti bocah hilang selama seminggu.” Aku tersenyum dengan ucapan itu. Bibi adalah orang yang mengurusku sejak kecil.
Aku memikirkan ini dalam 24 jam. Aku harus mantap melangkah. Aku menghitung jumlah tabunganku. Aku perkirakan cukup untuk meminang Fatma. Bibi adalah orang pertama yang aku kabarkan tentang berita baik ini. Bibi menyambut baik dan seminggu kemudian aku dan Fatma menikah. Sangat singkat. Tapi bukan waktu yang sebentar untuk menjaga hati dari wanita cantik yang bertebaran kala aku di Jakarta.
***
Berita itu sangat cepat sampai pada keluargaku, terutama umi dan abi. Mereka  menyetujui pernikahan aku dan Fadli. Malam itu aku pergi menemui Fadli. Aku sudah tak mengenakan kain hitam itu sejak hari aku menampakkan wajahku pada Fadli. Aku melihat Fadli sedang menatapi layar laptopnya ketika aku sampai. Aku duduk tepat di hadapannya. Wajahnya penuh tanda tanya. Wajahku pun penuh dengan jawaban. Aku mengatakan padanya, abi ingin bertemu denganmu malam ini.
Di ruangan itu, abi dan Fadli tampak serius sekali. Aku sampai tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Kecuali, “Kau akan menikahi anakku lusa.” Fadli terlihat pucat. Mungkin sebentar lagi ia akan pingsan sama seperti saat dia bertemu denganku. Fadli bersalaman lalu pamit pulang. Kesabaran menjadikanku benar-benar menjadi peneduh untuknya. Malam terindah sudah tak terbatas kain hitam akan benar-benar aku nikmati.

