Senin, 15 Februari 2016

Takdir yang Tidak Diharapkan

“Bintang itu terlihat sendirian, sama sepertiku. Di sudut kamar dengan harap-harap cemas menanti keputusan sang pembawa takdir.”
***
Sejak kakakku Ike lulus dari SMAN 8 Bekasi, ia memutuskan untuk bekerja di sebuah pabrik di Katapang.  Sebenarnya kak Ike ingin melanjutkan kuliah, namun karena orangtuaku bekerja sebagai buruh, kak Ike memilih bekerja dan menghasilkan uang sendiri untuk membiayai kuliahnya. Menurutku, kak Ike adalah orang yang ulet dan memiliki etos kerja yang tinggi. Ia bekerja 8 sampai 11 jam dalam sehari.
Suatu hari, kak Ike meminta izin kepada ibu dan ayah untuk tinggal disebuah kost-an dekat tempanya bekerja. “Capek juga kalau harus bolak-balik setiap hari, sayang juga uangnya buat ongkos,” katanya sambil menghidangkan sarapan pagi. Ayah dan ibuku hanya saling berpandangan dan menyuap nasi seperti tak merasakan rasa sambal yang menurutku sangat pedas. Setelah kakakku menghabiskan sarapannya, ia langsung pergi bekerja dan melangkahkan kaki lebar-lebar melewati halaman rumah.
Aku tahu, kakakku adalah orang yang sangat prihatin. Bahkan aku tahu, saat kakakku duduk di bangku SMP, ia sering pergi ke kebun untuk memakan nanas muda. Ibu tidak memasak karena ayahku dulu bekerja keliling kota dan tak tentu kapan ia pulang. Belum lagi ketika ia menghabiskan waktu 3 tahunnya dirumah saudaraku, sekolah dan bekerja untuk membiayai sekolahnya. Keadaan yang keras, mendidik kakakku menjadi orang yang mandiri dan bertanggung jawab. Selain itu, kak Ike adalah kebanggaanku, aku ingat nilai Ujian Nasional SMAnya yang memiliki nilai rata-rata diatas 8.
***
Siang harinya, aku mendengar ibu sedang mengobrol dengan ayah, membicarakan perkara keinginan kak Ike untuk tinggal di kost dekat tempat kerjanya. Aku yang baru pulang sekolah, iseng ikut mendengarkan perbincangannya dari balik pintu.
“Bukan apa-apa, takut Ike kenapa-kenapa. Ibu kan tahu sendiri pergaulan anak zaman sekarang itu seperti apa,” kata ayah sambil memindahkan channel televisi. Sementara itu, ibu terlihat mondar-mandir dihadapannya sembari memegangi secangkir teh yang aku rasa sudah dingin. Aku yang sudah sekitar 10 menit duduk di depan teras, kemudian berlalu ke rumah Ita untuk membayar arisan. Langkah demi langkah aku perhatikan pergantiannya, sembari mengingat kekhawatiran ayah soal kak Ike. Aku lebih setuju pada ayah. Akhir-akhir ini aku melihat kak Ike sering menatapi layar ponselnya, aku kira kak Ike memiliki kekasih. Padahal aku tahu, sejak SMP sampai SMA, kak Ike tidak pernah terlibat soal percintaan. Berbeda sejak kak Ike tinggal disini, ia sering bergaul dengan kelompok pemuda yang menurutku kurang baik. Walaupun aku tahu, kak Ike bisa menjaga diri, tapi tak menutup kemungkinan sesuatu yang buruk dapat mempengaruhinya.
            Sepulang dari rumah Ita, aku melihat ayah sedang menyiram bunga, dan kak Ike sedang bermain dengan ponselnya. Aku yang baru datang, langsung menyalami ayah dan juga kak Ike lalu masuk ke rumah. Saat itu, aku melihat ibu sedang memasak, tapi aku heran mengapa kak Ike tidak membantu ibu dan malah asik dengan ponselnya. Terkadang aku melihat ia senyum-senyum sendiri dan menelpon tengah malam yang mungkin itu pacarnya. Aku ingin menegur kak Ike, tapi aku sungkan karena kak Ike dan aku berbeda ayah. Bahkan