Jumat, 19 Februari 2016

Terbatas Kain Hitam - Edit

“Aneh. Tiba-tiba saja aku mencintai mata yang tidak benar-benar aku tatap.”

Pernahkah kau merasakan jatuh cinta, tetapi kamu tak pernah benar benar bertemu pandang dengannya? Aku mengalaminya. Ketika terik membuat kulitku semakin masak, begitupun peluhku yang semakin membanjiri. Aku duduk di bangku no 13 D sebelum wanita itu mengusirku. Ya, wanita yang tak bisa aku pandang. Hanya terdengar suaranya meminta, “Maaf, boleh tidak jika kamu duduk di situ, saya tidak biasa duduk di situ.” Mungkin karena ia adalah wanita yang sangat sholehah. Duduk pun tak mau bersebelahan dengan lawan jenis. Dengan sedikit mengangguk, aku pun pindah tepat menjadi berhadapan dengan wanita itu.
Saat itu aku setengah tersadar, pundakku terasa berat. Ah.. Ternyata ada seseorang yang bersandar di bahuku. Nampaknya seperti wanita berhijab, namun aku tak bisa melihat wajahnya. Aku terus terjaga. Perjalanan baru sampai Sidoarjo. Namun saat itu, aku merasa sedang bermimpi. Tiba-tiba aku terbangun tepat dengan kepalaku yang bersandar di kepala wanita itu. Aku cepat-cepat mengangkat kepalaku dan dia pun terkejut. Akhirnya, aku bisa melihat wajah wanita itu. Mata sipit dengan kaca mata merosot hingga ke hidungnya. Dia mengangguk kecil sambil meminta maaf. Aku hanya tersenyum lalu memberi tahu Rosa, bahwa aku akan segera sampai.
Aku berjalan tepat di depan pasar malam. Pasar itu sangat ramai dan terlihat indah dengan lampu kota berwarna kuning. Di sana pun aku mendengar lagu berjenis dangdut koplo. Tak sedikit orang yang mendengarkan, menggoyangkan jari tangannya dan menganggukkan kepalanya. Begitu pun tanpa sadar aku menggerakkan tipis kakiku. “Maaf ya lama, bibi minta aku membelikannya balsem.” Jelas Rosa, saat menjemputku. Aku tersenyum mengiyakan dan menaiki motornya.
Lampu sudah padam ketika aku melewati tempat itu. Rosa, memintaku untuk turun dan berjalan duluan. Dia kemudian menghilang di balik semak. Mungkinkah dia berubah jadi Cinderela? Aku tak perduli. Rosa, hanyalah anak kecil yang pandai mencari uang. Sepertinya ia akan pergi ke kafe untuk bekerja malam. Aku berjalan terus. Sunyi sekali. Aku hanya mendengar langkah kakiku dan suara degup jantungku. Aku mengambil handphone dan membuat penerangan. Samar-samar membuatku sulit untuk menghindari beceknya jalan itu. 5 Tahun tak ke Surabaya, membuatku pangling akan keadaanya. Apalagi gelap seperti ini. Menurut Rosa, setelah aku melewati rumah besar berwarna biru, aku harus belok kanan. Ya, aku belok kanan setelah ini. Namun, langkahku mulai meragu. Telingaku yang tajam mendengar suara dari balik gang yang akan aku lewati. Seperti langkah yang sama ragunya dengan langkahku. Aku melihat sedikit sinar yang meredup di sana. Aku membiarkan kakiku melangkah. Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Dingin sekali. Aku merasa tanganku direndam air es. Mataku ditutupi mentimun. Wajahku dibalut masker bengkuang. Tapi, perlahan ada hangat yang menjalar dari kakiku. Naik dan semakin naik. Hingga aku merasa masker di wajahku telah dicuci bersih. Dengan sedikit khawatir, aku membuka mataku. Aku menelan ludah keras-keras. Mataku memburu sudut ruangan itu. Hanya ada satu jendela kecil dan sebuah gulungan hitam di atas kursi. Hei. Itu seperti manusia. Tapi seperti gulungan besar. Adrenalinku meningkat. Entah mengapa aku berani mendekati gulungan itu. Saat semakin dekat, kain hitam terjatuh dari sana. Nampak wajah gadis yang sangat cantik. Seperti gadis yang bersandar di bahuku saat semalam tadi. Kulitnya sangat putih, seperti susu. Atau pucat? Apa dia sudah mati? Pikirku mulai tak beres. Aku mendekatkan telunjukku ke depan hidungnya. Udara keras berhembus darinya. Beriringan itu, si gadis membuka mata terkaget hingga terguling ke lantai. Aku tak menolongnya bangkit. Aku duduk dengan cepat di tempat tidur yang hanya dua langkah dari si gadis.
