Minggu, 28 Februari 2016

Behid the Scane: Bedah Karya FLP Malang

Setiap hari minggu, kami (anak-anak FLP Malang), baik yang sudah resmi jadi anggota ataupun belum, berkumpul di teras Gedung Ir Soekarno di UIN Maulana Malik Ibrahim. Saya merupakan non-member di sana. Namun, Mbak Wulynee mengizinkan saya untuk gabung setiap minggunya. Pertemuan kali ini sama seperti minggu sebelumnya, yaitu bedah karya. Karya Mas Muchtar yang selanjutnya disebut Mas Momo adalah karya yang akan dibedah di pertemuan ini.
Pertemuan rutin itu biasa dimulai pukul 13:00-16:00. Entah karena faktor cuaca atau faktor penghambat lainnya, saya, Mbak Wulynee, dan Mas Momo datang terlambat. Hujan mengguyur Malang cukup lebat. Cukup membuatku melipat celanaku 3 kali, dan cukup pula membuat kakiku terendam sepanjang perjalanan yang dilakukan dari Gajayana ke UIN.
Mbak Yenni, Mbak Siro, dan Firda tengah berduduk santai dengan ditemani 8 potong kue (aku tidak tahu itu kue apa), dan beberapa gorengan. Lengkap pula dengan mizone yang masih terbungkus kresek putih. Aku datang sembari mengibas-ngibaskan celanaku yang basah kuyup. Tak lama setelah itu Mbak Wulynee datang dibalut dengan mantel berwarna merah cerah. Dia tampak seperti pinguin. Namun balutannya cukup rapih sehingga dia aman dari hujan.
Kami belum memulai acara bedah karya karena Mas Momo belum datang. Kami dengan bahagia mencomoti kue dan biskuit yang tergeletak di depan mata—tepatnya di lantai. Firda kemudian pergi dan tak lama dari itu datang lagi dengan satu tas dijinjingnya. “Selamat makan semua.” Kami dihidangkan lagi makanan. Tentu bukan makanan ringan. Makana berat yang dapat membuat berat badanmu bertambah 0,09 kg dalam sehari.
Mas Momo datang dengan senyum pengiring keterlambatannya. Dia melihat lantai yang bernada-nada kekenyangan. Ya, makanan sudah habis. Tapi, kami masih menyisakan beberapa kue, gorengan, juga biskuit. Mas Momo membagikan karyanya untuk kami baca. Perlahan semua orang terfokus dengan tulisan  yang berjudul kucing hitam. Berbeda halnya dengan Mas Momo yang memakan biskuit, gorengan yang kesepian.
Kucing hitam. Cerita milik Mas Momo menceritakan kisah seekor kucing dalam menjalani kehidupannya. Menjelaskan rasa lapar si kucing ketika ia tak menemui pengganjal perut. Ketika semua jalanan tengah lengang dan hanya ada dia dan bak-bak sampah yang menanti kunjungannya. Kisah ini cukup menarik. Seolah mengajarkan kita untuk dapat berbagi pada siapapun karena kita tak tahu bagaimana keadaan orang di sekitar. Belajar perduli. Bukan hanya pada manusia. Tapi makhluk hidup yang lain.
Mbak Wulynee sekaligus senior di FLP Malang mulai mengoreksi hasil karya Mas Momo. Mas Momo terlihat pasrah, lalu diam memandangi tulisan yang dimaksud. Berbeda dengan kami, ada yang sibuk membahas kucing (itu aku dan Mbak Umu), ada pula yang rajin menulis koreksinya. Tiba saatnya kami memberi masukan. Diawali dari Mbak Umu. “Matanya terbelalak ketika ada piring. Bukannya kalau kucing itu lebih ke penciumannya ya?” Sambil menirukan gaya kucing mengendus makanan. Melihat ke atas seolah dia adalah seekor kucing di bawah meja yang mengendus bau tongkol. “Biasanya kucing kalau berantem itu jarang bergulat. Dia Cuma beberapa detik cakar-cakaran. Kadang-kadang badannya melengkung terus kejar-kejaran.” Dia kembali menirukan suara kucing mengeong-ngeong  ketika sedang bertengkar.
Aku yang biasanya hanya diam dan mendengar, pun mengangguk-ngangguk seolah mengerti, akhrinya ikut berpendapat. Mungkin ini adalah pertama kalinya aku angkat biacara setelah sekian pertemuan aku lewati. “Kucing tetangga aku itu pengamat keadaan. Kalau mata kita bertemu, dia seketika akan mematung. Hingga aku melakukan satu gerakan, dia akan merespon. Entah hanya gerakan seakan akan lari terbirit-birit atau memang langsung melarikan diri.” Terangku sambil mengamati wajah mereka yang nampak serius memperhatikan ceritaku. “Itu Mo. Masukan buat si hitam.
Kucing Hitam dalam Kabut Malam. Begitu cetus Mbak Wulynee ketika membahas judul cerpen itu. Seolah kami tak bisa move on dari cerita lalu yang juga milik Mas Momo. Kabut pagi kalau tidak salah. Cerita seorang Ayah yang merindukan anaknya yang sudah tak lagi bersamanya karena perceraian yang terjadi. Disusul “Elang”’, “Istana Pasir”, memburu perbincangan kami.
Seperti biasa, kami mengabadikan momen. Mas Momo menjadi kepala keluarga kami saat itu. Kami berjejer seolah sedang berfoto keluarga. Ya. Ini menjadi satu-satunya perkumpulan bagiku. Dengan ini aku belajar berani berucap walau tak jarang bingung dengan apa yang hendak dikatakan. Gugup. Mungkin begitu kata yang tepat.

Malang, 28 February 2016

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design