Minggu, 21 Februari 2016

Sepersekian Detik yang Terlambat

Dika. Dia seumuran denganku. Bulan lahir kami sama, November. Kami sama sama pendiam dan tidak suka keramaian. Satu yang berbeda, aku memiliki kekasih dan dia tidak.
***
Aku mengenalnya sejak kelas 2 SMP. Dia tak sering masuk sekolah karena sakit-sakitan. Itulah mengapa aku mengenalnya. Selain itu, Dika adalah sosok yang rajin di kelas. Bu Imas, guru Bahasa Inggrisku pernah menunjuk kami menjadi perwakilan kelas F untuk kegiatan kunjungan dari Bandung International School. Tak jarang pula aku melihatnya dijemput oleh ibunya dengan sepeda motor listrik. Sementara aku dan peer groupku berjalan melewati aspal Panyirapan yang panasnya melelehkan alas sepatuku.
Selama aku mengenalnya, tak satu pun kata pernah terlontar antara kami. Aku pun tak sering melihatnya bercengkrama dengan teman dekatnya. Dia jarang bicara dan begitu pendiam. Hingga satu kesempatan aku melihat di sudut pandangku, ia sedang memperhatikanku. Aku bahkan tak yakin bahwa ia memandangiku. Esoknya, aku masih melihatnya memandangku. Berulang hingga beberapa hari ke depan dan masih tetap sama. Tatapan tanpa sapaan. Bahkan aku ragu bahwa ia tahu namaku.
Hujan begitu deras. Kelasku terletak di sebelah utara gedung utama sekolahku. Tanah merah membuat sepatuku menyisakan jejak di lantai. Ada satu jejak yang sama di depanku. Itu bukan jejakku. Jejak sepatu Dika yang ia tinggalkan hingga menuju kelasku. Aku tak mengucapkan salam dan duduk di bangku paling depan. Saat itu hanya ada kami, juga sisa pelajaran kemarin yang masih membekas di papan tulis. Aku membuka lembaran kosong di bukuku. Aku ingin sekali menyapa anak itu. Si penyendiri yang tak pernah kudengar suaranya itu. Namun kali ini ia tak menatapku sama sekali. Seolah aku tak berada di sana. Ia sedang duduk memandangi anak kelas lain yang berlarian karena kehujanan.
***
Aku selalu duduk di barisan paling depan. Bukan karena mataku minus. Aku lebih suka jika tatapanku langsung menuju pada guruku. Belum lagi glukaoma yang aku alami, membuatku tak jarang meninggalkan pelajaran. Ibuku tak jarang menjemputku, dengan sepeda listrik yang  lagi ngetren kala itu. Aku duduk seperti anak kecil di belakangnya. Merasakan mentari yang panasnya seakan melelehkan ban sepeda motor listrik ibuku.
Aku melihat seorang gadis yang duduk sebaris denganku. Hanya terhalang oleh satu bangku saja. Hasni. Kerudungnya cukup rapih dibandingkan anak-anak yang lain. Jika aku melihat wajahnya yang bulat itu, aku bisa merasakan ke-jutekan yang amat besar. Dia supel, rajin, dan memiliki peer group yang menyenangkan. Selama kami berada di kelas yang sama, kelas F, tak satupun kami pernah menghamburkan kata secara bersamaan. Bahkan ketika aku dan dia dipilih menjadi perwakilan kelas untuk kegiatan kunjungan dari Bandung International School. Masih tak juga aku berkenalan dengannya.
Pagi itu masih berkabut. Belum banyak siswa yang datang sepagi ini. Selain berkabut, pagi itu turun hujan. Daerah sebelah utara gedung sekolahku masih belum dipasang paving block, membuatku menyisakan jejak merah di lantai. Aku membuka pintu kelasku yang baru saja dibuka gemboknya. Kelas masih sangat sepi dan begitu dingin.  Bertambah dingin ketika anak itu memasuki kelas. Suasana cukup menegangkan untuk anak kecil seusia kami. Entah mengapa aku ingin menyapanya. Dia satu-satunya wanita yang ingin aku sapa dibanding teman yang lain. Dia jelas bukan pendiam, tapi tatapannya yang acuh dan jutek itu membuatnya, um, terlihat cantik.