Kamis, 18 Februari 2016

Orang Menyebutnya Caliandra

“Matamu berkaca-kaca lagi? Biasanya orang pun akan mengatakan itu ketika langit mulai menurunkan hujan tipis-tipis. Katamu: “Alam mengerti perasaanmu. Kita pasti akan berjumpa lagi."
***
     “Kapan kita bertemu lagi?” Kalimat yang terngiang sepanjang perjalanan. Ketika itu, aku sangat merindukanmu. Kau pun mengatakan hal yang sama. Kau masih ingin melihatku. Tak jarang pula kau ucapkan inspirasi-inspirasi untuk bertemu di Eiffel; candaan yang membawa kita kepada sebuah keseriusan yang orang anggap seperti Caliandra.
"Harus saling support. Harus pinter (IPK bagus). Harus saling pengertian. 2016 harus ada karya yang dimuat. Pandai berbahasa Inggris. Paris."
Jam 06:00 pagi. Demikian kau janjikan untuk mengantarku menuju stasiun esok hari. Aku mencoba agar lekas terlelap diantara suhu yang semakin meningkat dan rendahnya oksigen di kamar temanku, Mara. Aku pandangi wallpaper yang belum berubah sejak aku mendapatkan potret itu. Ya.. Lelaki dengan senyum damai yang memamerkan alam yang menitipkan rindu lewat sinar senja di tepi pantai. Aku sampai berkedip-kedip perih karena memandanginya terlalu dekat. “Mari kita ambil beberapa foto sebelum kita berpisah?” Muncul sekelebat pesan yang kau berikan. “Aku setuju.” Lalu mengatur alarm.
Kuputar badan ke kanan dan ke kiri. Aku belum juga bermimpi. Kupandangi langit-langit tempat tidur tanpa menghitung anak domba. Aku lirik ke arah jam yang masih menunjukkan pukul 23:15. Nampaknya pikirku masih ingin mengkhayalkanmu yang kini jaraknya hanya sekitar 4 gang dari kost temanku, Mara. Aku ingin menyebut, Mara, temanku. Temanku karena aku mengenal dirimu. Singkatnya, Mara adalah temanmu yang kini menjadi temanku.
Aku memikirkanmu. Kau yang serba sibuk dan dikejar deadline. Mahasiswa asal Bojonegoro yang tak jarang menjadi bahan lelucon di kelasnya. Begitu pula Bojonegoro yang selalu membuatku ingin menemuinya. Terutama jika musim mangga telah tiba. Aku tahu kau masih bahagia tanpa aku. Tanpa ucapan “Selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan.” Atau “Semangat untuk hari ini.” Aku tahu kau masih mempunyai mereka yang selalu membuatmu memikirkannya atau menghabiskan waktu dengannya. Itu anggapanku. Berbeda jika kau bercerita tentangnya. Kau merasa bahwa mereka kadang menganggapmu lemah dan tak bersemangat. Kadang mereka membawa tentang hubungan ini. Tak jarang pula aku mendengar: “Kok dia mau sama kamu sih?” dengan nada mencemooh. “Kamu sangat beruntung bisa mendapatkan dia. Berbeda dengannya. Musibah mendapatkanmu.” Lanjut mereka dengan nada yang sama. Aku tahu kau masih bahagia.
Kau masih berjuang dengan sisa pemberian orang tuamu. Aku mungkin sedang minum es teh atau membeli pentol khas Malang. Berbeda denganmu yang mungkin sedang galau dengan perlakuan apa yang pantas diberikan pada sisa-sisa si penyelamat perut esok pagi. Belum lagi katamu dengan teman perjuanganmu yang sobek hari ini. Si hitam yang membawamu bertemu dengan Mozzam Malik. Juga dengan yang katamu si kekasih hati. Bagaimana aku tak bahagia mendapatkanmu? Juga atas kalimat indah yang kau kirimkan lewat email beberapa minggu yang lalu. Kau terlebihkan. Si gingsul yang selalu membuatku ingin kembali ke stasiun.
Dering alarm memecah kesunyian. Hanya alarm. Tak ada suara ayam berkokok karena waktu telah menunjukkan pukul 04:30 pagi. Belum lagi lokasi kamar Mara yang jauh dari pintu masuk yang mungkin akan menahan gelombang dari ayam berkokok. Lekas aku “PING PING PING”, agar matanya terbuka dan lekas menunaikan shalat subuh yang hampir terang.
Pukul 05:30. Nyawanya mungkin masih di alam mimpi. Terlihat pesan BBM yang masih delivered. “Sejak awal aku tahu bahwa kau tumor. Alias tukang molor.” Bisa-bisanya dia terlelap sangat lama ketika suhu pagi hari saja mungkin terasa pukul 09:00. Aku melihat langit masih belum terdapat goresan orange. Berbeda dengan burung yang sedang berbaris sambil bernada seolah mengucapkan selamat pagi kepadaku. Pagi yang orang jawa timur akan mengatakan “Sumuk.”
  Mara masih tertidur. Wajahnya bercucuran keringat seperti sedang sauna. Aku melangkah menuruni anak tangga yang jaraknya pendek-pendek. Membuatku tanggung untuk melewatinya satu per satu. Langkah yang khas ini sudah mengantarkanku melewati 2 gang. Para produsen dan konsumen sedang melagu tawar menawar dalam bahasa jawa. Jelas saja aku tak paham. “Sekawan-sekawan.” Katanya menunjuk komunitas rempah-rempah. Hingga langkah khas ini sampai pada halaman kontrakannya. Masih sepi. Artinya masih bermimpi.
“Tunggu sebentar.” Balasnya singkat dari sekian pesan yang aku kirim. Aku sudah tahu arti kata sebentar untuknnya. Sebentar adalah arti ketika aku dimintanya untuk menunda bertelepon sejak pukul 20:00 hingga melewati dini hari. Begitu pula sebentar yang dia artikan sebagai pertemuan dengan kawannya hingga aku bisa melakukan rutinitasku seperti mencuci, mengepel, dan menyapu kenangan.
“Aku siap.” Ucapnya ketika jarak kami hanya satu lencang kanan saja. Kau pasti akan tahu bagaimana rasanya berjongkok di depan kontrakan dengan mencoret-coret paving blok. Atau bercengkrama dengan kesunyian. Tapi itu bukan masalah lagi ketika senyummu mengembang. Kau membiarkan gingsul melihat dunia.
Kita duduk berdampingan menunggu waktu perpisahan tiba. “15 menit lagi.” Kataku melirik jam tanpa detikkan. Aku menatap matamu yang kadang memancarkan kesedihan. Juga merasakan genggaman tanganmu yang terkadang hampir meremukkan tulangku. Hingga kita kaitkan kelingking mungil kita. Ala masa kecil ketika akan mengucapkan janji. Ya.. Janji besar yang dengannya kita tersenyum. Berat memang menahan lelah disiksa rindu. “Kita bisa melakukan yang terbaik jika bersama.” Ya.. Bersama. Kau di Surabaya dan aku di Malang. Kita melakukannya bersama dalam setiap doa.

