Minggu, 19 Juli 2015

Cerpen: Akhirnya Ketulusan


***
“ Mengapa perasaan ini hadir dan selalu menggangguku setiap saat? Bahkan saat ini pun ketika aku tak bersamanya, rasa dalam hati ini begitu nyata keberadaannya. Aku ingin dia mengerti bahwa mungkin aku cemburu, entah dengan apa.” Aya masih terlihat bimbang dengan apa yang sedang ia rasakan, ia terdiam dan memandangi jemarinya yang menggenggam kehampaan.

***

“Ya, bisa ketemuan nggak sebentar? Abis maghrib deket air mancur ya? Tapi “Bidadari” jangan sampai tau ya?” Aya membaca BBM yang dikirim oleh Indra sahabatnya yang kemudian Aya membalasnya.
Yaudah, tunggu aja ya, tapi disini  hujan jadi harus nunggu sampai reda dulu ya J.” Aya membalas singkat dengan senyuman.
“Iya Ya, tapi kamu lagi sama “Bidadari” nggak sekarang?” Indra bertanya.
“Iya, tapi katanya dia mau pulang tuh. Eh ketemunya sekarang aja ya, aku males pulang dulu nih soalnya” Aya membalas singkat tanpa senyuman.
“Jangan sekarang. Kasihan ‘Bidadari’ pulang sendirian. Apalagi hujan begini. Kamu temenin dia ya, habis itu kamu ke kampus lagi deh J.” Indra meminta.
(Ya ampun, dia tuh nggak ngerti apa kalau jarak dari kost-an ke kampus kan lumayan jauh apalagi ini jalan kaki. Apaaaaa? Cuma buat supaya Gina nggak  pulang sendiri? Egoiiiiiiiiis L)
“Oke deh J.” Jawab Aya singkat.

Aya ingin sekali menolak dan membiarkan Gina yang disebut “Bidadari” itu pulang sendirian. Namun, entah mengapa ia sulit menolak permintaan Indra kepadanya. Lagipula hanya permintaan seorang sahabat, yang selalu ingin melihat sahabat yang juga pujaan hatinya aman dalam situasi apapun. Aya hanya terlihat ikhlas, saat menerima berbagai macam permintaan Indra sahabatnya. Tanpa sadar, sesekali muncul perasaan yang entah apa namanya. Atau mungkinkah itu cemburu? Aya hanya merasa ia tersisihkan.

***

“Jadi, kamu mau cerita apa kali ini tentang Gina?” Aya membuka kata.
“Bukan cerita sih, sebenernya nanya aja. Gini, menurut kamu Gina kenapa ya kok akhir-akhir ini dia kayak berubah gitu sama aku?” Indra mulai membuka kata.
“Mungkin karena kamu terlalu ingin tahu tentang dia, sementara dia kan orangnya bukan tipe yang suka curhat gitu.” Jawab Aya menjelaskan.
“Aku takut dia bakalan ninggalin aku nih.” Indra berkata dengan nada cemas.
“Kalau jodoh nggak kemana kok Indra, tenang saja” Aya meyakinkan.

Indra hanya terlihat mencoba kuat dengan perasaannya saat itu. Sudah sejak semester 1 Indra mengagumi sang “Bidadari”, namun sampai saat ini pada semester 4 pun ia belum juga mendapatkan hati sang “Bidadari”. Sementara Aya hanya merasa menjadi “nyamuk” setiap saat mereka berjalan bersama. Namun yang berbeda kini adalah, terlihat seringnya Gina berjalan beriringan dengan Indra ketimbang dengan Aya. Aya hanya berjalan sendiri di depan, sedangkan Gina dan Indra berjalan beriringan dibelakangnya.

***

Malam larut, membawakan rasa bimbang semakin hanyut dalam kehampaan. Dibawah lampu belajar, Aya mulai menuliskan cerita hariannya pada sebuah buku diary. Malam yang larut itu, diiringi dengan hembusan angin yang perlahan menggerakkan tirai di kamarnya. Detik jam terdengar jelas pada malam yang sunyi, mengiringi lantunan suara hati yang Aya tuliskan pada diarynya.

