Kamis, 25 Februari 2016

Nikah atau Putus


“Aku tak mungkin membiarkan semua ini terus berlarut.”
Oh iya.. Namaku Siti Fatima. Aku biasa memanggilku Ima. Aku sedang berkuliah di UIN Malang. Tempat yang turun-temurun bagi keluargaku. Saat itu aku sedang menunggu waktu untuk berkonsultasi dengan dosenku. Aku mondar-mandir masih dengan setumpukkan kertas-kertas yang semakin akrab menemaniku. Di ujung teras tempatku sedang berdiri, ada seorang pemuda yang tampak kebingungan. Hingga akhirnya ia sampai kehadapanku. “Maaf Mbak, gedung D Fakultas Adab di mana ya?” Aku kemudian menunjuk arah gedung yang ia maksud tanpa mengatakan apapun lalu pergi.
Aku benar-benar tak menyangka akan dihampiri seorang pemuda hari ini. Aku sempat begitu gugup karena bertemu dengannya, bagiku tidaklah mudah untuk mendengar suaranya yang—indah. Aku menyingkirkan beberapa motor yang menghalangi kendaraanku. Tiba-tiba dari belakangku muncul pemuda tadi yang membantuku memindahkan kendaraan yang lain. “Terimakasih. Nama kamu siapa?” Ulur tangannya mengajak bersalaman. Aku hanya tersenyum sambil merasakan detakkan jantungku yang membuatku gemetaran. Aku tersenyum ketakutan sambil melajukan motorku. “Ima..”
Malam ini terasa lebih panjang dari malam-malam yang lain. Aku berniat membuka jendela untuk mengundang angin malam. Kamarku yang berukuran 2x3 ini terasa begitu pengap. Tapi, aku kemudian melihat warna kelabu yang kemudian membawaku ke dunia itu. Warnanya serba putih. Daun putih, tanah putih, gunung putih, semuanya putih. Aku kira, ini adalah syurga. Semua terasa sunyi. Tak ada getaran, apalagi gelombang. Hingga datang dari ujung pelupuk mataku seseorang yang siang ini aku temui. “Nama aku Rizal.” Aku mengedipkan mata, lalu menguceknya dengan kedua tanganku. Mentari sudah melewati celah tirai orange-ku.
Aku sudah siap untuk hari ini. Mengerjakan revisi tugas-tugas kuliahku. Aku membuka gerbang dan.. hari ini membuatku bertemu dengan pria itu lagi. “Hai, namaku Rizal. Kemarin aku belum sempat memperkenalkan diri.” Tahu dari mana dia alamat rumahku? “Aku kebetulan tinggal di ujung komplek ini.” Dia turun dari kendaraannya. “Mau ke kampus kan? Bareng aja yuk?” Aku berpikir keras akan ajakannya. Berbicara dengannya saja membuat aku tak karuan. Apalagi duduk bersebelahan dengannya? “Kamu bisa menyimpan tas mu diantara kita. Jadi kita takkan bersentuhan.” Dia menjawab kegelisahanku yang belum aku ungkapkan.
Aku mulai berani berbicara dengannya. Bahkan aku sudah berani tersenyum tanpa ketakutan lagi. Aku diajak ke sebuah taman yang baru saja di bangun di sekitar komplek kami. Kami menghabiskan waktu saling bercerita. Aku pun menceritakan tentang mimpiku semalam. “Sebenarnya aku tahu bahwa namamu itu Rizal. Semalam kau datang ke mimpiku.” Dia tersenyum lalu ikut pula menceritakan mimpinya. Kami semakin akrab.
Aku mulai bercerita tentang Rizal, kepada temanku, Sholiha. Sejak kami memutuskan untuk—berpacaran—kami berkomitmen untuk saling menjaga. Sholiha begitu tercengang. Matanya membulat membuatku takut. “Tenang. Aku tak berbuat yang macam-macam kok berpacaran dengannya. Dia pun lelaki yang baik dan sholeh.” Aku menjelaskan. “Setan lebih pintar dari kita. Ingat itu. Aku tak ingin kau terjerumus pada kenikmatan sesaat.” Matanya memancarkan kegelisahan. Sama persis ketika pertama kali aku merasakan perasaan yang aku anggap cinta.
Aku semakin yakin dengan jalan yang aku pilih. Rizal selalu mengingatkanku untuk shalat. Dia pasti akan menjadi imam yang baik. Aku tinggal menunggu waktu dia siap menjadikanku makmumnya. Sholiha bilang, aku harus cepat menikah dengannya, atau putuskan dia. Begitu katanya pagi ini. Pesan pembuka yang membuatku sedih sekaligus takut.
Aku merenungkan perkataan Sholiha hari itu. Dia benar, aku seharusnya tidak berpacaran. Bahkan hadist yang ia tunjukkan padaku itu sangat jelas. Tidak ada yang namnya pacaran. Aku berjalan sendirian. Taman ini masih ramai. Aku sengaja mengajak Rizal bertemu sore ini. Wajahnya begitu bahagia ketika bertemu denganku. Tanpa basa-basi, aku langsung mengungkapkan apa niatku menemuinya. Wajahnya langsung berubah 180 derajat. Senyumnya berubah jadi raut kesedihan. “Aku belum cukup umur untuk mempersuntingmu. Aku pun belum punya banyak uang untuk membiayai kehidupan kita. Katanya menjelaskan. “Kalau begitu, putuskan saja hubungan ini. Kita sama-sama tahu bahwa pacaran tak ada dalam aturan agama kita.” Kataku tegas.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design