Senin, 14 Maret 2016

Kolase (Rasa-Rasa yang Tertahan)

Alam mengerti tentang kegelisahan para hati yang berjalan tanpa kepastian. Kadang, kau bisa melihat sabit tersimpul rapih. Namun, jika kau telusup dalam ke matanya, kau akan melihat jelas guratan kesedihan terpancar darinya. Hari ini, aku bertemu dengan gadis yang sedang membaca novel di halte Jl. Solo di Sleman.
Tatapnya tertuju pada lembar demi lembar yang teralih setiap 5 menit sekali. Dari penampilannya, aku bisa perkirakan bahwa ia adalah seorang penjaga toko. Pakaiannya hitam dan putih. Rambutnya dikucir ekor kuda. Tapi aku masih memperhatikannya. Tatapan yang teralih pada ponselnya yang berkedip-kedip.
Dia ambil ponsel itu. Beriringan dengannya, bus yang akan membawaku ke Jogja pun datang. Aku duduk bersebelahan dengan wanita itu. Sampai seorang pria datang dan membuatnya duduk bersebrangan denganku. Penumpang belum terlalu ramai. Tapi perdebatan itu cukup membuat suasana menjadi tidak nyaman.
Nanti malam jadi ke alun-alun?
Jadi.
Kamu pulang jam berapa?
Mungkin jam 17:00 aku udah pulang.
Hmm... Gimana kalau kita ajak Fajar? Dia pasti seneng.
Tapi kan ini acara kita.
Tapi dia juga temen aku.
Yaudah kalau gitu. Kamu pergi sama Fajar. Aku jalan sama yang lain.
Yaudah. Kamu emang gak berubah. Terus aja kekanak-kanakan.
Kamu tuh yang mentingin sahabat mulu.
Aku lebih dulu kenal dia dari pada kamu. Lagian aku kan tetep sayang kamu.
Jangan-jangan. Kamu jatuh cinta sama dia. Aku tahu kok kalau dia suka datang buat beli buku di toko kamu.
Hei. Kamu jangan nuduh gitu dong. Dia kan ngajarin anak-anak jalanan.
Terus aja belain dia.
Terus aja nuduh-nuduh dan buruk sangka.
Udah lah! Aku capek gini terus.
Yaudah.
Yaudah. Kita putus.
Yaudah.
***
Kini aku sedang memandangi jalanan yang ramai. Menikmati suasana Jogja di malam hari. Wedang ronde mengepul di atas meja kecil yang menghadap para penikmat alam.
Dari jauh, samar-samar kulihat langkah yang derapnya terhenti-henti. Salam remang, kulihat ponselnya diangkat-angkat ke udara. Mungkin ia kesusahan mencari sinyal.
Aku sedang tidak menunggu siapa pun. Aku hanya penikmat malam yang kesepian. Sampai orang itu menghampiriku dan...
Maaf. Boleh minta tolong nggak?
Boleh. Apa?
Boleh pinjem HPnya? Sinyal aku nyala mati.
Boleh.
Terimakasih.
Kemudian, datang seorang pria dengan motor matik plat H.
Hai. Akhirnya kamu nyampe. Maaf ya? Tadi sinyalnya jelek.
Iya gapapa. Wah... Kamu nggak berubah ya. Masih cantik kayak dulu.
Ah kamu bisa aja.
Gimana kabar kamu?
Alhamdulillah baik. Kamu gimana?
Baik juga. Eh... Katanya kamu udah nikah ya?
Belum dong. Hahaha. Emang wajahku kayak emak-emak?
Nggak kok. Hehehe.
Aku ada yang mau diomongin nih.
Apa?
Setelah 3 tahun terpisah. Aku sebenernya ke sini datang untuk--melamar kamu.
Hah? Kamu yakin?
Beneran. Datang dari Kalimantan buat apa kalau bukan nemuin kamu?
Gimana ya?
Kenapa? Kamu gak bisa ya?
Tapi... Aku udah dijodohin sama orang tua aku.
Dia orangnya.
Aku?
Malam itu sungguh tak pernah aku sangka. Ternyata aku bertemu dengan jodohku. Setelah 30 menit mengobrol dengannya. Ternyata ia adalah Rahma, pacarku ketika SMP. Sejak itu, hidupmu tak sendiri lagi.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design