Minggu, 21 Februari 2016

Memori: Kimi wa Aitai Desu

“Pagi sudah tak berkabut. Bagaimana dengan hatimu?”
Sudah lama. Kimi wa aitai desu (ingin bertemu denganmu). Hari ini bukan hari libur. Aku memutuskan untuk menemuimu. Sosok yang selama ini hanya sebuah khayalan. Aku bahkan tak merencanakan kepergianku menemuimu. Jemariku refleks mengetik sebuah pesan dan.. aku berangkat menemuimu.
Jalanan cukup ramai, padahal bukan hari libur. Hari seperti biasa, bukan musim hujan dan sangat terik rasanya. Aku duduk berhimpitan dengan penumpang yang lain dalan sebuah angkutan umum. Kau begitu mewanti-wanti agar aku berhati-hati sepanjang perjalanan. Mungkin kau sedang memperhatikan huruf demi huruf di layar ponselmu. “Aku otw Surabaya.” Begitu ringan aku menuliskannya dan terkirim dengan sekali klik.
Dekat atau jauh perjalananku berlangsung, tasku selalu terisi penuh dan tak ada yang terlewat kubawa kemanapun aku pergi, terutama botol minumku yang berwarna orange. Dengan ditemani sebuah alunan musik khas bergenre japanese, aku mulai sedikit terlelap menikmati perjalanan di kereta itu. Ketika mimpi hampir saja bertemu denganku, handphone-ku bergetar lagi. Ya.. Kau mengirimiku pesan lagi. “Inget, turunnya di Stasiun Pasar Turi ya. Jangan bablas.” Katanya terus mengingatkanku. “Aku dari Bandung ke Malang aja nggak pernah nyasar kok.” Jawabku tak nyambung.
Seketika aku teringat padanya, sosok yang tak benar-benar aku temui, namun rasanya jelas-jelas dapat membuat jantungku berdegup tak karuan. Setiap pesan yang ia kirimkan padaku, secara mantap tertuju pada hatiku yang kemudian orang biasa menyebutnya: “Hati yang sedang berbunga-bunga”, atau “Rona wajah yang berubah menjadi merah muda.” Ya.. Perlahan namun pasti, perasaanku mendadak bahagia setiap kubangun membuka mata dan melihat pesannya meyangkut dilayar ponselku. Juga pesan terakhir sebelum tidur yang kubaca pastilah darinya. Entah mengapa, langkahku tak ragu sedikitpun untuk bertemu dengannya.
***
Aku harus berjalan sampai lampu merah, baru menemukan bus yang dimaksudkan pedagang telur asin di depan stasiun kereta. Aku berjalan ditemani para masyarakat yang sedang asik jalan-jalan di tengah terik ukuran Surabaya pukul 1 siang. Kelenjar keringatku sedang panen hasil produksi. Tisu sudah berlembar-lembar aku tarik. Dia masih terus menanyakan keberadaanku. Terus tak henti-henti mengontrolnya. Sebentar lagi aku akan bertemu sosok itu, sosok yang dapat membuatku tersenyum sendiri tanpa pernah bertemu dengannya. Ketika kuterduduk di bangku bus yang tak begitu nyaman, aku melihat ke arah luar hujan turun begitu deras. Namun suhu di sana tak sama sekali sejuk. Aku masih berkomunikasi dengannya. Hingga kondektur meminta uang tarifnya. “Turun di UIN Pak,” ucapku sambil mengulurkan tangan. “UIN?” Wajahnya keheranan. Aku seketika itu ingat, IAIN masih sangat populer di kota pahlawan ini. “IAIN” jawabku pasti.
“Masjid hijau itu adalah masjid IAIN. Kamu berjalan saja sampai sana, kau akan sampai tempat di depan kampusnya.” Begitu kata pak kondektur. Bahkan aku harus meloncat ketika hendak turun, karena jalan di sana begitu padat dan tak sempat bagi si supir untuk sedikit meminggirkan busnya. Punggungku pegal bukan main. Mungkin kakiku pun sudah bengkak entah seperti apa. Ketika aku melihat langkahku, sama sekali tak ada bekas hujan setetespun. Aku lalu memasukkan kembali payung yang sudah kupegang sejak pertama kali melihat hujan deras tadi.
