Selasa, 08 Maret 2016

Ketika Angin Jatuh Cinta

Aku terlahir ketika mentari pagi berpendar. Aku tinggal di sebuah padang rumput di kota Karuma. Setiap hari, aku berhembus menelusupi celah rerumputan yang berbaris rapih. Jika aku sedang berada di atas, aku dapat melihat lapangan hijau membentang. Lalu ia muncul dan membuatku jatuh cinta.
***
Hari ini aku berhembus bersama turunnya hujan. Aku sedikit terseok ketika hendak berjalan santai. Seperti kata penyair yang sedang mencariku. Ia mengagumiku yang berhembus santun. Matanya terpejam. Rambutnya basah. Namun, bibirnya membentuk sabit. Manis sekali.
Aku hanya berhembus sebagaimana alam menginginkanku pergi. Sejak aku lahir, aku selalu berputar-putar di sini—di tempat rumput-rumput menari. Di ujung padang lalu mengawinkan bunga timun suri. Mereka bahagia, tapi tak mengenaliku. Aku tak mengerti. Aku hanya bisa merasakan, namun tak bisa melihat diriku. Aku bahkan tak mengerti apa tujuanku berada di sini. Sempat terbesit dalam diriku untuk—berhenti berhembus.
Dia mulai muncul. Manusia menyebutnya pohon. Ya.. Pohon kecil yang baru lahir. Aku taksir tingginya sekitar 3 cm. Aku menyapanya seperti halnya aku menyapa barisan rerumputan. Aku melihatnya melengkung. Apa aku menyakitimu, wahai makhluk kecil?
Aku masih berhembus walau tak tahu arah dan tujuan. Aku menyapa mereka seperti biasa. Tak terkecuali makhluk yang diameternya sekitar 50 cm. Rambutnya berwarna klorofil. Setiap aku melintasinya, tubuhku semakin berisi. Apa ia memberiku makan? Ah! Dia masih kecil. Sendirian pula di tengah hamparan hijau. Tanpa ibu, apalagi ayah.
***
Aku mulai mendengar ada yang lain. Ini bukan bahasaku. Dia memanggilku dari alam terbuka.
Kau! Datanglah. Mengapa kau tak memelukku?
Mungkinkah?
Aku berlari mengikuti muasal suara asing. Bukan terseok. Mungkin lututku sudah beradu-adu. Aku melihat ia masih sendirian. Tapi, mungkinkah ia memanggilku?
“Hai. Apa kau bisa bicara?”
“Ya. Aku menemukan suaraku 3 hari yang lalu.”
“Lalu, apa kau tau siapa namaku?”
“Angin?”
“Dari mana kau tahu?”
“Kau yang selalu menemaniku. Bagaimana mungkin aku tak mengenalmu?”
“Umm. Lalu, kau itu mahluk apa? Kau tak memiliki bunga. Bagaimana anakmu lahir?”
“Oh... Aku kira, aku ini adalah pohon. Aku bertunas. Aku tak memerlukan bunga.”
“Baiklah... Ada apa kau memanggilku?”
“Aku ingin berbicara padamu. Ini rahasia alam.”
“Sungguh? Apa yang ia katakan?”
“Ia menyanjungmu karena kesantunanmu.”
Waktu berputar. Hubunganku dengannya semakin erat. Bahkan dalam gelap, aku masih menelusup di sekitar celah rantingnya. Aku lebih sering dekat dengannya. Sekalipun ia belum beranak.
Hari ini aku menjatuhkan sehelai daunnya. Apa aku menyakitinya? Dia bergeming saja ketika aku memeluknya.
***
Jadi, apa ini seperti kata penyair itu? Bahwa aku sedang jatuh cinta? Ah! Aku tak ingin jatuh cinta pada pohon, jika aku hanya menggugurkannya begitu saja. Kini, ia sudah mulai layu. Sudah lama hujan tak memberinya minum. Aku memperhatikannya dari jauh. Apa ia merindukanku? Atau membenciku?

2 komentar:

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design