Selasa, 01 Maret 2016

Nostalgia: Kalijati dan Segala Rindu di Dalamnya

Ibu menyuruhku membeli kerupuk. Saat itu langit begitu orange. Aku menghalangi pandanganku dengan kedua tanganku yang menutupi area wajahku. Kata ibu, langit sore yang berwarna orang itu membawa penyakit. Aku tundukkan pula kepalaku untuk mengindari warnanya. Warna orange itu terjadi tak begitu lama. Hanya sekiat 5-6 menit saja setiap harinya.
***
Aku ingat, usiaku sekitar 4 tahun waktu itu. Aku tinggal di sebuah desa di Kalijati, Subang. Aku tidak punya rumah dan tinggal menumpang di rumah seseorang yang kusebut Pak De Santo dan istrinya Ndoro Putri. Aku tinggal bersama ibu, ayah, dan kakak perembuanku, Mbak Waryati.
Ibu bekerja mengurusi ternak. Setiap hari ibu mencari rumput ke kebun dan aku menemaninya. Ayahku bekerja keliling kota menjual bohlam. Sementara kakakku baru kelas 3 di SMPN 3 Kalijati. Kami hidup serba pas-pasan. Jika ayah belum pulang dari berkeliling, ibu dan kakakku akan memotong ayam. Pernah pula kakakku hanya makan nasi yang diseduh dengan air panas lalu ditaburi garam. Walau begitu, kakakku pandai di sekolahnya, juga rajin membantu ibu, baik untuk pekerjaan rumah atau mengurusi ternak.
Berbeda jika ayahku pulang. Ayah akan membawakanku susu SGM yang tak jarang aku makan tanpa diseduh terlebih dahulu. “Kalau begitu cara kamu memakannya, dia akan mengembang dalam perutmu dan membuatmu buncit.” Kakakku menakut-nakutiku. Pekerjaan ayah pun tak tentu. Kadang hingga berbulan-bulan ayah tinggal di rumah. Aku sering di ajak ayah ke kebun. Aku menemaninya mencangkul dan juga panen rambutan. Aku ingat, ketika itu sangat terik di kebun. Ayah beristirahat di bawah pohon cengkeh dan aku memberinya teh manis. Teh manis yang sudah tak lagi hangat dan berisi beberapa semut nakal. Ayah tidak membuangnya, namun sengaja meminumnya. Aku pikir, mereka akan berkembang biak dalam perut ayah. Sama halnya ketika aku tak sengaja menelan biji rambutan. Kata ibuku, biji itu akan tumbuh dalam perutku.
Aku sangat senang jika pergi ke kebun bersama kakaku. Setiap pulangnya, aku akan menaiki sebuah sisa pohon (seperti dahan pohon kelapa yang ujungnya lebar) dan kakakku menarikku sepanjang perjalanan. Belum lagi jika kakakku menaiki pohon jambu air. Aku akan menunggunya tepat dibawahnya yang juga terdapat aliran sungai kecil di pinggir sawah. Jambu yang berjatuhan itu aku kejar-kejar seiring dengan aliran membawanya. Intinya, aku senang bermain air ketika itu. Jika aku pergi bersama ibu dan kebetulan membawa itik-itik kami ke sawah, pulangnya aku akan menemukan telur-telur itik yang tertinggal. Juga satu pohon jambu monyet yang lama sekali tumbuhnya. Setiap pulang berkebun, aku pasti akan mengunjunginya.
***
15 tahun berlalu. Langkahku sudah tak lagi di pedesaan. Langkahku berada di kota yang cukup jauh dari Ayah dan Ibu. Ya. Ini bukan hal mudah menjalani kehidupan dari jarak 17 jam pada Ayah dan Ibu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design