Dia membuka bukunya. Membolak-balik kertas kosong yang masih sepi. Sama sepinya kelasku yang masih belum ada siswa yang datang. Di luar, anak-anak berlarian diserbu hujan yang semakin deras. Mereka mengibas-ngibaskan rambutnya yang kebasahan. Satu per satu temanku berdatangan. Kelas menjadi hangat, walau sebenarnya hatiku masih tetap dingin. Lebih dingin lagi ketika aku melihatnya, namun ia tak melihatku.
***
Aku berencana mengunjungi rumah temanku, Aul, di Soreang Indah. Seperti biasa pula kami tertawa dan menceritakan hal yang tak penting. Jalannya begitu berliku, bukan karena berbatu atau curam, begitu banyak tikungan. Aku masih tertawa dan tak menyadari, Dika melintas dihadapanku dengan sepeda yang bukan milik ibunya. Aku hampir lupa padanya. Sudah 2 tahun lalu sejak terakhir kali aku melihatnya. Dia tampak berubah. Namun satu yang pasti, kami masih tak saling menyapa. Sepersekian detik yang masih tetap sama.
Aku diajak makan siang di rumah Aul. Sambal buatan ibunya Aul begitu enak. Juga sayur sop jagung yang juga enak. Aku makan bersama keluarga Aul, kecuali ayahnya yang sedang di luar kota. Setelah perut terisi, aku keluar dari rumah Aul, merasakan terik yang begitu menyengat. Mataku menyipit kala itu, bukan karena teriknya. Aku memfokuskan pandangan melihat seseorang jarak 10 meter. Dika! Teriakku tak terucap. Ya, Dika sedang melajukan sepedanya tepat melintas dihadapanku. Refleks. Keinginanku sejak SMP untuk menyapanya terjadi di sepersekian detik itu.
“Dika..” Ucapku mengambang. Entah menyapa atau bertanya memastikan bahwa ia adalah Dika, teman SMPku.
“Ya..” Jawabnya tak berekspresi.
“Kamu Dika teman SMPku kan?” Kini aku memastikan.
“Iya..” Jawabnya datar.
“Kamu sekolah di mana sekarang? Boleh minta nomor handphone? Aku ada PR Bahasa Inggris.”
“Di SMAN 1 Soreang. Oh, iya boleh. Rumahku berpagar hijau di ujung jalan ini.”
Degup jantungku tak karuan. Terik panas itu membuatku bertemu dengannya. Kini aku sudah berani menyapanya, si anak pendiam. Kini aku tahu bagaimana suaranya. Suaranya berat, khas anak yang sedang dalam masa pertumbuhan. Aku tersenyum sendiri di depan rumah, Aul. Seperti melepas rindu yang tertahan. Bahagia.
Aku tak tahu, apakah aku jatuh cinta padanya sejak SMP atau tidak. Bahkan aku tak tahu apa itu cinta. Langkahku masih tak beranjak sejak aku bertemu dengannya. Kini, langkahku masih menuju rumah berpagar hijau. Sudah sampai ujung. Aku berjalan mondar-mandir di sana. Tak kutemukan rumah berpagar hijau yang ia maksud. “Rumah Dika yang itu, Kak,” Ucap anak kecil yang sedang main sepeda di halaman yang entah rumah siapa. Tak lama kemudian, Dika keluar. Senyumnya mengembang lebar untuk pertama kalinya. Aku sadar akan itu, hingga kami berhadapan. Dia memberikan telapak tangannya yang sudah bertuliskan nomor handphone-nya.
