Antara Jawa Barat dan Jawa Timur
***
Kisah anak
rantau, mungkin sudah biasa didengar oleh banyak orang. Bahkan cinta yang hadir
karena perantauan, bukan juga hal yang terdengar aneh. Namun, diantara ribuan
takdir yang sulit dipercaya, kali ini aku mengalaminya. Antara Bandung, Malang,
Surabaya, dan Bojonegoro. Sejak itulah sebuah inisial selalu aku sebut dalam
tulisanku. Kemudian, aku menuliskan lagi kisah dimana aku akan kembali ke
Malang, tempat perantauanku. Bukan lagi hal yang spesial untukku, menikmati
perjalanan dengan posisi 900 yang tak jarang membuatku sakit badan.
Namun ada yang spesial saat ini. Bukan soal praktikum di semester 5 yang akan
ku hadapi, tapi dengan apa yang akan aku jalani ke depan. Dengan berbagai
kesibukan dan problema yang aku rasa akan semakin sulit. Namun, aku ucapkan
terimakasih untuk “Si Penyemangat”, yang tak bosan mengingatkanku akan
pentingnya sebuah senyuman dalam menghadapi kesulitan, juga dengan
keterpaksaannya mendengarkan ocehanku yang kecepatannya melebihi kecepatan
seorang announcer radio. Aku tak tahu
apa yang kamu pikirkan ketika aku mulai bercerita, mungkin kamu merasa bosan.
Tapi, aku yakin kamu sudah terbiasa dengan hal itu, karena kamu selalu memajang
emot tersenyum atau berkata “Aku suka
kamu yang bawel” setiap kali aku minta maaf atas kekhilafanku yang selalu dan
tak bisa aku hindarkan.
Dunia masih
berputar, ketika kerinduanku ini memuncak. Bahkan puncak yang paling lancip,
masih bisa aku ukur dengan ketelitian 10-10. Lalu kita
jelas sama-sama setuju dengan keadaan kita saat ini. Jarak itu membentang.
Bukan lagi bagai samudera, tapi lebih dari itu. Kau masih memandangi langit
Bojonegoro, dan aku memandangi langit Bandung. Akankah itu langit yang sama
yang kita pandang? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tapi, yang pasti, saat kita
saling meminta kebaikan, anginmu dan anginku selalu bertemu untuk menitipkan
rindu, kemudian kembali ke kota masing-masing. Tapi, apakah ketika dunia itu
berputar, rasa rindu kita akan selalu kita pupuk? Hingga saatnya nanti mata
kita bertemu kembali? Terimakasih telah sabar menyimpan rindumu itu. Juga
dengan rinduku ini, yang tak kalah subur dengan rindu yang kau miliki.
Selanjutnya, Kita mungkin tahu, bahwa jarak, bukanlah satu-satunya hal yang
harus kita khawatirkan. Tapi, dengan apa yang akan kita alami kedepannya.
Dengan detik, dimana mungkin kita sedang saling menyakiti. Detik, dimana sebuah
tangisan sedang pecah. Detik, dimana sebuah pesan begitu sangat dinantikan. Dan
detik, dimana mungkin hubungan ini hampir berakhir, yang tentunya tidak pernah
dan tidak akan kita harapkan. Belum lagi waktu yang akan membuat kita sedikit
saling memikirkan. Karena kita tahu, kita sama-sama sibuk. Kamu dengan
penelitianmu dan aku dengan praktikumku. Dengan itu, aku ingin kita
mempersiapkan semuanya dari sekarang. Mencantumkan bahwa “Kesibukan bukan
berarti 100% aku melupakanmu, tapi ini untuk masa depan kita. Demi memperbaiki
kualitas diri.” Karena aku percaya, kita tidak akan benar-benar saling
melupakan diantara padatnya kesibukan kita. Akan ada 1 detik, dimana suatu
benda, satu nada, suatu isyarat, mengingatkanmu padaku. Begitupun denganku yang
tak bisa keluar dari warna hijaumu.
Lalu, akankan
kita percaya bahwa takdir itu akan kita miliki? Seperti yang kamu bilang, “Kita
sebagai manusia hanya bisa berencana, nanti, Tuhan yang akan menentukan akan
seperti apa”. Aku tahu kebijaksanaanmu itu, yang dapat membuat risau ini
sedikit menepi. Juga tentang sebuah hal yang lebih penting kita pikirkan,
ketimbang memikirkan emosi kita masing-masing. Biarkan saja mereka yang tak
percaya dengan cinta kita, aku tetap mau percaya bahwa kau serius denganku.
Kita sedang menentukan jalan menuju masa depan. Menciptakan berbagai suasana
dengan harapan selalu membuat kita nyaman. Setelah kita berhasil mendekatkan dua
hati yang sedang jatuh cinta, kita tahu bahwa waktu yang akan kita jalani
menuju titik aman yang selanjutnya adalah beberapa tahun. Waktu yang bisa
dibilang singkat, juga bisa dibilang lama. Lalu, kubiarkan semua seperti apa
yang aku tulis, “Aku titipkan harapanku, doaku, usaha dan semangatku dalam
lembar demi lembar takdir yang tertulis setiap harinya”. Berharap anginku dan
anginmu bertemu, lalu menjadikan isyarat akan setiap peristiwa yang akan kita
alami, untuk kemudian kita jadikan petunjuk dalam menjalani hidup.
Beberapa saat
lagi, jarak yang jauh ini akan semakin mendekat. Langit yang kupandang sedang
mendung, kini akan menurunkan hujan dan menghadirkan pelangi. Seperti hujan
yang terjadi ketika awal perpisahan kita, lalu kebahagiaan saat kita berjumpa
kembali, walau aku tahu saat itu kau sedang kedinginan karena jarak tempuh 3
jam yang membuatmu mengigil di dalam kereta. Aku ingin, kau hadirkan lagi
karyamu, aku ingin melihatnya. Melihatmu tersenyum dan bangga pada dirimu atas
apa yang kamu lakukan. Kemudian kita akan bertemu kembali dibawah langit yang
benar-benar sama. Menghirup oksigen yang sama, juga berkedip disaat yang sama.
Detik itu akan menjadi detik yang sangat membahagiakan untuk kita. Juga detik
penghapus rasa jenuh kita. Selanjutnya, kita akan melakukan apa yang kita
inginkan. Memandangi sampai bosan, atau hal yang paling ingin kita lakukan. Kau
yang ingin menggigitku dan aku yang ingin mencakarmu. Detik yang sangat
dinanti.
Angan demi angan
akhirnya akan terealisasi. Akhirnya, kita berada dibawah menara Eiffel. Dan
apakah kau tahu apa yang paling ingin aku dengar? Itulah yang katamu sebuah
rahasia. Hembusan angin yang saling bertemu, mulai menerbangkan rasa lelah
sepanjang perjalanan. Hembusan nafas yang semakin tak beraturan, juga detakan
jantung yang saling berkerajan. Email itu memang tak salah jika ia ingin
membuat kita bertemu. Jika pada akhirnya kita akan saling tersenyum seperti
ini. Dan, teruskan lagi nada-nada indah yang kau lantunkan dalam doamu, semoga
alam semesta mendengarnya.
Akhirnya, aku
harus mengakhiri cerita yang entah apa jenisnya. Aku ingin mengatakannya ini
sebuah cerita cinta. Cerita cinta yang tak mengharapkan jawaban, tapi
dikirimkan satu arah, seperti lagunya Maliq n’ d’essential. Seperti angin yang
berhembus satu arah kehadapanmu, kemudian menyampaikan padamu bahwa aku sedang
memikirkanmu dan aku merindukanmu.