Dear diary,
Apa yang terjadi dengan hari-hariku? Bukankah aku selalu mendukung mereka bersama? Namun apa yang sedang menggangguku belakangan ini? Aku merasa aku kehilangan  Gina. Aku merasa ia lebih nyaman ketika ia bersama Indra. Aku hanya bisa berdiam diri ketika mereka berdua bercanda, sementara aku hanya terdiam karena tidak ada hubungannya dengan mereka. Aku hanya sendiri, aku merasa sendiri dan merasa hanya menjadi pengawal mereka saja. Aku merasa terabaikan dan hilang arah. Jauhkan ini semua dari hatiku. Mana mungkin bisa aku memiliki perasaan ini? Sementara disisi lain mereka berdua adalah sahabatku. Aku tak boleh cemburu dengan sahabatku sendiri.

***

Keesokan harinya, Aya dan Gina belajar di kelas yang berbeda. Namun Indra belajar di kelas yang sama dengan Gina. Kelas pada hari itu berakhir pukul 16.20 dan Aya lebih dulu keluar kelas pada hari itu. Aya mulai mengirim pesan singkat pada Gina dan mengatakan bahwa ia menantinya di Gedung Widya Loka untuk mencari tugas bersama. Suasana cukup ramai ketika pertama Aya sampai di tempat yang biasanya di pakai untuk mengakses internet secara gratis. Selain itu, udara sangat dingin dan hembusan angin ringan mulai menggoyangkan beberapa dedaunan di sekitar gedung tersebut. Beberapa menit setelah itu Gina datang. Namun yang membuat Aya merasa bad mood saat itu adalah ketika melihat Gina datang bersama dengan Indra. Aya merasa ingin pergi saat itu. Setelah beberapa saat mereka bertemu dan duduk-duduk bersama, Aya mulai merasa tambah terasingkan. Melihat Indra hanya memperhatikan Gina dan hanya berbicara kepada Gina. Sementara Aya terlihat hanya sebagai orang lain saja di bangku tersebut. Hingga suara Adzan maghrib terdengar dan mereka pergi menuju Masjid di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