“Kenapa kau melepas kain itu?”
“Kau menjatuhkannya. Aku tak melakukan apapun. Dan mengapa aku di sini? Kau menculikku?” Aku mulai curiga.
“Kau harus menikahiku.”
“Hah? Yang benar saja. Mengapa aku harus melakukannya?”
“Kau sudah bersentuhan denganku. Kau pun sudah tahu rupaku. Kau pun sudah menginap di rumahku.”
“Aku tak pernah menyentuhmu. Sama sekali tidak. Dan aku pun tak berharap melihat wajahmu yang cantik. ”Duh, aku kelepasan.
“Aku akan sangat berdosa, jika malam itu tak menolongmu. Aku takut. Kau jatuh begitu saja di hadapanku. Sementara di sana sangat sepi.” Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku terdiam.
***
Aku sengaja melepas cadarku ketika aku ke kamar mandi. Satu per satu penumpang di tempat itu turun. Kau mungkin tak melihatku. Tapi tatapku jelas tertuju pada matamu. Kau duduk saja saat itu. Melihat pemandangan yang hanya lampu kecil di kejauhan. Kadang kau  menempelkan wajahmu tepat pada kaca. Menutupi sisi-sisinya. Sungguh sangat kekanakan untuk pemuda seusiamu. Kau membuka sebuah buku. Aku sangat terkejut, karena buku yang kau pegang adalah buku harianku 5 tahun yang lalu. Dia mulai berderai melekat di kain yang tidak kau suka. Aku mulai ingat. Kau adalah Fadli, lelaki yang meninggalkanku 5 tahun lalu. Aku sangat tak mengenalimu. Kau sekarang tampak karismatik dan lebih bersih. Suatu keajaiban bisa bertemu denganmu. Sejak itu, aku berjanji akan memperlihatkan wajahku padamu. Hingga aku berani duduk di sampingmu dan menyandarkan kepalaku. Setidaknya, aku memenuhi janjiku padamu.
Kau begitu terburu-buru. Aku sulit mengejarmu. Aku meminta kabar pada Rosa, akan kemanakah Fadli pergi. Rosa bilang, kau akan bertemu bibi. Aku menunggumu di gang itu. Gang sepi tanpa pencahayaan. Hanya lampu remang dari handphone jadulku. Rosa. Dia selalu menyampaikan salamku ketika aku ingin bertemu denganmu, tentunya ditemani Rosa. Kau bilang, “Aku hanya ingin berdua denganmu. Mengapa harus mengajak Rosa?” Aku menjelaskan padamu bahwa kita tak boleh hanya berduaan saja. Latar belakangku menjadikanku begitu lekat dengan nilai-nilai islam. Walau aku sadar, satu hal telah aku abaikan. Aku berpacaran dengan Fadli.
Aku meminta Rosa untuk menyampaikan pesanku bahwa aku rindu padamu. Kau tak muncul di tempat itu. Biasanya kau tak pernah mengabaikan rinduku. Tapi hari itu, menanti di bawah pohon belimbing yang terasa bertahun-tahun. Lama sekali. Hujan mulai turun, aku tetap menunggumu. Masih setia dengan kain yang kau benci. Aku terdiam hampir tak sadar diri. Aku menikmati pemandangan yang sudah tak nampak.