Rabu, 17 Februari 2016

Ketika Senja Diambang Batas

“Angin berhembus tak santun. Beriringan dengan itu pun daun berguguran menyambutku menuju tepian danau. Danau Februari, begitu kami menyebutnya. Aku ingat bahwa hari ini adalah hari yang kau janjikan untuk memberikanku hadiah. Dengan sabar aku menunggu dengan selembar kertas bertuliskan 3,5.”
***
Nomormu tulalit sejak tadi pagi. Aku tahu bahwa kau pasti sedang sibuk dengan kegiatan di kampus. Dengan langkah tenang aku memperhatikan setiap pengunjung danau siang ini. Hanya beberapa saja yang datang. Aku, dan dua orang wanita sebaya denganku yang kini sedang duduk di tepian danau. Seperti biasa, ransel orange-ku selalu penuh. Kau tahu pasti aku merasa lelah dengan barang bawaanku ini. Kau pasti akan membawakannya dan mencubit pipiku.
Hari ini akan menjadi hari yang membahagiakan setelah satu semester kita tidak bersua. Aku membawa KHS (Kartu Hasil Studi) yang kau minta. Kau mengatakan bahwa jika aku lebih baik darimu, kau akan membelikanku eskrim. Bagiku, eskrim memang manis dan menyejukkan. Lebih lagi denganmu, kau lebih manis dan lebih santun dari hembusan di siang menuju sore ini.
Aku menghitung lama waktu kau tak mengabariku. Mungkin sekarang kau masih sibuk di kampus dan mengurusi banyak hal. Tapi, aku yakin kau tak akan lupa dengan janjimu. Wanita itu mulai pergi dari pandanganku. Kini hanya ada aku dan Februari yang menanti kehadiranmu. Hingga aku terduduk dan terlelap. Hembusannya menentramkan hatiku yang gelisah. Hamparan air itu membuatku merasa sejuk. Terlebih pula pada siluetmu. Senyum lebar terkembang memamerkan gingsul, mata menyipit dan aku semakin terhanyut dalam penantian di senja ini.
Ah.. Kau masih sibuk nampaknya. Hingga hujan ini turun diantara perasaan yang mulai damai. Langkahku setengah berlari menghampiri gubuk tua di samping pohon ini. Angin semakin tak santun dan kupeluk ransel besarku untuk menghangatkanku. Aku masih ingin menunggumu. Bahkan hujan ini tak menginginkanku pergi dari sini. Ia menahanku seperti Resimen Mahasiswa yang menahan jurnalis kampus. Mungkin alam ingin aku tetap di sini menantimu.
Warna jingga itu semakin jingga. Lampu di sepanjang jalan mulai memancarkan warna orange khas lampu jalanan. Hujan masih rintik. Kau mungkin tak akan datang. Ingat juga bahwa kau alergi terhadap hujan. Aku senang dengan bintik-bintik merah di tanganmu. Tapi jika wajahmu memancarkan kesedihan yang tertahan, aku bisa apa selain memarahimu karena menembus hujan? Aku berjalan perlahan. Berharap langkah yang lebar-lebar ala kamu segera sampai kehadapanku. Dengan harap harap cemas aku berjalan perlahan menuju pintu gerbang.

