***
“
Mengapa perasaan ini hadir dan selalu menggangguku setiap saat? Bahkan saat ini
pun ketika aku tak bersamanya, rasa dalam hati ini begitu nyata keberadaannya.
Aku ingin dia mengerti bahwa mungkin aku cemburu, entah dengan apa.” Aya masih
terlihat bimbang dengan apa yang sedang ia rasakan, ia terdiam dan memandangi
jemarinya yang menggenggam kehampaan.
***
“Ya, bisa ketemuan nggak sebentar? Abis maghrib deket air mancur ya? Tapi “Bidadari”
jangan sampai tau ya?” Aya membaca
BBM yang dikirim oleh Indra sahabatnya yang kemudian Aya membalasnya.
“Yaudah,
tunggu aja ya, tapi disini hujan jadi
harus nunggu sampai reda dulu ya J.” Aya membalas singkat dengan senyuman.
“Iya Ya, tapi kamu lagi sama “Bidadari” nggak sekarang?” Indra bertanya.
“Iya, tapi katanya dia mau pulang tuh. Eh
ketemunya sekarang aja ya, aku males pulang dulu nih soalnya” Aya membalas
singkat tanpa senyuman.
“Jangan sekarang. Kasihan ‘Bidadari’ pulang
sendirian. Apalagi hujan begini. Kamu temenin dia ya, habis itu kamu ke kampus
lagi deh J.” Indra meminta.
(Ya ampun, dia tuh nggak ngerti apa
kalau jarak dari kost-an ke kampus kan lumayan jauh apalagi ini jalan kaki.
Apaaaaa? Cuma buat supaya Gina nggak pulang sendiri? Egoiiiiiiiiis L)
“Oke deh J.” Jawab Aya singkat.
Aya ingin sekali menolak dan membiarkan Gina
yang disebut “Bidadari” itu pulang sendirian. Namun, entah mengapa ia sulit
menolak permintaan Indra kepadanya. Lagipula hanya permintaan seorang sahabat,
yang selalu ingin melihat sahabat yang juga pujaan hatinya aman dalam situasi
apapun. Aya hanya terlihat ikhlas, saat menerima berbagai macam permintaan
Indra sahabatnya. Tanpa sadar, sesekali muncul perasaan yang entah apa namanya.
Atau mungkinkah itu cemburu? Aya hanya merasa ia tersisihkan.
***
“Jadi, kamu mau cerita apa kali ini tentang
Gina?” Aya membuka kata.
“Bukan cerita sih, sebenernya nanya aja. Gini,
menurut kamu Gina kenapa ya kok akhir-akhir ini dia kayak berubah gitu sama aku?”
Indra mulai membuka kata.
“Mungkin karena kamu terlalu ingin tahu tentang
dia, sementara dia kan orangnya bukan tipe yang suka curhat gitu.” Jawab Aya
menjelaskan.
“Aku takut dia bakalan ninggalin aku nih.” Indra berkata dengan nada cemas.
“Kalau jodoh nggak
kemana kok Indra, tenang saja” Aya meyakinkan.
Indra hanya terlihat mencoba kuat dengan
perasaannya saat itu. Sudah sejak semester 1 Indra mengagumi sang “Bidadari”,
namun sampai saat ini pada semester 4 pun ia belum juga mendapatkan hati sang “Bidadari”.
Sementara Aya hanya merasa menjadi “nyamuk” setiap saat mereka berjalan
bersama. Namun yang berbeda kini adalah, terlihat seringnya Gina berjalan
beriringan dengan Indra ketimbang dengan Aya. Aya hanya berjalan sendiri di
depan, sedangkan Gina dan Indra berjalan beriringan dibelakangnya.
***
Malam larut, membawakan rasa bimbang semakin
hanyut dalam kehampaan. Dibawah lampu belajar, Aya mulai menuliskan cerita
hariannya pada sebuah buku diary. Malam yang larut itu, diiringi dengan
hembusan angin yang perlahan menggerakkan tirai di kamarnya. Detik jam
terdengar jelas pada malam yang sunyi, mengiringi lantunan suara hati yang Aya
tuliskan pada diarynya.