Aku mulai putus asa. Aku berjalan pulang di tengah azan magrib. Saat itu, kau muncul dihadapanku. Matamu nampak memerah. Aku tak pernah melihat matamu se-sendu ini. Kau tak juga bicara. Kau mengulurkan tangan dengan selembar kertas. “Ini yang terakhir sebelum aku pergi ke Jakarta.” Lalu kau menghilang di balik jalan gelap.
***
Aku meyukai suara itu. Suara indah yang terdengar setiap subuh. Denis bilang, itu suara milikmu. Aku menghayati setiap lantunan ayat yang kau bacakan. Aku ingin sekali melihat bagaimana wajahmu. Pasti secantik suaramu. Bahkan mungkin tatapanmu itu dapat meneduhkanku di terik ini. Aku dan Denis menunggumu tepat di depan masjid. Denis menunjukmu. Dia mengatakan bahwa gadis bersuara merdu itu adalah dirimu. Namun hingga kini, aku sama sekali tak bisa bayangkannya. Aku salah. Tak ada tatap yang meneduhkan. Hitam saja.
Kian hari, kian resah. Aku sangat ingin bertemu denganmu. Selepas magrib, aku menunggumu lagi di depan pintu. Aku tak bisa mengenali manakah gadis bersuara merdu itu. Hingga guruku menghukumku karena memasuki daerah terlarang. Daerah santri wati. Aku tak diizinkan keluar asrama selama satu bulan. Aku bak tawanan yang merindukan mentari. Tentunya pun pada suara merdu yang menenangkan jiwaku. Melakukan rutinitas di kamar sempit dengan 6 orang sahabatku.
Lewat Denis, sebuah surat dengan pita orange mendarat di tanganku. Aku membukanya perlahan. Aku melihat di akhir surat bertuliskan Fatmawati. Debarku mulai tak karuan. Mungkinkah ini Fatmawati anak Pak Haji Arifin?. Aku membacanya dengan seksama, hingga aku tak merasakan nafasku. Esoknya, kita bertemu di bawah beringin, di temani Rosa, sepupuku.
Kita ikrarkan bahwa kita menjalin hubungan. Kita selalu bertemu di tempat itu. Tapi, keinginanku selalu kau tolak. “Nanti kita akan benar-benar bahagia jika ikatan antara kita benar-benar kuat.” Aku selalu putus asa dan kadang menganggap kau terlalu sholehah. Aku bahkan tak pernah melihat ujung kukumu itu. Menatap matamu dari dekat pun, aku tak bisa melihat bola matamu. Hubungan kita benar-benar suci. Jarak kita berdiri selalu melebihi satu lengan lencang kanan.
Semakin lama, aku merasa semakin kesetanan. Aku terus memaksamu melepas kain yang menghalangi wajahmu. Kau terus berkilah dan berbalik menceramahiku. Aku menahan perasaan itu sekitar 2 tahun. Hingga aku memutuskan untuk berhenti menunggumu. Seperti biasa, salam itu sampai padaku ketika ibu menjengukku dan Rosa mengikuti dibelakang ibu. Aku tak datang sore itu. Aku tak sanggup untuk melepasmu. Mencintaimu walau tak harus menatapmu. Tapi, aku terlalu kekanakan. Aku tuliskan surat beracun itu. Mungkin akan membunuh perasaanmu.
Dalam surat itu aku tuliskan keinginan terbesarku. Aku ingin melihat matamu, menyentuhmu, dan menikah denganmu. Tapi aku tak siap jika aku harus menikahimu saat itu juga. Aku masih punya keinginan untuk melanjutkan kuliah. Maka, jika nanti kita bertemu, pastikan kau masih mencintaiku dan kau akan melepaskan kain penutup wajahmu itu. Aku merasa, kau terlalu fanatik.
***

“Jadi, kau tak ingat siapa aku?”
“Aku hanya seperti pernah mendengar suaramu. Tapi entah di mana.”
“Kau ingat Fatmawati?” Matanya semakin sendu.