***
Sejak pagi ini sinyal hanphone-ku nyala mati. Padahal aku belum memberi kabar padanya bahwa aku ada kunjungan ke kampus sebelah untuk memenuhi undangan. Kau mungkin sudah menunggu di sana, dengan ransel orange-mu yang selalu terisi penuh. Kau selalu mengeluhkan itu padaku. “Aku pegel nih..” Katamu mengkode aku untuk membawakannya. Ekspresi wajahmu selalu membuatku tak tahan untuk sekedar mencubit pipimu. Kau selalu terlihat manis.
Aku harap kau tak lupa untuk membawa KHS semester ini. Karena aku yakin, semester ini kau akan mentraktirku. Walau aku sempat mendengar bahwa kau mendapatkan nilai A di 4 sks mata kuliahmu. Aku sudah siapkan pesananmu. Aku simpan di pendingin di ruang kerjaku. Aku harap kau masih menunggu di sana. Aku akan menyelesaikan tugasku sebelum pukul 4 dan langsung mengunjungimu.
Penerima tamu mengatakan bahwa acara akan ditunda sampai pukul 3, sementara aku harus segera menemuimu. Belum lagi langit mendung sedang mengundang hujan. Sinyal handphone-ku semakin tak karuan. Tak satu pun pesanku terkirim. Aku khawatir kau akan kesal dan meninggalkanku. Tapi aku pun harus menghadiri undangan ini. Menghormati LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) kampus sebelahku.
Akhirnya hujan turun deras. Mungkin kini kau sedang berteduh di gubuk tua di sebelah pohon itu. Aku bayangkan kau yang sedang memeluk ranselmu. Kau pasti sangat kedinginan. Aku semakin khawatir padamu. Tapi, bila kuingat senyummu, perasaanku menjadi damai. Terlebih lagi kau yang selalu menunjuk gingsulku ketika aku tertawa lebar oleh tingkahmu. Ketika mataku menyipit karenanya, kau berkata bahwa kita kembar. Ya, mata sipitmu yang membuatku tak henti memperhatikan kemanakah hilangnya lingkaran hitam di matamu.
Aku tahu kau akan sabar menunggu. Kau pun tahu bahwa aku tak akan ingkar janji. Waktu sudah menunjukkan pukul 5. Aku segera menyudahi pertemuanku yang sudah berjalan setengah jalan. Ketika itu, hujan masih sangat lebat. Kau pasti akan marah jika aku menemuimu dengan diiringi tangisan alam ini. Aku kemudian menatapi langit dan berharap agar hujan ini segera berganti dengan pelangi. Seperti katamu bahwa aku adalah pelangimu. Kebahagiaan setelah hujan kekecewaan.
Berdiri menatap hujan yang belum juga reda. Dengan harap-harap cemas bahwa kau masih menantiku di sana. Sudah kugenggam kresek berisi pesananmu. Kurasa dinginnya udara mampu menahan agar es ini tetap membeku. Teringat pula dengan perkataanmu di sebuah gazebo dekat Fakultas Ushuluddin. “Aku ingin menjadi anggota Resimen Mahasiswa saja kalau begitu,” ketika kataku bahwa Resimen Mahasiswa yang suka mengahalangi para jurnalis. Wajahmu sungguh bahagia mendapatiku tersudut dekat tembok. Dan alam yang masih bersedih ini menahanku untuk menemuimu. Aku tahu kau akan marah jika aku menembus hujan. Aku terus menimbang hal ini. Belum lagi alergiku yang akan menjadi-jadi ketika kulitku bersentuhan dengan hujan.
Aku melihat di sekitar kampus sudah tak ada lagi makhluk yang berkeliaran. Aku langsung berlari menujumu. Dengan kantung kresek yang berayun ayun seriring langkahku. Aku melihat jalanan pun telah sepi. Hanya ada aku yang berjalan di bawah lampu jalan menuju danau . Lampu kuning khas lampu jalanan mulai menyala. Aku percepat langkahku. Berharap kau masih menungguku.
***
Gerbang itu telah ditutup. Bahkan ada gembok yang menyatukannya. Aku kira tak mungkin kau masih ada di dalam. Aku melihat sekeliling, mungkin kau sedang berjalan menuju persimpangan. Aku sengaja mengambil jalan pintas supaya lebih cepat menemuimu. Hanya ada pohon yang kesepian dan angin yang menusuk hingga ke tulang. Aku langkahkan kaki dengan putus asa. Kresek ini pun mungkin bersedih karena tak bisa memberikan isinya kepada gadis cantik yang memiliki IP baik di semester ini.
“Kau lama sekali. Aku sampai kedinginan menunggumu.”
“Kau muncul dari mana?” Ucapku gelagapan.
“Dari balik pohon yang kesepian.”
“Aku kira kau sudah pulang. Maaf karena hari ini aku terlambat menemuimu.” Kuberikan eskrim yang hampir mencair.
“Aku kira kau tak akan datang. Hujan pasti menghalangimu bertemu denganku.” Tangannya meraih kantung kresek yang lecek itu.
“Ya.. Hujan menghalangiku dan menahanmu tetap di sini.”
“Ini adalah pertemuan kita yang sangat mengesankan. Aku berikan rindu yang telah menggunung yang aku simpan sejak awal semester ini.” Kedua tangannya seolah menahan beban.