***
Siang itu sangat terik. Aku melajukan sepedaku menuju warung 123. Orang-orang mungkin sedang tidur siang. Hanya ada beberapa penikmat terik di siang ini. Begitu pula 2 gadis yang sedang tertawa entah atas dasar apa. Aku melintasi mereka. Tak dengan seluruh pandanganku, jelas terlihat wajah jutek itu. Hasni. Dia masih di sini. Namun kakiku tak berhenti mengayuh sepeda hingga tikungan yang membuat kami berpisah.
Aku ingin menyapanya. Namun rasa inginku dikalahkan oleh ketidak adaannya keberanian untuk berucap. Entah kapan terakhir aku bertemu dengannya. Wajahnya masih cantik seperti terakhir aku melihatnya. Kerudungnya masih rapih, begitu pun wajah juteknya yang masih sama. Berbeda ketika aku memandangnya, wajahnya mengekspresikan rindu yang tertunda. Aku mengayuh lagi dengan perasaan sedikit senang. Melintasi perumahan Soreang Indah yang masih sepi karena panas begitu menyengat.
10 meter jaraknya. Aku melihat seorang gadis tengah berdiri di depan rumah yang aku tak tahu itu rumah siapa. Perlahan tapi pasti, penampakan gadis itu menyerupai, Hasni. Ya.. Hasni! Teriakku keras dalam pikirku. Tapi kakiku tak berhenti mengayuh. Aku tak bisa menghentikannya dengan pasti. Aku terlalu gugup untuk pertemuan yang mendadak itu. Menyembul namaku yang ia setengah teriakkan. “Dika..” Ucapnya mengambang. Kini aku tahu suaranya. Tatapnya sudah tak membuatku merasa sendirian. Aku masih melihtanya secantik dulu ketika kami masih sama-sama duduk di bangku SMP.
Aku mulai bertukar nomor handphone dengannya. Hidupku yang sepi mulai terisi oleh kehadiran anak jutek yang sangat ingin aku kenal sejak SMP. Sudah 2 tahun tertahan salam perkenalan ini. Dia adalah pengecualian bagiku. Dia satu-satunya yang mampu memasuki hidupku yang sepi. Ya.. Hidupku yang hanya ada aku dan duniaku yang mono: tak berwarna.
***
Aku semakin mengenalnya. Kepribadiannya yang unik dan menyenangkan. Jika tahu begini, sudah lama aku menyingkirkan keraguanku untuk mengenalnya. Pagi ini aku menunggunya di depan jalan Gading Tutuka. Ternyata sekolah kami bertetangga. Jalannya masih khas, seperti dulu terakhir kali aku melihatnya membuat jejak di lantai depan kelasku. Dia tersenyum lagi. Senyumnya bertubi-tubi, begitupun denganku. Langkah kami sudah beriringan. Jalan yang cukup ramai itu seolah tiada arti. Aku berdialog dalam dunianya yang sepi.
“Ini cerita yang kamu minta.” Dika masih melempar senyuman.
“Makasih ya, Dik. Aku harus ngasih apa nih?”
“Aku minta satu, tapi akan terasa berat untuk kamu.”
“Apa?” Lirikku penasaran.
“Maukah kamu menemaniku dalam duniaku yang sepi?” Lirikku pada matamu yang juga menatapku.
“Tapi, duniaku sudah tak sepi lagi, Dik.” Kau menunduk
Jalanan yang ramai, terasa begitu hening. Kegugupan antara kami begitu terasa. Membawa memori ketika kami saling terduduk tanpa sepatah kata. Lembar cerita dan mentari yang bersinar cukup tertang pun menjadi saksi. Bukan aku takut merajut kasih. Namun hatiku telah terlebih dahulu melupakan perasaan yang seharusnya hadir saat ini.

2 komentar:

  1. bagusss cuma agak bingung aja sama point of view antara keduanya._. awalnya gak paham tp jadi ngerti. semangat!

    BalasHapus
  2. Hehehe iya. Aku lagi suka bikin yg dua sudut pandang. Emang agak bingung buat yg jarang nemuin.makasih heheh ;)

    BalasHapus

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design