***

Hanya terlihat seorang Aya. Aya yang malam itu berjalan di bawah lampu remang dengan headset yang sejak dari kost ia tempel di telinganya. Aya sedang menikmati suasana malam yang saat itu begitu banyak bintang. Ia melihat bintang begitu bersinar malam itu. Walaupun malam itu begitu dingin, karena lagi-lagi  angin berhembus cukup kencang sehingga membuat kerudung Aya sedikit berantakan. Aya sesekali memetik dedaunan di pinggir jalan dan melemparkannya kebelakang. Itu adalah salah satu hal yang selalu Aya lakukan ketika sedang berjalan, baik siang maupun malam. Hingga suatu ketika ia melemparkan daun kebelakang, seketika itu pula tepukan pada  bahunya terasa nyata. “Sial, aku tak ingin bertemu dengannya disini,” dalam hati Aya berbicara sekenanya. Di tempat yang sedang Aya lewati ini merupakan salah satu tempat yang cukup angker di sekitaran Universitas Brawijaya. Tempat itu terdapat di depan rektorat, tepatnya sekitar lapangan rektorat. Hingga kini, genggaman tangan di bahunya masih belum juga terlepas. Aya mulai gelisah,”Apakah ini benar-benar hantu yang sering orang bicarakan?” Dengan jantung yang berdegup kencang akibat ketakutannya, Aya memberanikan diri sedikit menoleh ke belakang. Aya melirik kecil, hingga ia berbalik badan untuk memastikan apakah ia manusia ataukah hantu. Ketika ia membuka mata lebih lebar, ternyata ia adalah teman Aya sekaligus mantan kekasihnya semasa SMA dulu, Furkan. Dengan tarikan nafas dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras, Aya setengah berteriak berkata “Kurang ajar kamu! Datang bukannya ucap salam, malah ini main tepuk orang sembarangan.” Disana Furkan hanya menyeringai dan kemudian Furkan mengantarkan Aya pulang karena malam semakin larut.
Ditengah perjalanan, Furkan membuka kata.
“Ay, kamu lagi galau ya? Aku lihat tulisan kamu di facebook sangat menyayat hati begitu. Ada masalah apa?”
“Jangan panggil Ay, nanti disangka pacaran tau.” Aya menegaskan.
“Iya aku lagi galau sama hati aku,” Aya menjawab sedikit lembut.
“Oh iya, hehe soalnya inget jaman dulu waktu kita masih pacaran Ay. Hmm Kamu kenapa? Nggak  biasanya Aya galau.” Furkan mulai penasaran.
“Ini soal Indra, sahabat aku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku merasa jadi “nyamuk” diantara Indra dan Gina.” Aya menjelaskan.
“Kamu suka sama Indra, gitu?” Furkan bertanya sekenanya.
“Aku nggak merasa gitu Fur, aku cuma ngerasa aneh. Aku nggak tau, apa yang aku rasakan ini.” Aya menjawab dengan sedikit drama.
Berbagai curahan isi hati Aya kepada Furkan, memenuhi waktu perjalanan mereka pulang. Begitu panjang cerita yang Aya ceritakan, hingga Aya sampai di depan kost-nya dan mereka akhirnya berpisah.
“Aya langsung cuci kaki dan cuci muka ya, terus tidur ya supaya besok nggak  kesiangan.” Furkan sok perhatian.
“Haha, iya bawel. Makasih ya, Aya di antar sampai kost-an.” Aya menjawab sambil tersenyum manis.
Kemudian malam itu berakhir dengan saling memberi salam perpisahan. Ketika Aya masuk kamar, terdengar beberapa lagu klasik diperdengarkan di radio. Ternyata Aya lupa mematikan radionya ketika Aya pergi tadi. Aya mulai memposisikan diri untuk beristirahat dan mulai terdiam menatapi langit-langit kamarnya. Dalam benaknya, serasa tak begitu berat lagi dengan apa yang ada dihatinya. Mungkin karena Aya menceritakan masalahnya kepada Furkan tadi. Berbicara tentang Furkan, Aya terdiam ketika mengingat Furkan yang dulu ia tinggalkan. Bukan hal yang biasa bagi Aya, dapat bertatap langsung dengan Furkan. Selain Aya tak ingin mengingat masa lalunya, Aya juga tak ingin mengingat lagi luka yang pernah Aya berikan. Aya hanya menyesal dengan apa yang pernah Ia lakukan.

***

Ketika pagi hari Aya membuka jendela kamarnya dan mulai menghirup udara segar, pandangan Aya tertuju pada selembar kertas yang menyangkut di selipan jendelanya. Selembar kertas berwana biru muda yang melipat dan terikat dengan pita berwarna orange. Dengan sedikit penasaran, Aya membuka kertas yang saat itu berada di tangannya.

Intan nuraya.
Mungkin bagimu ini tidaklah penting Ay. Aku mengikutimu sejak malam hari kamu melangkahkan kaki keluar kost-an. Bukan pula hal yang aku rencanakan untuk melintasi kost-an mu pada malam itu. Aku bahkan tak mengetahuinya, jika kau tinggal disana, di tempat yang mungkin kau tak ketahui bahwa itu adalah rumah tanteku. Aku sedang khawatir padamu sudah beberapa hari ini. Aku melihat kau sedang bersedih dari kejauhan. Aku hanya bisa menatapmu secara diam-diam, dibalik pepohonan atau di balik tembok yang menghalangi tempat shalat antara pria dan wanita. Aku memang tak bisa melupakan kejadian itu. Hari yang seharusnya menyenangkan bagiku karena aku berjumpa denganmu dan aku berharap memiliki saat-saat yang indah bersamamu. Namun saat itu kau meninggalkanku dengan alasan bahwa kau ingin fokus belajar. Padahal seperti yang kau tau, aku mencintaimu tak perduli sesibuk apapun kamu, hingga kau melupakanku diantara padatnya masa laporan di perkulaiahnmu. Namun, mungkin itu adalah takdir, hingga akhirnya aku kini dapat melihatmu dengan dekat dan bahkan sangat dekat. Ingin aku genggam selalu tanganmu yang selalu terasa hangat itu. Tetapi, apalah aku bagimu Ay? Aku hanyalah sepotong masa lalu yang mungkin  tak berarti apapun bagimu saat ini. Aku senang mendengar ceritamu tentang sahabatmu, Indra. Aku berharap kau akan menemukan suatu hal yang indah di balik perasaanmu pada Indra. Mungkin ketulusan hatimu akan meluluhkan hati Indra, sehingga ia dapat menyayangimu. Bagiku, kau adalah kenangan yang indah dan hingga kini aku tak dapat melupakanmu, bahkan dengan senyuman terakhir yang kau berikan tadi malam. Aku tak bisa berharap kau akan mencintaiku lagi, namun aku akan tetap mencintaimu.

