Jumat, 11 Maret 2016

Kilas-Kilas Kesunyian


Di kehidupan ini tak ada yang abadi. Semua datang dan pergi silih berganti. Perasaan hati manusia bermain bersama waktu dan tak ada yang tahu selain Yang Maha Kuasa. Kehidupanku sangat luarbiasa—awalnya. Dia selalu menemaniku. Bahkan hanya untuk meluapkan kekesalanku, dia masih mendampingiku. Duniaku yang indah. Hingga kilas-kilas itu menghampiriku dan menemani sisa hidupku.
***
Aku sandarkan anak tangga sampai ke atas dapur milik ibu. Kuambil sebuah buku dan memberinya goresan yang orang umum menyebutnya keindahan. Angin semilir menerbangkan rambutku sampai menutupi sebagian wajahku. Di ujung pandang aku melihat Wandi bersama Edo, adiknya. Tawanya riuh memecah konsentrasi yang sebenarnya tak seberapa fokus. Aku menatap kosong kedepan. Pada sebuah kejadian yang menghilangkan dia dari duniaku.
Maulana, adikku. Matanya sayu, wajahnya tampan, kulitnya sawo matang, dan tingginya tepat sebahuku. Nana. Begitu biasa aku memanggilnya. Dia sedikit pemalu pada dunia baru. Aku pernah sekali menemaninya sepanjang hari di kelas 1 SD. Bu Yuli memanggilku lantaran ia tak mau belajar dan terus menangis. Tak jauh berbeda dengan hari yang lain. Matanya pasti akan berkaca-kaca ketika aku hampir melewati pintu keluar kelasnya. “Dia harus berani. Dia adalah laki-laki.”
Iringan langkahnya membawa serta teman-temannya. Ia mulai terbuka dengan dunianya setelah beberapa kali aku memaksanya pergi dan pulang sekolah sendirian. Itu pun setelah vakum 1 tahun untuk memberanikan dirinya.
Seperti halnya adik-kakak pada umumnya. Siapa sih yang tak pernah bertengkar?
Hari itu adalah hari jumat. Seperti biasa aku mengaji di Madrasah Al-Muslimun selepas magrib. Ringan saja. Jemariku mencubit tangan adikku karena menghabiskan semua air di penampungan. Selepas ia menangis, aku pergi mengaji. Aku tak merasa bersalah—awalnya. Namun sepanjang perjalanan, perasaanku tak enak karena mencubitnya cukup keras. “Aku akan meminta maaf selepas mengaji.” Begitu pikirku.
Matanya sudah tertutup. Nana sudah terlelap. Aku melihat ransel milikku sudah menggantung di paku yang dipasang dekat tempat tidurnya. Aku ingat betul, tas itu baru ingin ia pakai esok hari. Niatku untuk meminta maaf pun aku tunda. Sejak itu aku membuatnya menangis, aku belum lagi mendengar suaranya. Aku pun terlelap tanpa diiringi kegelisahan.
***
Aku ingat betul. Itu adalah ruang melati. Semerbak bahan-bahan kimia memaksa indraku untuk menikmatinya. Kututup rapat-rapat penciumanku dengan sepuluh jari mungilku. Tak jarang mataku mencuri pandang ke dalam ruangan putih itu. semua ditutupi tirai hijau. Aku tak percaya kini kakiku tegap mematung menemani hati yang masih tak menyadari suatu kejadian. Belasan menit yang lalu aku mendengar suara tangisan memecah keheningan di pukul 11:30. Hingga aku menemaninya dan membacakan ayat suci. Kukira ia kesurupan. Matanya memandangi langit-langit tak santai. Aku mungkin sudah kehilangannya. Ia tak menjawab sepatah kata pun yang aku lontarkan. Sampai sebuah mobil kijang milik Pak Karna datang dan membawaku mematung di sini.
Detikan  jam di ruang tunggu terasa hambar. Sudah 2 jam berlalu dan aku masih mematung di depan ruangan itu. Orang-orang tak henti-hentinya hilir mudik melintas di hadapanku. Tepatnya karena ruang tunggu itu berada di dekat akses keluar-masuk rumah sakit.
Roda itu berputar sangat cepat—beberapa menit yang lalu. Kini putarannya melambat setelah sekitar 30 menit lalu. Kain berwarna putih menutupi seluruh tubuh orang itu. Tiba-tiba dingin menyergapku. Aku lemparkan pandanganku pada sosok yang tidak terlihat di balik tirai hijau. Ayahku belum kembali. Ibuku masih menemaninya di dalam. Aku cemas-cemas berharap bisa menelusup masuk ke ruanganan yang aku rasa sangat dingin itu.
***
Dokter memasukkan selang ke dalam mulut Nana. Menarik dan lalu memasukkannya lagi. Sesekali aku melihat selang itu dilapisi warna merah. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirku saat itu. Yang pasti, mataku terus mengikuti gerak-gerik tangan Dokter itu.
Tadi sore makan apa, Bu?
Cuma makan tempe aja. Itu pun Cuma satu. Katanya buat besok saja.
Selain itu, apa ada lagi?
Tidak ada, Dok.
Sepertinya anak ibu keracunan.
Lalu, dokter itu kembali memasukkan selang ke dalam mulut Nana.
Aku memandang lurus ke arah ruangan itu. Tak ada tanda-tanda ibuku mengkomando untuk aku masuk ke dalam. Langkahku terasa berat sekali untuk melangkah. Aku begitu ingin masuk ke dalam dan melihat keadaan Nana. Namun, usiaku masih di bawah umur untuk masuk ke ruangan itu. Jujur—ini seperti sebuah pertanda. “Kalau kamu tidak masuk, kamu akan menyesal.”
Ayahku datang dengan satu kresek putih. Isinya kue balok. Aku memakannya karena udara cukup dingin dan membuatku sedikit lapar. Sembari makan, aku menyusun rencana. Setelah adikku sadar, aku akan meminta maaf padanya, pulang ke rumah untuk sekolah dan menjaga adikku di siang harinya. Begitu. Hingga sebuah tangis terdengar nyaring—nyaring sekali. Aku sangat mengenali suara itu—suara ibu.
Nanaa.. Jangan pergi!!
Begitu kedengarannya. Jantungku terpacu hebat mendengar kata-kata itu. Aku sangat berharap bahwa itu hanyalah halusinasiku saja. Hingga tangisan itu semakin menjadi dan ayahku masuk ke ruangan itu. Langkahku tiba-tiba saja ringan sekali. Aku langsung menembus kerumunan orang-orang di sana. Kulihat di dada adikku sudah terpasang selang dan alat perekat. Juga alat pacu jantung dikejutkan beberapa kali pada Nana. Aku tak percaya semua ini.
Nana masih hidup kan?
Alam seketika sunyi senyap. Tak sadar aku sudah berada di rumah kecil itu. Aku melihat setumpukan baju yang kesepian. Semua warna terlihat memudar. Dan tentu saja yang sangat pasti aku rasakan—semua ini seperti mimpi. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design