Rabu, 24 Februari 2016

Bagian Hati yang Hilang Part 2

“Semua terjadi begitu saja. Masih terasa berat langkahku meninggalkanmu dalam keramaian yang sebenarnya adalah kerumunan keheningan. Aku membiarkan semua terjadi sama seperti yang Tuhan inginkan. Aku meyakini bahwa semua akan baik-baik saja, sekalipun kita harus berpisah. Tangis yang Kau beri meyakinkanku bahwa cintaku hanyalah untuk-Mu”
***
Dinding yang ramai itu akan segera kesepian. Aku sudah mempersiapkan keberangkatanku ke Australia untuk melanjutkan studiku di Nanyang University. Aku akan merindukan ayah dan ibu tentunya, keluargaku, teman-teman di teater, tak terkecuali si pemilik senyum anggun yang hingga kini masih ada dalam pikiranku. Aku duduk tepat di depan laptop yang selama ini menemaniku berkomunikasi dengan Annisa. Saat itu pun aku mengiriminya pesan dan tak lupa aku kabarkan bahwa esok aku akan pergi ke Australi.
Jam dinding berdetik seolah menginginkan perjumpaanku dengan Annisa malam itu. Aku sempat beberapa kali melihat senyum Annisa di depan wajahku. “Astagfirullah.” Aku mengusap wajahku dan kemudian pergi mengistirahatkan diri. Malam ini sudah tak “sedingin” malam kemarin. Ibu sudah memberi pesan yang begitu berharga tentang sebuah penantian mulia. Suara batinku sudah rela--melepaskannya.
Ibu dan ayah mengantarkanku ke Bandara Husein. Suasana pagi itu sungguh hangat dan menentramkan. Mentari hangat menyapa wajahku. Aku mendengar panggilan rindu dari teman-temanku, pepohonan di halaman belakang, juga senyum Annisa yang masih membayangi. Aku sempat ragu dengan pilihanku. Bagaimana perasaanmu bila kau meninggalkan seseorang yang kau kasihi? Aku sungguh tak menampik akan keindahan yang tersirat di setiap hariku. Aku sungguh bersyukur karenanya. Termasuk dengan perpisahan yang semakin mendekatkanku kepada-Nya.
Assalammualaikum, Annisa? Aku tahu ini akan berat pada awalnya. Aku pun mengakuinya. Sangat sulit untuk tidak mengakui bahwa aku menyimpan rasa padamu. Aku sadar, aku belum siap untuk menikahimu. Aku mengikhlaskanmu jikalau kau ingin menikah dengan yang lain. Semua sudah diatur dan aku percaya itu. Semua akan indah pada waktunya. Jika penantianku akan berujung padamu, Tuhan pasti akan menjagamu untukku. Aku pergi sekarang Annisa. Wassalammualaikum.”
***
Aku sedang berdiskusi ringan terkait konsep penataan ulang tata letak saluran air di sekitar kampusku. Dea, Arsil, dan Rio sudah merancang semuanya dan memintaku memberi masukan. Aku melihatnya dengan seksama. Semua orang begitu serius menatapku awalnya. Hingga aku terkejut ketika Arsil mengoyak-oyak badanku. Aku baru saja membayangkan senyum manis Annisa.
Dua tahun sudah aku jalani kehidupanku di perantauan ini. Sidang kelulusanku akan segera dilaksanakan beberapa hari lagi. Aku sudah bersiap-siap dengan pakaian ter-rapih yang aku miliki. Aku berjalan dengan santai, pagi masih terlalu pagi namun aku dapat melihat penampakan alam yang begitu indah. Aku berdiri di dekat Marina Bay, menikmati udara yang masih sejuk.
Arsil, Dea, dan Rio sudah berdiri di depan ruangan di mana sidangku akan dilaksanakan. “Ayo.. Kamu pasti bisa.” Ucap salah satunya sambil menepuk pundakku. Aku berjalan optimis memasuki ruangan itu. Damai. Berbeda ketika aku keluar dari Ruangan itu. Semua terasa hampa dan tak bernyawa. Aku berjalan gontai bagai juga tak bernyawa. Ketiga sahabatku sudah menungguku dengan setia. Wajah mereka terlihat khawatir dengan keadaanku saat itu. Aku menahannya hingga beberapa saat kemudian—aku tersenyum bahagia karena aku lulus.