Muhammad Furkan.
            Ketika Aya membaca surat itu, Aya semakin merasa bersalah dengan keadaan antara ia dan Furkan. Aya mulai mencari kontak Furkan di buku telponnya dan mulai menghubunginya. Ketika Furkan mengangkat telpon, Aya kemudian mengajak Furkan untuk bertemu dengannya di depan perpustakaan. Setelah Aya selesai menelpon Furkan, Indra mengirim pesan dan mengajak Aya untuk bertemu juga dengannya. Namun karena Aya sudah terlebih dulu membuat janji dengan Furkan, maka Aya menolak ajakan Indra dan menyuruh Indra pergi bersama Gina saja. Ini adalah penolakan Aya yang pertama akan permintaan Indra. Aya merasa seperti orang bodoh ketika ia harus merasa menjadi “nyamuk” dalam persahabatannya. Juga ketika ia melulu harus menuruti apa yang Indra pinta. Disisi lain, Aya merasa Furkan begitu perhatian dan tulus padanya. Seperti halnya ketika perjalanan pulang pada malam itu, ketika hujan rintik turun dan Furkan memberikan jaketnya kepada Aya. Kemudian ditengah-tengah pemikirannya, Aya teringat bahwa waktu Aya bertemu dengan Furkan sudah tinggal 20 menit lagi dan kemudian Aya langsung mandi dan berangkat ke kampus.

***

“Maaf telat ya Fur, hehe. Kamu pasti sudah lama ya?” Basa-basi Aya membuka kata.
“Haha, sudah biasa kalau Aya membuat aku menunggu. Seperti hatiku yang saat ini masih menunggu Aya.” Furkan menjawab sambil tertawa.
“Furkan kok to the point  gitu ya ngomongnya? Hehe.” Aya sedikit canggung saat menanggapi pernyataan Furkan.
“Jadi, kamu udah baca surat dari aku nih Ay?” Furkan mulai bertanya agak serius.
“Hmm, iya begitulah. Buat aku, itu bukan seperti surat, tapi proklamasi. Panjang banget tau. Tapi menyentuh sih.” Aya menjawab dengan sedikit senyum.
“Ay, jadi aku nggak bisa ya balikan sama kamu?” Furkan bertanya lebih serius.
“Maaf Fur, aku nggak bisa. Aku nggak  bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai nanti aku nyakitin kamu lagi.” Aya menjawab dengan nada sendu.
“Kalau begitu, biarkan aku menyimpan perasaan ini, hingga nanti kamu mau bersamaku. Karena pada akhirnya kau akan tau betapa besar aku menyayangimu Ay.” Furkan meyakinkan.
Aya tak menghiraukan pernyataan Furkan, kemudian ia pergi memberikan salam terakhir. “Aku menyayangimu Furkan, namun kau tak perlu tau akan hal itu. Biarkan juga aku menjaga perasaanku hingga waktu itu tiba.” Katanya dalam hati.

