“Bintang itu terlihat
sendirian, sama sepertiku. Di sudut kamar dengan harap-harap cemas menanti
keputusan sang pembawa takdir.”
***
Sejak kakakku Ike lulus
dari SMAN 8 Bekasi, ia memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik di Katapang. Sebenarnya kak Ike ingin melanjutkan kuliah,
namun karena orangtuaku bekerja sebagai buruh, kak Ike memilih bekerja dan
menghasilkan uang sendiri untuk membiayai kuliahnya. Menurutku, kak Ike adalah
orang yang ulet dan memiliki etos kerja yang tinggi. Ia bekerja 8 sampai 11 jam
dalam sehari.
Suatu hari, kak Ike
meminta izin kepada ibu dan ayah untuk tinggal disebuah kost-an dekat tempanya
bekerja. “Capek juga kalau harus bolak-balik setiap hari, sayang juga uangnya
buat ongkos,” katanya sambil menghidangkan sarapan pagi. Ayah dan ibuku hanya
saling berpandangan dan menyuap nasi seperti tak merasakan rasa sambal yang
menurutku sangat pedas. Setelah kakakku menghabiskan sarapannya, ia langsung
pergi bekerja dan melangkahkan kaki lebar-lebar melewati halaman rumah.
Aku tahu, kakakku
adalah orang yang sangat prihatin. Bahkan aku tahu, saat kakakku duduk di
bangku SMP, ia sering pergi ke kebun untuk memakan nanas muda. Ibu tidak
memasak karena ayahku dulu bekerja keliling kota dan tak tentu kapan ia pulang.
Belum lagi ketika ia menghabiskan waktu 3 tahunnya dirumah saudaraku, sekolah
dan bekerja untuk membiayai sekolahnya. Keadaan yang keras, mendidik kakakku
menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Selain itu, kak Ike adalah
kebanggaanku, aku ingat nilai Ujian Nasional SMAnya yang memiliki nilai
rata-rata diatas 8.
***
Siang harinya, aku
mendengar ibu sedang mengobrol dengan ayah, membicarakan perkara keinginan kak
Ike untuk tinggal di kost dekat tempat kerjanya. Aku yang baru pulang sekolah,
iseng ikut mendengarkan perbincangannya dari balik pintu.
“Bukan apa-apa, takut Ike kenapa-kenapa. Ibu kan
tahu sendiri pergaulan anak zaman sekarang itu seperti apa,” kata ayah sambil
memindahkan channel televisi. Sementara itu, ibu terlihat mondar-mandir
dihadapannya sembari memegangi secangkir teh yang aku rasa sudah dingin. Aku
yang sudah sekitar 10 menit duduk di depan teras, kemudian berlalu ke rumah Ita
untuk membayar arisan. Langkah demi langkah aku perhatikan pergantiannya,
sembari mengingat kekhawatiran ayah soal kak Ike. Aku lebih setuju pada ayah.
Akhir-akhir ini aku melihat kak Ike sering menatapi layar ponselnya, aku kira
kak Ike memiliki kekasih. Padahal aku tahu, sejak SMP sampai SMA, kak Ike tidak
pernah terlibat soal percintaan. Berbeda sejak kak Ike tinggal disini, ia
sering bergaul dengan kelompok pemuda yang menurutku kurang baik. Walaupun aku
tahu, kak Ike bisa menjaga diri, tapi tak menutup kemungkinan sesuatu yang
buruk dapat mempengaruhinya.
Sepulang
dari rumah Ita, aku melihat ayah sedang menyiram bunga, dan kak Ike sedang
bermain dengan ponselnya. Aku yang baru datang, langsung menyalami ayah dan
juga kak Ike lalu masuk ke rumah. Saat itu, aku melihat ibu sedang memasak,
tapi aku heran mengapa kak Ike tidak membantu ibu dan malah asik dengan
ponselnya. Terkadang aku melihat ia senyum-senyum sendiri dan menelpon tengah
malam yang mungkin itu pacarnya. Aku ingin menegur kak Ike, tapi aku sungkan
karena kak Ike dan aku berbeda ayah. Bahkan kak Ike pernah bilang: “Kamu tuh
enak punya ayah, segala kalau mau pasti dituruti. Beda dengan kakak. Kakak
harus melakukan semua sendiri, bahkan saat SMP kakak sering disuruh mencari
rumput untuk kambing-kambing. Jika kakak tidak menurut, kakak akan dimarahi dan
itu rasanya sangat tidak enak.” Aku saat itu hanya tertunduk dan merasa iba
pada kak Ike. Mungkin kak Ike benar, hidup aku lebih beruntung darinya. Tapi,
aku tak sampai pikir kak Ike beranggapan bahwa ayah pilih kasih. Bagiku, ayah
itu ayah yang adil.