Para turis sedang mengabadikan momen di dekat Merlion. Aku pun teringat ketika pertama kali aku mendatangi tempat ini pun melakukan hal yang sama. Aku duduk lagi di tepi Marina. Merasakan lagi angin senja dan juga lanskap yang terpampang indah ketika itu. Hening dan bahagia, begitulah alam dan aku menyatu saat itu. Hingga suara itu terdengar jelas dari belakangnku—Dea dengan segelintir balon gas digenggamannya.
“Khoirul..”
“Dea.. Ada apa datang kemari?”
“Aku ingin memberikan ini kepadamu, Rul.” Wajahnya menunduk. “Aku ingin terus bersamamu. Aku sudah menyimpan ini cukup lama. Aku harap kau mengerti.” Ulur tangannya memberikanku sekumpulan balon itu.
Aku tercengang hebat. Dea.. Balon itu terbang sebelum aku menggapainya. “Maaf.. Tapi aku tidak bisa.” Aku bergeming. Suasana di sekelilingku kemudian hening. Sama heningnya ketika aku membiarkan Annisa dalam penantian—awalnya.
Dea adalah sahabatku sejak aku studi di sini. Aku, Dea, Arsil, dan Rio selalu bersama-sama sepanjang tahun. Aku tak menyangka bahwa Dea menyimpan rasa itu padaku. “Dea sudah seperti adikku sendiri.” Bahkan ketika ia ada di hadapanku dan mengutarakan perasaannya itu, aku masih terbayang pada Annisa. Annisa masih menantiku. Tuhan pun masih menjaga perasaanku untuknya.
***
Keberangkatanku sudah tinggal menghitung jam. Aku sudah berpamitan dengan sahabat-sahabatku. Suara mereka sudah aku simpan dalam rekaman hanphone-ku. Mereka sangat mendukung kepulanganku ke Indonesia, tak terkecuali Dea. Senyum Dea pagi ini begitu tulus tak seperti kemarin. Aku sempat merasa bersalah padanya karena sudah mematahkan perasaannya. Namun, aku percaya, Dea, akan menemukan yang lebih baik dan ia butuhkan.
“Assalammualaikum, Annisa? Waktu berlalu. Tapi perasaanku tidak. Aku di sini sudah mempersiapkan diri untuk bertemu denganmu. Sudah banyak pula waktu kulalui. Tapi keyakinanku masih padamu. Aku bertemu denganmu lewat mimpi. Mungkinkah itu jawaban dari setiap doaku? Annisa, bersediakah kau untuk menjadi penyempurna agamaku?”
Aku sudah menyampaikan niatku untuk menikahi Annisa pada kedua orangtuaku. Mereka setuju. Esok hari aku akan menemui Annisa di rumahnya. Rasanya, sakit yang dulu kurasakan akibat perpisahan itu tak ada artinya dengan kebahagiaan yang aku rasakan. Aku mengerti, mengapa Tuhan memisahkan kami. Tuhan ingin memberikan yang terbaik dan tepat pada waktunya. Ibu menyambutku dengan pelukan hangat. Begitu pula ayah yang sudah berdiri di belakang ibu. Aku kembali ke rumah.
Detik jam membangunkanku kembali. Selalu pada sepertiga malam yang mulia. Sebentar lagi akan ada sosok wanita yang akan menemaiku. Annisa. Wajahnya masih terbayang dengan jelas sejak terakhir pertemuanku dengannya. Pagi harinya, aku dan orangtuaku sudah bersiap untuk mengunjungi rumah Annisa. Tak lupa aku bawa selembar kertas yang baru terisi tiga paragraf itu untuk ia lengkapi kisahnya. Kami pergi dengan hati damai, sedamai hari yang Tuhan sebut sebagai hari kemenangan.
“Assalammualaikum, Annisa?”
“Waalaikumsalam.. Khoirul?” Wajahnya berubah warna. Aku masih tak kuasa menatapnya dengan tenang.
“Nis, maukah kau melengkapi kisah wanita yang sedang patah hati ini?” Aku memberikan kertas yang kugenggam sedari tadi.
“Akhirnya wanita itu mengerti. Kehilangan yang ia rasakan bukanlah semata-mata kesedihan yang benar. Melainkan sebuah kebahagiaan yang tertunda.” Ucapnya sambil melirikku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design