***


Pada akhirnya, ketulusan akan dapat sampai ke hati. Tak perduli bagaimana sulitnya ketika kecemburuan datang, ia akan tetap teguh di kedalaman hati. Sedangkan hati mereka yang saling menunggu, di pertemukan pada tempat yang indah karena takdir tak pernah salah sasaran.

Sebuah Kesalahan dan Penyesalan


            Aku berdiri diantara nyanyian orang bahagia ketika mereka sedang jatuh cinta. Ketika itu, keadaan berbalik denganku. Aku sedang merasakan patah hati yang amatlah dalam. Cintaku, membawaku kepada sebuah perpisahan yang sungguh sangat membuatku menyesal. Kini, hanya sebuah penyesalan yang hingga kini masih sangat terasa, penyesalanku untuk memintanya pergi dan tak memperdulikanku. Aku tak mengerti mengapa aku begitu tega menyakitinya. Penyesalanku, masih terasa hingga detik ini, bahkan semakin terasa ketika aku melihat seorang gadis di gambar tampilan BBM miliknya.
            Hari itu adalah hari terakhir aku menemuinya, setelah beberapa hari yang lalu aku dan dia bertengkar karena sebuah permasalahan yang cukup rumit mengenai masa depan. Esok aku sudah harus kembali ke Malang karena 3 hari lagi KRS akan segera dilaksanakan. Pagi-pagi sekali aku sudah terbangun dan mulai membereskan rumah dan juga barang-barang yang akan ku bawa besok. Sebenarnya, aku sangat takut untuk menemuinya. Aku tahu sesuatu tentangnya, Ia akan memarahiku atas apa yang telah aku katakan beberapa hari lalu, yang membuat kami bertengkar. Namun, aku meyakini semua akan baik-baik saja. Sedangkan hati ini selalu gelisah, bahkan hingga beberapa langkah aku akan sampai ke tempat kami akan bertemu. Ketika itu, aku tak melihat seorangpun yang nampak seperti dirinya disana. Aku hanya melihat beberapa pegawai kabupaten yang sedang berkeliaran entah sedang apa. Ketika itu, aku duduk di depan sebuah pemandangan sekumpulan kijang yang sedang menikmati sarapan paginya. Aku menghitung waktu dan hatiku tetap masih gugup. Kemudian aku melihat seseorang dengan jaket berwarna biru dari kejauhan sedang berjalan sendirian, aku memperhatikannya. Ketika Ia semakin dekat, aku semakin kacau dan sedikit semakin cepat detakkan jantung aku rasakan. Aku sedikit berkeringat disana karena pagi sudah menjelang siang dan kegugupanku masih merajai diriku. Setelah tinggal beberapa meter saja kami akan bertemu, aku mencoba mengalihkan pikiranku dan membuat diriku nyaman akan situasinya.
“Udah lama nunggunya?” Ahmad membuka kata.
“Sekitar 10 menit aku udah disini.” Aku menjawab singkat.
“Jadi, apa yang mau kamu omongin?” Ahmad mulai bertanya.
Aku mulai membicarakan permasalahannya dan menjelaskannya sesuai apa yang ingin aku katakan. Aku tidak takut padanya, bahkan aku ikhlas jika Ia ingin memarahiku dan jika Ia mau, Ia bisa saja mencubitku seperti biasa. Ia mulai berbicara sangat panjang dan lebar tentang perasannya juga tentang apa yang Ia rasakan hingga membuatnya tak bisa tertidur malam tadi. Hingga waktu membuatku ingin pergi karena tak tahan mendengar ucapannya yang cukup pedih. Namun, aku hanya bisa diam dan menunggu waktu untukku menjelaskan lagi kepadanya apa maksudku. Sampai pada akhirnya kami kembali baikkan dan kembali kerumah masing-masing karena hari semakin terik. Kami melewati jalan yang tak biasa kami lalui ketika kami bersama. Saat kami jalan bersama, tak banyak hal yang bisa kami bicarakan. Mungkin karena pikiran terlalu sulit membuat hal baru yang dapat mengubah suasana beku itu menjadi cair kembali. Akhirnya, kami berpisah di antara ramainya jalan raya siang itu. Ketika aku di dalam angkutan umum, aku memperhatikannya dari jauh, hingga aku tak lagi melihatnya.