Selasa, 16 Februari 2016

Alif dan Dunianya



Ini akan terdengar sangat klasik. Kisah anak muda yang saling mencintai dengan jarak diantaranya. Aku sangat ingat, kami tak pernah ada hubungan apa pun hingga email yang tak pernah aku kirim itu sampai kepada Alif. Aku sangat ingat pula ketika Ahmad Yani yang mulai mendung itu mempertemukan mata kami untuk pertama kalinya. Alif adalah pria mungil yang memiliki kecintaan besar dalam dunia menulis. Hingga aku pun mulai menintai dunia itu. Alif memperkenalkan kecintaannya itu perlahan, mulai dari sebuah catatan yang rutin ia buat, sampai sebuah bukti nyata tulisannya yang di muat di sebuah media. Beriringan dengan itu pula kemudian kami membangun pertemanan yang menjadi sebuah hubungan yang kebanyakan orang menyebutnya klasik.
“Membaca dulu, baru kemudian menulis.” Begitu kata Alif saat aku ingin menulis sebuah cerpen. Bahkan Alif bisa membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Pada suatu pertemuan, Alif memberikan aku sebuah buku karya Ahmad Fuadi. Sejak itu keinginanku menjadi seperti Alif semakin menjadi-jadi. Alif pun tak kalah antusias denganku, dia kadang menantangku untuk menulis dan menerbitkannya di media namun, jelas saja Alif selalu melakukan yang terbaik ketimbang denganku. Masalahku adalah dengan inspirasi yang pada akhirnya merujuk pada sebuah romantisme pemuda masa kini. “Inspirasi itu dibuat, bukan ditunggu.” Kataya kemudian yang mencoba menyemangatiku.
Ini mungkin karena alif mencintai sastra. Aroma tulisan yang ia muat selalu membuatku terpukau akan betapa indahnya kalimat yang terlukis di layar netbookku. Belum lagi cerita Caliandra yang seolah menceritakan dirinya sendiri. Seolah aku Caliandra, dan  Alif sebagai tokoh utamanya. Caliandra yang menjadi curahan hati Alif, namun sayangnya Caliandra hanyalah sebatang tanaman yang kesepian. Ya, aku kesepian dengan dunia Alif yang begitu ramai.
Alif dan aku adalah sosok yang berbeda. Kami mencintai dunia yang sama namun dengan cara yang berbeda. Setiap tulisan yang aku pamerkan pada dunia adalah tulisanku tentangnya. Berbeda dengannya yang tak pernah sedikit pun menuliskan hal tentangku. Alif yang pendiam dan aku yang begitu gila. Mungkin karena aku adalah seorang wanita, emosiku begitu besar akan perasaan yang Alif anggap biasa saja.