Dear diary,
Apa yang
terjadi dengan hari-hariku? Bukankah aku selalu mendukung mereka bersama? Namun
apa yang sedang menggangguku belakangan ini? Aku merasa aku kehilangan Gina. Aku merasa ia lebih nyaman ketika ia
bersama Indra. Aku hanya bisa berdiam diri ketika mereka berdua bercanda,
sementara aku hanya terdiam karena tidak ada hubungannya dengan mereka. Aku
hanya sendiri, aku merasa sendiri dan merasa hanya menjadi pengawal mereka
saja. Aku merasa terabaikan dan hilang arah. Jauhkan ini semua dari hatiku.
Mana mungkin bisa aku memiliki perasaan ini? Sementara disisi lain mereka
berdua adalah sahabatku. Aku tak boleh cemburu dengan sahabatku sendiri.
***
Keesokan harinya, Aya dan Gina belajar di kelas
yang berbeda. Namun Indra belajar di kelas yang sama dengan Gina. Kelas pada
hari itu berakhir pukul 16.20 dan Aya lebih dulu keluar kelas pada hari itu.
Aya mulai mengirim pesan singkat pada Gina dan mengatakan bahwa ia menantinya
di Gedung Widya Loka untuk mencari tugas bersama. Suasana cukup ramai ketika
pertama Aya sampai di tempat yang biasanya di pakai untuk mengakses internet
secara gratis. Selain itu, udara sangat dingin dan hembusan angin ringan mulai
menggoyangkan beberapa dedaunan di sekitar gedung tersebut. Beberapa menit
setelah itu Gina datang. Namun yang membuat Aya merasa bad mood saat itu adalah ketika melihat Gina datang bersama dengan
Indra. Aya merasa ingin pergi saat itu. Setelah beberapa saat mereka bertemu
dan duduk-duduk bersama, Aya mulai merasa tambah terasingkan. Melihat Indra
hanya memperhatikan Gina dan hanya berbicara kepada Gina. Sementara Aya
terlihat hanya sebagai orang lain saja di bangku tersebut. Hingga suara Adzan
maghrib terdengar dan mereka pergi menuju Masjid di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.
***
Hanya terlihat seorang Aya. Aya yang malam itu
berjalan di bawah lampu remang dengan headset yang sejak dari kost ia tempel di
telinganya. Aya sedang menikmati suasana malam yang saat itu begitu banyak
bintang. Ia melihat bintang begitu bersinar malam itu. Walaupun malam itu
begitu dingin, karena lagi-lagi angin
berhembus cukup kencang sehingga membuat kerudung Aya sedikit berantakan. Aya
sesekali memetik dedaunan di pinggir jalan dan melemparkannya kebelakang. Itu
adalah salah satu hal yang selalu Aya lakukan ketika sedang berjalan, baik
siang maupun malam. Hingga suatu ketika ia melemparkan daun kebelakang, seketika
itu pula tepukan pada bahunya terasa
nyata. “Sial, aku tak ingin bertemu dengannya disini,” dalam hati Aya berbicara
sekenanya. Di tempat yang sedang Aya lewati ini merupakan salah satu tempat
yang cukup angker di sekitaran Universitas Brawijaya. Tempat itu terdapat di
depan rektorat, tepatnya sekitar lapangan rektorat. Hingga kini, genggaman
tangan di bahunya masih belum juga terlepas. Aya mulai gelisah,”Apakah ini
benar-benar hantu yang sering orang bicarakan?” Dengan jantung yang berdegup
kencang akibat ketakutannya, Aya memberanikan diri sedikit menoleh ke belakang.
Aya melirik kecil, hingga ia berbalik badan untuk memastikan apakah ia manusia
ataukah hantu. Ketika ia membuka mata lebih lebar, ternyata ia adalah teman Aya
sekaligus mantan kekasihnya semasa SMA dulu, Furkan. Dengan tarikan nafas
dalam-dalam dan menghembuskannya keras-keras, Aya setengah berteriak berkata
“Kurang ajar kamu! Datang bukannya ucap salam, malah ini main tepuk orang
sembarangan.” Disana Furkan hanya menyeringai dan kemudian Furkan mengantarkan
Aya pulang karena malam semakin larut.
Ditengah perjalanan, Furkan membuka kata.