            Hari terakhirku di Bandung akhirnya tiba. Setelah beberapa waktu lalu aku merasa seperti pengangguran tanpa acara. Tasku  begitu penuh dengan baju dan beberapa perlengkapan pribadi. Aku sudah berdandan sejak setelah dzuhur dan butuh beberapa menit di depan kaca untuk meyakinkan bahwa aku telah rapi dan siap berangkat.
“Mah, aku berangkat dulu ya. Mamah di rumah hati-hati dan jangan sampai kelelahan.” Aku mengucap kata perpisahan.
“Iya, kamu disana jaga diri baik-baik ya. Jangan lupa makan dan jangan banyak tingkah.” Mamah berpesan padaku.
“Iya Mah, terimakasih ya Mah. Tunggu sampai nanti aku pulang ya. Aku sayang Mamah.” Aku mengatakan kata perpisahan lagi.
Aku mulai berangkat dan di antar oleh Ayahku. Saat itu Ayahku sedang kurang sehat, namun Ayahku rela mengantarku pulang karena khawatir terjadi sesuatu padaku. Ketika itu, ayahku mengantarku hingga suatu tempat bernama Warung Lobak.
“Teh, Papah Cuma bisa antar sampai sini nggak apa-apa ya? Ingat juga pesan Papah dan Mamah ya. Baik-baik disana.” Ayahku berkata.
“Iya Pah, terimakasih ya sudah mengangtar. Semua pesan papah akan selalu saya ingat.” Aku menjawab.
Aku kemudian menaiki angkutan umum yang sudah menungguku sejak perpisahan dengan Ayahku. Aku begitu sayang padanya, Ia rela mengantarku bahkan ketika Ia sedang sakit seperti ini.. Mataku mulai berkaca-kaca ketika melihat Ayahku beranjak dari tempat terakhir mengantarku dan Ia mulai tak terlihat dan akhirnya hilang dari pandaganku.
            Sepanjang perjalanan itu, aku mendengarkan musik yang beberapa kali aku ganti karena kurang sesuai dengan perasaanku. Hingga musik terhenti ketika di layarnya mengisyaratkan ada pesan baru. Ketika aku lihat lebih jelas, pesan itu berasal dari Ahmad, kekasihku. Aku membacanya dan kami mulai saling membalas pesan. Hingga aku sampai di kereta dan masih saja tersenyum dengan caranya yang tak jarang aneh cenderung lucu. Aku mulai tenang dan merasa bahagia saat itu dan menikmati perjalanannya.
            Esoknya, aku sudah tiba di Malang. Aku merasa ini sebuah mimpi. Rasanya baru kemarin aku melihat keadaan dan menghirup udara Bandung, kini aku sudah harus memulai lagi kegiatanku sebagai mahasiswa semester 3. Aku merasakan lagi suasana Malang yang sejuk dan beberapa supir taksi menghampiriku berharap aku akan memakai jasa nya. Sejak awal aku menginjakkan kaki di kota itu, belum pernah aku menaiki taksi, karena harganya yang mahal dan akan cukup menguras uangku yang seharusnya aku gunakan untuk bertahan hidup.
            Setelah satu pekan aku selesai mengisi KRS, aku kembali mengisi hariku dengan berbagai kesibukan. Seperti yang di umumkan dan bukan rahasia lagi bagi mahasiswa semester 3 di BP, bahwa semester ini kita akan berperang habis-habisan dengan yang namanya laporan. Cukup padat kegiatan itu membuat hari-hariku sedikit berwarna kelabu. Semua yang terjadi pada mahasiswa BP saat itu, cukup membuat mereka berubah menjadi emosional dan begitupun denganku. Aku tak ingin mengeluh dengan tugasku yang bertumpuk, aku hanya menjalaninya dengan wajar. Walaupun pada akhirnya aku Inhole pada praktikum FHA.