Senin, 15 Februari 2016

Takdir yang Tidak Diharapkan

“Bintang itu terlihat sendirian, sama sepertiku. Di sudut kamar dengan harap-harap cemas menanti keputusan sang pembawa takdir.”
***
Sejak kakakku Ike lulus dari SMAN 8 Bekasi, ia memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik di Katapang.  Sebenarnya kak Ike ingin melanjutkan kuliah, namun karena orangtuaku bekerja sebagai buruh, kak Ike memilih bekerja dan menghasilkan uang sendiri untuk membiayai kuliahnya. Menurutku, kak Ike adalah orang yang ulet dan memiliki etos kerja yang tinggi. Ia bekerja 8 sampai 11 jam dalam sehari.
Suatu hari, kak Ike meminta izin kepada ibu dan ayah untuk tinggal disebuah kost-an dekat tempanya bekerja. “Capek juga kalau harus bolak-balik setiap hari, sayang juga uangnya buat ongkos,” katanya sambil menghidangkan sarapan pagi. Ayah dan ibuku hanya saling berpandangan dan menyuap nasi seperti tak merasakan rasa sambal yang menurutku sangat pedas. Setelah kakakku menghabiskan sarapannya, ia langsung pergi bekerja dan melangkahkan kaki lebar-lebar melewati halaman rumah.
Aku tahu, kakakku adalah orang yang sangat prihatin. Bahkan aku tahu, saat kakakku duduk di bangku SMP, ia sering pergi ke kebun untuk memakan nanas muda. Ibu tidak memasak karena ayahku dulu bekerja keliling kota dan tak tentu kapan ia pulang. Belum lagi ketika ia menghabiskan waktu 3 tahunnya dirumah saudaraku, sekolah dan bekerja untuk membiayai sekolahnya. Keadaan yang keras, mendidik kakakku menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Selain itu, kak Ike adalah kebanggaanku, aku ingat nilai Ujian Nasional SMAnya yang memiliki nilai rata-rata diatas 8.
***
Siang harinya, aku mendengar ibu sedang mengobrol dengan ayah, membicarakan perkara keinginan kak Ike untuk tinggal di kost dekat tempat kerjanya. Aku yang baru pulang sekolah, iseng ikut mendengarkan perbincangannya dari balik pintu.
“Bukan apa-apa, takut Ike kenapa-kenapa. Ibu kan tahu sendiri pergaulan anak zaman sekarang itu seperti apa,” kata ayah sambil memindahkan channel televisi. Sementara itu, ibu terlihat mondar-mandir dihadapannya sembari memegangi secangkir teh yang aku rasa sudah dingin. Aku yang sudah sekitar 10 menit duduk di depan teras, kemudian berlalu ke rumah Ita untuk membayar arisan. Langkah demi langkah aku perhatikan pergantiannya, sembari mengingat kekhawatiran ayah soal kak Ike. Aku lebih setuju pada ayah. Akhir-akhir ini aku melihat kak Ike sering menatapi layar ponselnya, aku kira kak Ike memiliki kekasih. Padahal aku tahu, sejak SMP sampai SMA, kak Ike tidak pernah terlibat soal percintaan. Berbeda sejak kak Ike tinggal disini, ia sering bergaul dengan kelompok pemuda yang menurutku kurang baik. Walaupun aku tahu, kak Ike bisa menjaga diri, tapi tak menutup kemungkinan sesuatu yang buruk dapat mempengaruhinya.
            