kak Ike pernah bilang: “Kamu tuh enak punya ayah, segala kalau mau pasti dituruti. Beda dengan kakak. Kakak harus melakukan semua sendiri, bahkan saat SMP kakak sering disuruh mencari rumput untuk kambing-kambing. Jika kakak tidak menurut, kakak akan dimarahi dan itu rasanya sangat tidak enak.” Aku saat itu hanya tertunduk dan merasa iba pada kak Ike. Mungkin kak Ike benar, hidup aku lebih beruntung darinya. Tapi, aku tak sampai pikir kak Ike beranggapan bahwa ayah pilih kasih. Bagiku, ayah itu ayah yang adil.
            Ketika embun masih membasahi dedaunan, aku melihat kak Ike sudah siap dengan beberapa tas yang terisi penuh. Apakah kak Ike diizinkan untuk pergi? Kemudian ibu menyusul dari belakang dan membawakan sarapan yang dibungkus daun pisang.
“Satu pesanku, jaga diri baik-baik dan jangan lupa beribadah,” kata ayah yang saat itu sedang duduk membaca koran.
“Jika ada apa-apa, bilang pada ibu. Sering jugalah main kemari jika ada waktu luang,” ibu berpesan sambil memeluk kak Ike.
“Iya ayah, ibu. Ike pasti akan jaga diri baik-baik dan selalu ingat pesan ayah dan ibu.,” jawab kak Ike sambil menyalami ibu dan ayah.
“Kamu juga jadi anak yang pinter ya, jangan malas-malasan” pesan kak Ike padaku kemudian.
Pagi yang haru, membuatku kembali teringkat akan kepergian kak Ike saat ia harus bekerja untuk melanjutkan sekolahnya. Aku mengantar kak Ike sampai angkutan kota, dan memandanginya hingga hilang di ujung jalan. “Aku pasti akan merindukanmu kak,” Bisikku dalam hati.
***
Siang itu, aku baru selesai mengerjakan tugas kelompok. Ayah saat itu sudah pulang dari berkeliling kota dan membawakan aku belimbing yang besar-besar sesuai permintaanku. Aku ingat pula, hari ini sudah 3 bulan kak Ike tidak berkabar pada keluarga. Niatku ingin berkunjung ke tempatnya, tapi ayah tak mengizinkan. Aku rindu pada kak Ike, walau kadang kak Ike suka menyubitku dan menyisakan warna merah padanya. Kak Ike tetaplah kakakku. Hingga malam menjelang, handphone milik ayah berdering tak biasanya. Aku saat itu asik saja memakan belimbing. Hingga rona wajah ayahku berubah sangat marah dan kesal. “Telpon dari pak RT, katanya kita di suruh ke tempatnya kak Ike.” Ibu yang mendengar hal itu langsung mendekat dan bertanya atas hal apa yang terjadi. Singkatnya, kak Ike akan dinikahkan dengan seorang pemuda karena ketahuan berduaan di kamar kostnya. Aku sungguh sedih bukan main mendengar hal itu. Kakak kebanggaanku kini telah mencoreng nama baik orangtuanya. Malam yang terasa panas itu hanya menyisakan aku sendiri, di sebuah kamar sepi tanpa pencahayaan. Ibu dan Ayah memutuskan untuk datang ke tempat kak Ike.
Malam yang mendebarkan itu akhirnya berlalu. Seharusnya kak Ike bisa bebas jika ia memang tak melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Namun setelah dirundingkan sampai ke pihak kepolisian, kak Ike diharuskan menikah dengan pria itu, Andri. Bukan lagi ibu atau ayah, tapi aku. Aku merasakan betapa sesaknya dada ini mendengar keputusan itu.

Hari di mana kak Ike menikah akhirnya tiba. Aku tak menghadiri acaranya dengan alasan aku sibuk di sekolah. Entah mengapa aku menjadi benci pada kak Ike. Bahkan aku tak ingin melihatnya lagi. Kebencianku sungguh kelam dan aku tak bisa membuat kopi hitam menjadi sebening embun pagi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design