            Aku tak menyalahkan semua karena kesibukanku dan juga beberapa hal yang menekanku saat itu. Aku mulai berubah menjadi seperti orang lain dan mungkin beberapa orang akan tidak menyukaiku karena sifat baruku saat itu. Aku seperti  bukan diriku. Aku mulai memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan Ahmad tanpa berpikir panjang. Aku mulai memberinya pesan lewat Facebook dan mulai mengatakan beberapa kata yang mungkin menyakitinya.
“Ahmad, jangan pernah like atau apapun yang berhubungan dengan aku.” Aku membuka kata.
“Kenapa memagnya? Kamu kenapa kok jadi gini?” Ahmad bertanya.
“Aku mau kita udahan aja hubungannya, dan kamu jagan pernah hubungin aku lagi.” Aku meminta.
“Iya aku mau tahu alasan kamu apa? Kenapa tiba-tiba kamu minta putus? Apa karena ada seseorang?” Ahmad bertanya lagi.
Aku mulai menjelaskan mengapa aku ingin putus dengannya. Aku benar-benar tak memikirkan tentangnya apalagi dengan perasaannya. Aku hanya mengingat saat-saat ketika Ia memarahiku dan berkata cukup keras kepadaku. Hingga akhirnya Ia mengiyakan permintaanku dengan 1 syarat.
“Yasudah kalau begitu mau kamu, aku terima. Tapi, jangan pernah berharap kamu bisa balik lagi sama aku.”
Kata-kata yang tak akan aku lupakan karena bagiku itu sebuah tantangan. Aku mengiyakan katanya dan memang kami sudah sering membicarakan masalah ini jika suatu saat kami berpisah. Aku hanya terdiam beberapa saat dan meyakinkan yang aku lakukan ini sudah tepat.  Setelah itu aku berjalan menuju kelas di gedung C karena saat itu pelajaran kedua akan segera dimulai.
            Untuk beberapa waktu setelah kejadian itu, aku mulai merasakan Ia benar-benar menghilang dari hidupku. Aku tak lagi melihat tentangnya di berandaku dan juga beberapa statusku yang biasaya Ia Like atau berkomentar atasnya. Aku benar-benar merasa kehilangan seorang yang mengisi hatiku. Hingga waktu berlalu begitu cepat. Hari berganti bulan dan bulan terus berjalan. Aku tak mengerti akan satu hal pada diri ini. Aku merindukan tentangnya. Sosok yang kini sudah lama pergi dari hatiku namun Ia tetap nyata keberadaannya. Bukan hanya sekali untukku melihat profilnya, menyukai beberapa hal tentangnya dan mengirim pesan padanya yang tanpa satupun balasan. Aku mengira ini adalah karma bagiku karena telah menyakiti hatinya. Jujur dalam hati ini, aku masih sangat menyayanginya dan semua tentangnya masih aku ingat. Bahkan raut wajah yang tak ingin aku lihat, masih sangat jelas terpampang di depan wajahku. Sebuah waktu yang tak mungkin aku lupakan, sebuah hati yang begitu tulus menyayangiku dan sebuah keterlambatan untuk menyayanginya kembali.
            Setelah waktu yang begitu cepat berlalu itu masih berlalu, aku melihat gambar tampilan BBM nya akan seorang gadis dengan sosok ibu-ibu yang mungkin ibu si gadis itu. Aku menerka-nerka siapakah gadis itu. “Mungkinkah itu pacar barunya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku tau, aku tak pantas untuk menanyakan hal ini padanya. Aku bukanlah lagi apa-apa baginya. Aku hanya berharap hatiku dapat lagi dekat dengannya. Sekalipun kemungkinan sangatlah kecil, disisi lain tentangnya yang sudah tak mau lagi tau apa-apa tentangku.

            Aku terdiam di sudut kamar dengan beberapa tulisan tentangnya. Aku hanya berharap sebuah penyesalan dan kesalahanku dapat Ia maafkan. Dengan udara pagi yang masih sejuk ini, aku lambungkan anganku tentangnya yang masih aku simpan dalam hati dan berharap Ia akan memikirkanku saat ini.
 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design