“Ay, kamu lagi galau ya? Aku lihat tulisan kamu
di facebook sangat menyayat hati
begitu. Ada masalah apa?”
“Jangan panggil Ay, nanti disangka pacaran tau.” Aya menegaskan.
“Iya aku lagi galau sama hati aku,” Aya menjawab
sedikit lembut.
“Oh iya, hehe soalnya inget jaman dulu waktu
kita masih pacaran Ay. Hmm Kamu kenapa? Nggak
biasanya Aya galau.” Furkan mulai
penasaran.
“Ini soal Indra, sahabat aku. Entah kenapa
akhir-akhir ini aku merasa jadi “nyamuk” diantara Indra dan Gina.” Aya
menjelaskan.
“Kamu suka sama Indra, gitu?” Furkan bertanya
sekenanya.
“Aku nggak
merasa gitu Fur, aku cuma ngerasa aneh. Aku nggak tau, apa yang aku rasakan ini.” Aya menjawab dengan sedikit
drama.
Berbagai curahan isi hati Aya kepada Furkan,
memenuhi waktu perjalanan mereka pulang. Begitu panjang cerita yang Aya
ceritakan, hingga Aya sampai di depan kost-nya dan mereka akhirnya berpisah.
“Aya langsung cuci kaki
dan cuci muka ya, terus tidur ya supaya besok nggak kesiangan.” Furkan sok
perhatian.
“Haha, iya bawel. Makasih ya, Aya di antar
sampai kost-an.” Aya menjawab sambil tersenyum manis.
Kemudian malam itu berakhir dengan saling
memberi salam perpisahan. Ketika Aya masuk kamar, terdengar beberapa lagu
klasik diperdengarkan di radio. Ternyata Aya lupa mematikan radionya ketika Aya
pergi tadi. Aya mulai memposisikan diri untuk beristirahat dan mulai terdiam
menatapi langit-langit kamarnya. Dalam benaknya, serasa tak begitu berat lagi
dengan apa yang ada dihatinya. Mungkin karena Aya menceritakan masalahnya
kepada Furkan tadi. Berbicara tentang Furkan, Aya terdiam ketika mengingat
Furkan yang dulu ia tinggalkan. Bukan hal yang biasa bagi Aya, dapat bertatap
langsung dengan Furkan. Selain Aya tak ingin mengingat masa lalunya, Aya juga
tak ingin mengingat lagi luka yang pernah Aya berikan. Aya hanya menyesal
dengan apa yang pernah Ia lakukan.
***
Ketika pagi hari Aya membuka jendela kamarnya
dan mulai menghirup udara segar, pandangan Aya tertuju pada selembar kertas
yang menyangkut di selipan jendelanya. Selembar kertas berwana biru muda yang
melipat dan terikat dengan pita berwarna orange. Dengan sedikit penasaran, Aya
membuka kertas yang saat itu berada di tangannya.
Intan nuraya.
Mungkin
bagimu ini tidaklah penting Ay. Aku mengikutimu sejak malam hari kamu
melangkahkan kaki keluar kost-an. Bukan pula hal yang aku rencanakan untuk
melintasi kost-an mu pada malam itu. Aku bahkan tak mengetahuinya, jika kau
tinggal disana, di tempat yang mungkin kau tak ketahui bahwa itu adalah rumah
tanteku. Aku sedang khawatir padamu sudah beberapa hari ini. Aku melihat kau
sedang bersedih dari kejauhan. Aku hanya bisa menatapmu secara diam-diam,
dibalik pepohonan atau di balik tembok yang menghalangi tempat shalat antara
pria dan wanita. Aku memang tak bisa melupakan kejadian itu. Hari yang
seharusnya menyenangkan bagiku karena aku berjumpa denganmu dan aku berharap
memiliki saat-saat yang indah bersamamu. Namun saat itu kau meninggalkanku dengan
alasan bahwa kau ingin fokus belajar. Padahal seperti yang kau tau, aku
mencintaimu tak perduli sesibuk apapun kamu, hingga kau melupakanku diantara
padatnya masa laporan di perkulaiahnmu. Namun, mungkin itu adalah takdir,
hingga akhirnya aku kini dapat melihatmu dengan dekat dan bahkan sangat dekat.
