Senin, 14 Maret 2016

A Wish at Sapporo Clock Tower 2


Semi hampir berlalu. Udara dingin berhembus dari celah-celah jendela. Dering alarm mengantarkan Ratih pada tumpukan tugas yang masih tertata rapih di meja belajarnya. Tangannya yang kuning langsat itu dengan sigap mematikan alaramnya. Dengan semangat, Ratih bersiap menyelesaikan seluruh tugasnya untuk menyambut musim panas yang akan segera datang.
Mentari perlahan menyinari kamarnya yang bernuansa serba putih. Selepas sarapan dan menghabiskan minumnya, Ratih duduk sigap menatap layar laptopnya. Di tengah keseriusan Ratih, sebuah pesan dari Helen datang menggoyah konsentrasinya. “Aku di depan apatermen kamu nih. Jadi kumpul kan?”
Ratih langsung menuruni tangga dan membukakan pintu.
“Hei. Aduh, sori banget ya. Aku lagi ngerjain rieset aku nih. Kayaknya gak bisa jalan deh.”
“Hmm... Sayang banget. Arsya juga udah nungguin loh padahal.”
“...”
“Aku bantuin deh. Gimana? Tapi Arsya ajak ke sini juga. Dia nunggu di mobil soalnya.”
“Aduh. Gak usah deh. Hehehe.”
“Gapapa kali. Ya udah. Bentar ya, aku ke Arsya dulu.”
“Oke deh. Nanti masuk aja ya.”
“Oke.”
Ruangan itu hangat dipenuhi tawa mereka yang khas. Setelah beberapa lama mengerjakan tugas, Helen pergi ke super market untuk membeli makanan. Arsya dan Ratih tampak serius menatapi lembar demi lembar di atas pangkuannya.
“Nanti Setsubun no Hi (puncak musim semi), kamu ada acara?”
“Nggak, Sya. Kenapa?”
“Pengen ke Kyoto nih. Lihat Hanami.”
“Jauh banget, Sya. Sama siapa aja?”
“Ya, kamu sama aku aja. Helen mau pergi sama Anton.”
“Oh gitu.”
Percakapan menuju sore itu cukup membuat keadaan sedikit terguncang. Ketika Ratih harus merelakan perasaannya demi sahabatnya. Ratih pun tersenyum tipis lalu mencoba mengerjakan kembali tugasnya.
***
Anak padi sudah berbaris rapih. Pohon hijau berderet sepanjang jalan. Semi (serangga di musim panas) saling bersautan menemani langkah yang menikmati keindahan—pun kesendirian. Musim panas ini membawa Ratih pada sebuah keindahan alam di sekitar Kyoto—sendirian. Tanpa Arsya, apalagi Anton, sosok yang diam-diam mencuri hatinya.
Geshi (puncak musim panas) akan segera tiba. Ratih berjalan menyusuri pertokoan, berharap menemukan satu yukata yang akan digunakan saat pesta kembang api. Pandangannya menjamah ke semua sudut unik berbunga di etalase. Kadang tatapnya seoalah pengumpulan semua kegelisahan. Ya... Dia gagal bertemu dengannya di festival yang sangat dinantinya. Diantara perhatiannya yang bercabang itu, Ratih menghempaskan keras-keras pengharapannya pada sebuah pilihan—yukata merah jambu. “Kirei desu.” Cantik.
“Kamu kok gak ada kabar? Kita jadi kan ke festival kembang api?” Tanya Arsya di ujung telepon.
“Maaf, Sya. Aku nggak bisa deh kayaknya. Aku lagi pengen sendiri.”
“...”
Langkahnya perlahan menelusuri jalanan yang sangat ramai. Pasangan muda-mudi saling berdampingan. Hingga sebuah genggaman yang ia kenali, merampas tangan yang kesepian begitu saja.
“Hai! Kamu ngilang aja. Kayak  jin.” Deretan gigi menyapa Ratih.
“Anton! Ngapain kok di sini? Kamu bukannya pergi sama Helen, ya?”
“Ih. Kamu cemburu ya? Aku kan mau pergi ke sini sama kamu. Ingat? Aku kan mau jadi tour guide kamu.”
“Ta ta tapi...”
“Ayo. Festivalnya hampir di mulai.”
“Jadi, kenapa kamu pergi gak kasih kabar? Kamu pikir gampang, cari anak ilang di lautan yukata?”
“Kok malah kamu yang marah. Aku kan lagi pengen sendiri. Ya... Wajar aja dong kalau aku ke sini.”
“Non... Sendiri itu mojok di sudut kamar. Di pinggir sungai. Bukannya di festival kembang api. Sendirian pula.”
“...”
“Bilang saja. Kamu ingin ke sini sama aku.” Senyumnya mengembang.
Suasana hening.
“Anton. Boleh nggak kita melihat daun Momoji (daun berwarna kuning, tembaga, ke-emasan. Khas musim gugur)?”
“Kenapa tidak?”
“Apa, kamu gak mau pergi sama pacar kamu?”
Kembang api merekah di semesta alam yang gelap.
“Ayo. Kita buat pengharapan.”
“Emangnya bintang jatuh?”
“Bukan sih. Tapi—aku—lagi jatuh cinta.”
“...”
“Lupain Helen. Aku cinta kamu, Ratih. Sudah lama. Sejak pertama mata yang indah itu menatapku. Dingin. Namun penuh kedamaian.”
“Gimana sama Momoji?”
“Kita akan datang. Duduk bersama dan tentunya—kita sepasang kekasih di musim panas.”
“Setuju.”
Alam berbahagia.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design