“Aku rasa, kau adalah Fatma mantan kekasihku. Walaupun aku tak pernah melihatnya.” Dadaku semakin sesak.
“Aku telah menunaikan janjiku.”Dia mendekatiku dan meraih tanganku.
Terasa sangat panas. Aku mulai tak nyaman dengan suasana itu. Ternyata tatapan itu adalah tatapan yang selama ini aku nantikan. Tak sedikit pun aku bayangkan akan seperti ini aku menatapnya. Hari ini, aku sangat berdosa. Terdengar sedih suara burung dari luar. Seperti pertanda bahwa dunia sudah mengutuk kami berdua.
Nampak 20 panggilan tidak terjawab. Rosa. Dia pasti sangat cemas dengan keadaanku yang masih belum sampai tempat bibi. Aku langsung bergegas melawan rasa sedihku dan meninggalkan Fatma di tempat itu. Fatma tak mengenakan kain yang terjatuh itu. Dia seperti menatap setiap langkahku meninggalkannya. Aku bisa merasakan tatapan yang teduh itu.
“Aku semalam tersesat, Rosa. Kamu bisa menjemputku di Ahmad Yani?”
“Kau tersesat sangat sangat dekat denganku, Tunggu di sana.”
Rosa memang bagaikan ojek. Dia selalu mengantar jemput. Bukan hanya masalah itu, dia pun rajin mengantar suratku kepada Fatma. Rosa sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku mulai berpuisi dan membaca sebait tulisan di buku harian Fatma.
Mungkin alam akan mengerti. Bahwa dua insan ini saling jatuh cinta. Cinta tanpa ia tahu bagaimana aku dibalik kain hitam itu. Dia membuatku percaya, bahwa cinta memang dibawa dari alam untuk dipuisikan dalam hubungan ini.
Tak lama kemudian Rosa sudah berada di hadapanku. Menatapku dengan tatapan kesal. Dia memukul perutku yang kelaparan. Aku sedikit terdiam tak merespon. Aku ingat, mengapa aku tak sadarkan diri malam tadi. Aku melihat bayangan hitam sepantaranku sedang menempel di tempok. Ah.. jelas saja. seharusnya aku tahu itu Fatma. Aku dibawa Rosa menuju tempat bibi. Aku terlihat kucel katanya. “Kau seperti bocah hilang selama seminggu.” Aku tersenyum dengan ucapan itu. Bibi adalah orang yang mengurusku sejak kecil.
Aku memikirkan ini dalam 24 jam. Aku harus mantap melangkah. Aku menghitung jumlah tabunganku. Aku perkirakan cukup untuk meminang Fatma. Bibi adalah orang pertama yang aku kabarkan tentang berita baik ini. Bibi menyambut baik dan seminggu kemudian aku dan Fatma menikah. Sangat singkat. Tapi bukan waktu yang sebentar untuk menjaga hati dari wanita cantik yang bertebaran kala aku di Jakarta.
***
Berita itu sangat cepat sampai pada keluargaku, terutama umi dan abi. Mereka  menyetujui pernikahan aku dan Fadli. Malam itu aku pergi menemui Fadli. Aku sudah tak mengenakan kain hitam itu sejak hari aku menampakkan wajahku pada Fadli. Aku melihat Fadli sedang menatapi layar laptopnya ketika aku sampai. Aku duduk tepat di hadapannya. Wajahnya penuh tanda tanya. Wajahku pun penuh dengan jawaban. Aku mengatakan padanya, abi ingin bertemu denganmu malam ini.
Di ruangan itu, abi dan Fadli tampak serius sekali. Aku sampai tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Kecuali, “Kau akan menikahi anakku lusa.” Fadli terlihat pucat. Mungkin sebentar lagi ia akan pingsan sama seperti saat dia bertemu denganku. Fadli bersalaman lalu pamit pulang. Kesabaran menjadikanku benar-benar menjadi peneduh untuknya. Malam terindah sudah tak terbatas kain hitam akan benar-benar aku nikmati.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design