Selasa, 16 Februari 2016

Alif dan Dunianya



Ini akan terdengar sangat klasik. Kisah anak muda yang saling mencintai dengan jarak diantaranya. Aku sangat ingat, kami tak pernah ada hubungan apa pun hingga email yang tak pernah aku kirim itu sampai kepada Alif. Aku sangat ingat pula ketika Ahmad Yani yang mulai mendung itu mempertemukan mata kami untuk pertama kalinya. Alif adalah pria mungil yang memiliki kecintaan besar dalam dunia menulis. Hingga aku pun mulai menintai dunia itu. Alif memperkenalkan kecintaannya itu perlahan, mulai dari sebuah catatan yang rutin ia buat, sampai sebuah bukti nyata tulisannya yang di muat di sebuah media. Beriringan dengan itu pula kemudian kami membangun pertemanan yang menjadi sebuah hubungan yang kebanyakan orang menyebutnya klasik.
“Membaca dulu, baru kemudian menulis.” Begitu kata Alif saat aku ingin menulis sebuah cerpen. Bahkan Alif bisa membuatku ingin menjadi seperti dirinya. Pada suatu pertemuan, Alif memberikan aku sebuah buku karya Ahmad Fuadi. Sejak itu keinginanku menjadi seperti Alif semakin menjadi-jadi. Alif pun tak kalah antusias denganku, dia kadang menantangku untuk menulis dan menerbitkannya di media namun, jelas saja Alif selalu melakukan yang terbaik ketimbang denganku. Masalahku adalah dengan inspirasi yang pada akhirnya merujuk pada sebuah romantisme pemuda masa kini. “Inspirasi itu dibuat, bukan ditunggu.” Kataya kemudian yang mencoba menyemangatiku.
Ini mungkin karena alif mencintai sastra. Aroma tulisan yang ia muat selalu membuatku terpukau akan betapa indahnya kalimat yang terlukis di layar netbookku. Belum lagi cerita Caliandra yang seolah menceritakan dirinya sendiri. Seolah aku Caliandra, dan  Alif sebagai tokoh utamanya. Caliandra yang menjadi curahan hati Alif, namun sayangnya Caliandra hanyalah sebatang tanaman yang kesepian. Ya, aku kesepian dengan dunia Alif yang begitu ramai.
Alif dan aku adalah sosok yang berbeda. Kami mencintai dunia yang sama namun dengan cara yang berbeda. Setiap tulisan yang aku pamerkan pada dunia adalah tulisanku tentangnya. Berbeda dengannya yang tak pernah sedikit pun menuliskan hal tentangku. Alif yang pendiam dan aku yang begitu gila. Mungkin karena aku adalah seorang wanita, emosiku begitu besar akan perasaan yang Alif anggap biasa saja.

3 komentar:

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design