Rabu, 17 Februari 2016

Ketika Senja Diambang Batas

“Angin berhembus tak santun. Beriringan dengan itu pun daun berguguran menyambutku menuju tepian danau. Danau Februari, begitu kami menyebutnya. Aku ingat bahwa hari ini adalah hari yang kau janjikan untuk memberikanku hadiah. Dengan sabar aku menunggu dengan selembar kertas bertuliskan 3,5.”
***
Nomormu tulalit sejak tadi pagi. Aku tahu bahwa kau pasti sedang sibuk dengan kegiatan di kampus. Dengan langkah tenang aku memperhatikan setiap pengunjung danau siang ini. Hanya beberapa saja yang datang. Aku, dan dua orang wanita sebaya denganku yang kini sedang duduk di tepian danau. Seperti biasa, ransel orange-ku selalu penuh. Kau tahu pasti aku merasa lelah dengan barang bawaanku ini. Kau pasti akan membawakannya dan mencubit pipiku.
Hari ini akan menjadi hari yang membahagiakan setelah satu semester kita tidak bersua. Aku membawa KHS (Kartu Hasil Studi) yang kau minta. Kau mengatakan bahwa jika aku lebih baik darimu, kau akan membelikanku eskrim. Bagiku, eskrim memang manis dan menyejukkan. Lebih lagi denganmu, kau lebih manis dan lebih santun dari hembusan di siang menuju sore ini.
Aku menghitung lama waktu kau tak mengabariku. Mungkin sekarang kau masih sibuk di kampus dan mengurusi banyak hal. Tapi, aku yakin kau tak akan lupa dengan janjimu. Wanita itu mulai pergi dari pandanganku. Kini hanya ada aku dan Februari yang menanti kehadiranmu. Hingga aku terduduk dan terlelap. Hembusannya menentramkan hatiku yang gelisah. Hamparan air itu membuatku merasa sejuk. Terlebih pula pada siluetmu. Senyum lebar terkembang memamerkan gingsul, mata menyipit dan aku semakin terhanyut dalam penantian di senja ini.
Ah.. Kau masih sibuk nampaknya. Hingga hujan ini turun diantara perasaan yang mulai damai. Langkahku setengah berlari menghampiri gubuk tua di samping pohon ini. Angin semakin tak santun dan kupeluk ransel besarku untuk menghangatkanku. Aku masih ingin menunggumu. Bahkan hujan ini tak menginginkanku pergi dari sini. Ia menahanku seperti Resimen Mahasiswa yang menahan jurnalis kampus. Mungkin alam ingin aku tetap di sini menantimu.
Warna jingga itu semakin jingga. Lampu di sepanjang jalan mulai memancarkan warna orange khas lampu jalanan. Hujan masih rintik. Kau mungkin tak akan datang. Ingat juga bahwa kau alergi terhadap hujan. Aku senang dengan bintik-bintik merah di tanganmu. Tapi jika wajahmu memancarkan kesedihan yang tertahan, aku bisa apa selain memarahimu karena menembus hujan? Aku berjalan perlahan. Berharap langkah yang lebar-lebar ala kamu segera sampai kehadapanku. Dengan harap harap cemas aku berjalan perlahan menuju pintu gerbang.