Ingin aku genggam selalu tanganmu yang selalu terasa hangat itu. Tetapi, apalah
aku bagimu Ay? Aku hanyalah sepotong masa lalu yang mungkin tak berarti apapun bagimu saat ini. Aku
senang mendengar ceritamu tentang sahabatmu, Indra. Aku berharap kau akan
menemukan suatu hal yang indah di balik perasaanmu pada Indra. Mungkin
ketulusan hatimu akan meluluhkan hati Indra, sehingga ia dapat menyayangimu.
Bagiku, kau adalah kenangan yang indah dan hingga kini aku tak dapat melupakanmu,
bahkan dengan senyuman terakhir yang kau berikan tadi malam. Aku tak bisa
berharap kau akan mencintaiku lagi, namun aku akan tetap mencintaimu.
Muhammad Furkan.
Ketika Aya membaca surat itu, Aya
semakin merasa bersalah dengan keadaan antara ia dan Furkan. Aya mulai mencari
kontak Furkan di buku telponnya dan mulai menghubunginya. Ketika Furkan
mengangkat telpon, Aya kemudian mengajak Furkan untuk bertemu dengannya di
depan perpustakaan. Setelah Aya selesai menelpon Furkan, Indra mengirim pesan
dan mengajak Aya untuk bertemu juga dengannya. Namun karena Aya sudah terlebih
dulu membuat janji dengan Furkan, maka Aya menolak ajakan Indra dan menyuruh
Indra pergi bersama Gina saja. Ini adalah penolakan Aya yang pertama akan
permintaan Indra. Aya merasa seperti orang bodoh ketika ia harus merasa menjadi
“nyamuk” dalam persahabatannya. Juga ketika ia melulu harus menuruti apa yang
Indra pinta. Disisi lain, Aya merasa Furkan begitu perhatian dan tulus padanya.
Seperti halnya ketika perjalanan pulang pada malam itu, ketika hujan rintik
turun dan Furkan memberikan jaketnya kepada Aya. Kemudian ditengah-tengah
pemikirannya, Aya teringat bahwa waktu Aya bertemu dengan Furkan sudah tinggal
20 menit lagi dan kemudian Aya langsung mandi dan berangkat ke kampus.
***
“Maaf telat ya Fur, hehe. Kamu pasti sudah lama
ya?” Basa-basi Aya membuka kata.
“Haha, sudah biasa kalau Aya membuat aku
menunggu. Seperti hatiku yang saat ini masih menunggu Aya.” Furkan menjawab
sambil tertawa.
“Furkan kok to
the point gitu ya ngomongnya? Hehe.”
Aya sedikit canggung saat menanggapi pernyataan Furkan.
“Jadi, kamu udah baca surat dari aku nih Ay?”
Furkan mulai bertanya agak serius.
“Hmm, iya begitulah. Buat aku, itu bukan seperti
surat, tapi proklamasi. Panjang banget tau. Tapi menyentuh sih.” Aya menjawab
dengan sedikit senyum.
“Ay, jadi aku nggak bisa ya balikan sama kamu?” Furkan bertanya lebih serius.
“Maaf Fur, aku nggak bisa. Aku nggak bisa maafin diri aku sendiri kalau sampai
nanti aku nyakitin kamu lagi.” Aya menjawab dengan nada sendu.
“Kalau begitu, biarkan aku menyimpan perasaan
ini, hingga nanti kamu mau bersamaku. Karena pada akhirnya kau akan tau betapa
besar aku menyayangimu Ay.” Furkan meyakinkan.
Aya tak menghiraukan pernyataan Furkan, kemudian
ia pergi memberikan salam terakhir. “Aku menyayangimu Furkan, namun kau tak
perlu tau akan hal itu. Biarkan juga aku menjaga perasaanku hingga waktu itu
tiba.” Katanya dalam hati.
***
Pada akhirnya, ketulusan akan dapat sampai ke
hati. Tak perduli bagaimana sulitnya ketika kecemburuan datang, ia akan tetap
teguh di kedalaman hati. Sedangkan hati mereka yang saling menunggu, di
pertemukan pada tempat yang indah karena takdir tak pernah salah sasaran.