Aku berjalan di trotoar seluas 1 meter. Langkah aku percepat ketika melihat langit mulai mengundang hujan. Dia berkata bahwa dirinya sedang menuju ke tempat di mana aku diturunkan. Aku bahkan sudah melewati setengah perjalanan menuju masjid yang katanya masjid IAIN itu. Aku masih belum melihat pria kecil dengan baju kotak-kotak. Aku sedikit takut, bisa saja ia menjebakku kemudian menjualku seperti tren yang sedang berkembang. Tapi semua itu terjawab ketika aku menemuinya. Pria kecil dengan ransel hitam berjalan tepat ke arahku. Entah mengapa senyumku begitu lebar padanya. Aku mungkin juga terlalu bahagia kala itu. Ya.. Bahagia bercampur malu. Bahkan aku tak sampai mampu berjabat tangan dengan lelaki itu. “Farid?” Aku memastikan. “Iya. Akhirnya ketemu juga.” Jawabnya malu-malu. Perbincangan kami tak banyak, kami langsung menuju masjid di IAIN dan aku melaksanakan shalat ashar yang hampir lewat.
Hujan turun lebat sekali. Airnya dengan pasti meresap pada sendal yang baru aku beli beberapa bulan lalu. Aku memandanginya prihatin dari jarak 5 meter. Ketika aku selesai shalat, aku melihat Farid sudah duduk bersama seorang gadis. Aku sedikit cemburu tapi, apa hakku? Aku menghampiri mereka. Dengan senyum yang semakin aku kenal, Farid menyambutku. Begitupun dengan wanita di sampingnya. Entah bagaimana caranya aku bisa duduk memisahkan mereka. Aku duduk menghadap hujan yang sedang mendinginkan suasana.
“Berapa lama akan tinggak di sini?” Sapa Ika setelah kami berkenalan.
“Hanya sehari saja, besok aku pulang karena senin ada praktikum.”
“Sering-seringlah main ke mari. Oh iya, Farid sangat cemas sekali ketika tahu kamu salah naik bus.” Ucapnya bernada meledek
Aku hanya tertawa kecil yang disusul dengan raut wajah Farid yang kesal pada Ika.
***
Aku sempat mengunjungi ikon kota pahlawan. Juga sebuah taman yang aku lupa namanya. Kami semakin dekat dan tak malu saling meledek atau membuat rona wajah kami memerah. Untuk pertama kalinya aku berjalan berdua dengan seseorang yang bukan kekasihku namun serasa seperti kekasih. Cuaca kala itu begitu mendukung, cerah berawan. Kami saling bercerita tentang kehidupan kami, kecuali tentang pacar.
Farid berjanji akan mengantarkanku. Dia sudah menungguku di depan gang rumah temannya yang aku menginap di sana. Malam itu cukup dingin, namun hatiku begitu hangat. Ya.. Itulah yang aku rasakan. Aku sangat ingin berlama-lama dengannya pada malam itu, perjalanan menuju stasiun. Aku tak menyangka rasanya akan seperti ini. Jika aku tidak mem-bonsai perasaanku, ini akan tumbuh terlalu tinggi. Tapi senyumku masih mengembang, masih merasakan sensasi kebahagian yang begitu memenuhi perasaanku. “Aku masih ingin bersamamu.” Suaranya memecah keadaan ramai jalanan malam itu. Aku bersandar di bahunya, aku pun merasakan hal yang sama.
Perasaanku jadi tak karuan. Bahagia bercampur sedih. Begitulah ketika detik-detik perpisahan sudah di depan mata. Ini perjumpaanku yang pertama dengannya. Aku pun belum saling mengungkapkan perasaan yang terpendam dalam itu. Aku hanya mengisyaratkan, juga membaca hal yang sama dari pancaran matanya yang sayu. Keadaan tak begitu ramai di tempat pemeriksaan tiket. Tak lama pula keretaku akan berangkat. Farid perlahan melepaskan tanganku. Haru bercampur bahagia begitu memenuhi perasaanku. Matanya pun berkaca-kaca. Kilaunya terpancar ketika lampu ruangan itu menangkapnya. Dengan berat kakiku mulai melangkah berjalan memeriksakan tiketku. Aku menoleh padanya untuk terakhir kalinya, pandanganku semakin buram.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design