***
Sejak pagi ini sinyal hanphone-ku nyala mati. Padahal aku belum memberi kabar padanya bahwa aku ada kunjungan ke kampus sebelah untuk memenuhi undangan. Kau mungkin sudah menunggu di sana, dengan ransel orange-mu yang selalu terisi penuh. Kau selalu mengeluhkan itu padaku. “Aku pegel nih..” Katamu mengkode aku untuk membawakannya. Ekspresi wajahmu selalu membuatku tak tahan untuk sekedar mencubit pipimu. Kau selalu terlihat manis.
Aku harap kau tak lupa untuk membawa KHS semester ini. Karena aku yakin, semester ini kau akan mentraktirku. Walau aku sempat mendengar bahwa kau mendapatkan nilai A di 4 sks mata kuliahmu. Aku sudah siapkan pesananmu. Aku simpan di pendingin di ruang kerjaku. Aku harap kau masih menunggu di sana. Aku akan menyelesaikan tugasku sebelum pukul 4 dan langsung mengunjungimu.
Penerima tamu mengatakan bahwa acara akan ditunda sampai pukul 3, sementara aku harus segera menemuimu. Belum lagi langit mendung sedang mengundang hujan. Sinyal handphone-ku semakin tak karuan. Tak satu pun pesanku terkirim. Aku khawatir kau akan kesal dan meninggalkanku. Tapi aku pun harus menghadiri undangan ini. Menghormati LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) kampus sebelahku.
Akhirnya hujan turun deras. Mungkin kini kau sedang berteduh di gubuk tua di sebelah pohon itu. Aku bayangkan kau yang sedang memeluk ranselmu. Kau pasti sangat kedinginan. Aku semakin khawatir padamu. Tapi, bila kuingat senyummu, perasaanku menjadi damai. Terlebih lagi kau yang selalu menunjuk gingsulku ketika aku tertawa lebar oleh tingkahmu. Ketika mataku menyipit karenanya, kau berkata bahwa kita kembar. Ya, mata sipitmu yang membuatku tak henti memperhatikan kemanakah hilangnya lingkaran hitam di matamu.
Aku tahu kau akan sabar menunggu. Kau pun tahu bahwa aku tak akan ingkar janji. Waktu sudah menunjukkan pukul 5. Aku segera menyudahi pertemuanku yang sudah berjalan setengah jalan. Ketika itu, hujan masih sangat lebat. Kau pasti akan marah jika aku menemuimu dengan diiringi tangisan alam ini. Aku kemudian menatapi langit dan berharap agar hujan ini segera berganti dengan pelangi. Seperti katamu bahwa aku adalah pelangimu. Kebahagiaan setelah hujan kekecewaan.
Berdiri menatap hujan yang belum juga reda. Dengan harap-harap cemas bahwa kau masih menantiku di sana. Sudah kugenggam kresek berisi pesananmu. Kurasa dinginnya udara mampu menahan agar es ini tetap membeku. Teringat pula dengan perkataanmu di sebuah gazebo dekat Fakultas Ushuluddin. “Aku ingin menjadi anggota Resimen Mahasiswa saja kalau begitu,” ketika kataku bahwa Resimen Mahasiswa yang suka mengahalangi para jurnalis. Wajahmu sungguh bahagia mendapatiku tersudut dekat tembok. Dan alam yang masih bersedih ini menahanku untuk menemuimu. Aku tahu kau akan marah jika aku menembus hujan. Aku terus menimbang hal ini. Belum lagi alergiku yang akan menjadi-jadi ketika kulitku bersentuhan dengan hujan.
Aku melihat di sekitar kampus sudah tak ada lagi makhluk yang berkeliaran. Aku langsung berlari menujumu. Dengan kantung kresek yang berayun ayun seriring langkahku. Aku melihat jalanan pun telah sepi. Hanya ada aku yang berjalan di bawah lampu jalan menuju danau . Lampu kuning khas lampu jalanan mulai menyala. Aku percepat langkahku. Berharap kau masih menungguku.
***
Gerbang itu telah ditutup. Bahkan ada gembok yang menyatukannya. Aku kira tak mungkin kau masih ada di dalam. Aku melihat sekeliling, mungkin kau sedang berjalan menuju persimpangan. Aku sengaja mengambil jalan pintas supaya lebih cepat menemuimu. Hanya ada pohon yang kesepian dan angin yang menusuk hingga ke tulang. Aku langkahkan kaki dengan putus asa. Kresek ini pun mungkin bersedih karena tak bisa memberikan isinya kepada gadis cantik yang memiliki IP baik di semester ini.
“Kau lama sekali. Aku sampai kedinginan menunggumu.”
“Kau muncul dari mana?” Ucapku gelagapan.
“Dari balik pohon yang kesepian.”
“Aku kira kau sudah pulang. Maaf karena hari ini aku terlambat menemuimu.” Kuberikan eskrim yang hampir mencair.
“Aku kira kau tak akan datang. Hujan pasti menghalangimu bertemu denganku.” Tangannya meraih kantung kresek yang lecek itu.
“Ya.. Hujan menghalangiku dan menahanmu tetap di sini.”
“Ini adalah pertemuan kita yang sangat mengesankan. Aku berikan rindu yang telah menggunung yang aku simpan sejak awal semester ini.” Kedua tangannya seolah menahan beban.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design