Sepulang dari rumah Ita, aku melihat ayah sedang menyiram bunga, dan kak Ike sedang bermain dengan ponselnya. Aku yang baru datang, langsung menyalami ayah dan juga kak Ike lalu masuk ke rumah. Saat itu, aku melihat ibu sedang memasak, tapi aku heran mengapa kak Ike tidak membantu ibu dan malah asik dengan ponselnya. Terkadang aku melihat ia senyum-senyum sendiri dan menelpon tengah malam yang mungkin itu pacarnya. Aku ingin menegur kak Ike, tapi aku sungkan karena kak Ike dan aku berbeda ayah. Bahkan kak Ike pernah bilang: “Kamu tuh enak punya ayah, segala kalau mau pasti dituruti. Beda dengan kakak. Kakak harus melakukan semua sendiri, bahkan saat SMP kakak sering disuruh mencari rumput untuk kambing-kambing. Jika kakak tidak menurut, kakak akan dimarahi dan itu rasanya sangat tidak enak.” Aku saat itu hanya tertunduk dan merasa iba pada kak Ike. Mungkin kak Ike benar, hidup aku lebih beruntung darinya. Tapi, aku tak sampai pikir kak Ike beranggapan bahwa ayah pilih kasih. Bagiku, ayah itu ayah yang adil.
            Ketika embun masih membasahi dedaunan, aku melihat kak Ike sudah siap dengan beberapa tas yang terisi penuh. Apakah kak Ike diizinkan untuk pergi? Kemudian ibu menyusul dari belakang dan membawakan sarapan yang dibungkus daun pisang.
“Satu pesanku, jaga diri baik-baik dan jangan lupa beribadah,” kata ayah yang saat itu sedang duduk membaca koran.
“Jika ada apa-apa, bilang pada ibu. Sering jugalah main kemari jika ada waktu luang,” ibu berpesan sambil memeluk kak Ike.
“Iya ayah, ibu. Ike pasti akan jaga diri baik-baik dan selalu ingat pesan ayah dan ibu.,” jawab kak Ike sambil menyalami ibu dan ayah.
“Kamu juga jadi anak yang pinter ya, jangan malas-malasan” pesan kak Ike padaku kemudian.
Pagi yang haru, membuatku kembali teringkat akan kepergian kak Ike saat ia harus bekerja untuk melanjutkan sekolahnya. Aku mengantar kak Ike sampai angkutan kota, dan memandanginya hingga hilang di ujung jalan. “Aku pasti akan merindukanmu kak,” Bisikku dalam hati.
***
Siang itu, aku baru selesai mengerjakan tugas kelompok. Ayah saat itu sudah pulang dari berkeliling kota dan membawakan aku belimbing yang besar-besar sesuai permintaanku. Aku ingat pula, hari ini sudah 3 bulan kak Ike tidak berkabar pada keluarga. Niatku ingin berkunjung ke tempatnya, tapi ayah tak mengizinkan. Aku rindu pada kak Ike, walau kadang kak Ike suka menyubitku dan menyisakan warna merah padanya. Kak Ike tetaplah kakakku. Hingga malam menjelang, handphone milik ayah berdering tak biasanya. Aku saat itu asik saja memakan belimbing. Hingga rona wajah ayahku berubah sangat marah dan kesal. “Telpon dari pak RT, katanya kita di suruh ke tempatnya kak Ike.” Ibu yang mendengar hal itu langsung mendekat dan bertanya atas hal apa yang terjadi. Singkatnya, kak Ike akan dinikahkan dengan seorang pemuda karena ketahuan berduaan di kamar kostnya. Aku sungguh sedih bukan main mendengar hal itu. Kakak kebanggaanku kini telah mencoreng nama baik orangtuanya. Malam yang terasa panas itu hanya menyisakan aku sendiri, di sebuah kamar sepi tanpa pencahayaan. Ibu dan Ayah memutuskan untuk datang ke tempat kak Ike.
Malam yang mendebarkan itu akhirnya berlalu. Seharusnya kak Ike bisa bebas jika ia memang tak melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Namun setelah dirundingkan sampai ke pihak kepolisian, kak Ike diharuskan menikah dengan pria itu, Andri. Bukan lagi ibu atau ayah, tapi aku. Aku merasakan betapa sesaknya dada ini mendengar keputusan itu.

Hari di mana kak Ike menikah akhirnya tiba. Aku tak menghadiri acaranya dengan alasan aku sibuk di sekolah. Entah mengapa aku menjadi benci pada kak Ike. Bahkan aku tak ingin melihatnya lagi. Kebencianku sungguh kelam dan aku tak bisa membuat kopi hitam menjadi sebening embun pagi.
 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design