Ketika
embun masih membasahi dedaunan, aku melihat kak Ike sudah siap dengan beberapa
tas yang terisi penuh. Apakah kak Ike
diizinkan untuk pergi? Kemudian ibu menyusul dari belakang dan membawakan
sarapan yang dibungkus daun pisang.
“Satu pesanku, jaga diri baik-baik dan jangan lupa
beribadah,” kata ayah yang saat itu sedang duduk membaca koran.
“Jika ada apa-apa, bilang pada ibu. Sering jugalah
main kemari jika ada waktu luang,” ibu berpesan sambil memeluk kak Ike.
“Iya ayah, ibu. Ike pasti akan jaga diri baik-baik
dan selalu ingat pesan ayah dan ibu.,” jawab kak Ike sambil menyalami ibu dan
ayah.
“Kamu juga jadi anak yang pinter ya, jangan
malas-malasan” pesan kak Ike padaku kemudian.
Pagi yang haru, membuatku kembali teringkat akan
kepergian kak Ike saat ia harus bekerja untuk melanjutkan sekolahnya. Aku
mengantar kak Ike sampai angkutan kota, dan memandanginya hingga hilang di
ujung jalan. “Aku pasti akan merindukanmu kak,” Bisikku dalam hati.
***
Siang itu, aku baru
selesai mengerjakan tugas kelompok. Ayah saat itu sudah pulang dari berkeliling
kota dan membawakan aku belimbing yang besar-besar sesuai permintaanku. Aku
ingat pula, hari ini sudah 3 bulan kak Ike tidak berkabar pada keluarga. Niatku
ingin berkunjung ke tempatnya, tapi ayah tak mengizinkan. Aku rindu pada kak
Ike, walau kadang kak Ike suka menyubitku dan menyisakan warna merah padanya.
Kak Ike tetaplah kakakku. Hingga malam menjelang, handphone milik ayah berdering tak biasanya. Aku saat itu asik saja
memakan belimbing. Hingga rona wajah ayahku berubah sangat marah dan kesal. “Telpon
dari pak RT, katanya kita di suruh ke tempatnya kak Ike.” Ibu yang mendengar
hal itu langsung mendekat dan bertanya atas hal apa yang terjadi. Singkatnya,
kak Ike akan dinikahkan dengan seorang pemuda karena ketahuan berduaan di kamar
kostnya. Aku sungguh sedih bukan main mendengar hal itu. Kakak kebanggaanku
kini telah mencoreng nama baik orangtuanya. Malam yang terasa panas itu hanya
menyisakan aku sendiri, di sebuah kamar sepi tanpa pencahayaan. Ibu dan Ayah
memutuskan untuk datang ke tempat kak Ike.
Malam yang mendebarkan
itu akhirnya berlalu. Seharusnya kak Ike bisa bebas jika ia memang tak
melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Namun setelah dirundingkan sampai ke pihak
kepolisian, kak Ike diharuskan menikah dengan pria itu, Andri. Bukan lagi ibu
atau ayah, tapi aku. Aku merasakan betapa sesaknya dada ini mendengar keputusan
itu.
Hari di mana kak Ike
menikah akhirnya tiba. Aku tak menghadiri acaranya dengan alasan aku sibuk di
sekolah. Entah mengapa aku menjadi benci pada kak Ike. Bahkan aku tak ingin
melihatnya lagi. Kebencianku sungguh kelam dan aku tak bisa membuat kopi hitam
menjadi sebening embun pagi.
0 komentar:
Posting Komentar