Minggu, 06 Maret 2016

Jurnalistik

Cahaya lampu meja menyinari seluruh pekerjaanmu. Perlahan kau mulai duduk dan mengamati coretan di buku berspiral kesukaanmu. Kau mengerutkan dahi. Mungkin kau sedang berpikir akan kelanjutan kisah itu. Tanganmu mengambil pensil dan mulai menulis.
***
Lemari kaca. Di dalamnya berderet gelas-gelas, kotak musik, dan foto keluarga. Kau berada diantara aku dan dia. Kau sedang memeluk buku berspiral.  Kau sangat gemar menulis. Beberapa diantaranya telah kau ketik ulang dan dikirimkan ke media cetak. Tanpa sadar, aku terperangkap ke dalam buku itu. Hembusan angin yang menelusup lewat celah jendela itu sudah tak dapat kurasakan lagi.
Aku memandangimu dari jauh. Kau sedang memperhatikan pria itu dengan tatapan mengintai. Pria itu sedang duduk di depan meja kerjanya. Ditemani dengan segelas kopi hitam dan alunan musik klasik. Sejak 5 tahun yang lalu, ketika ia jatuh cinta pada seorang gadis, dia sangat gemar menulis. Namun, ia jatuh cinta pada wanita yang salah. Hasratnya dalam menulis mulai porak-poranda. Bukan karena gadis itu yang melarangnya, tapi karena dia telah pergi untuk selamanya.
  Kau menghampiriku dengan wajah kebingungan. Lalu meminta padaku sebuah buku berspiral yang sama persis dengan milik ayahmu. Kau mengoyak-oyak tanganku sambil merengek. Aku tetap diam. Namun kau masih terus meminta.
Aku berjalan menuju kamarmu. Kau sedang berbaring dengan sebuah kertas HVS dan menuliskan cita-citamu. Jurnalis. Begitu tulisanmu terbaca. Matamu menangkapku dari celah pintu yang kubuka sedikit. Kau menghampiriku dan kembali meminta. “buku berspiral, Bu. Aku ingin yang seperti ayah miliki.”
Kita berjalan berdampingan. Kau nampak tersenyum bahagia ketika mendapatkan buku berspiral itu. Buku itu menjadi milikmu ketika kau bertemu dengan penjaga toko buku. Kau membolak balikkan lembar demi lembar dan mulai mengukir kalimat padanya.
***
Ayah sudah lama berada di balik dunia itu. Sejak ia jatuh cinta dan berakhir ketika ia patah hati. Tak lama kemudian ayahmu meninggal ketika usiamu 8 tahun. Kau hidup bersama pamanmu, Fikri. Kau anak yang malang, namun keinginanmu sangat kuat. Paman Fikri menyekolahkanmu di sekolah jurnalis Indonesia di Bandung (SJI). Tak lama dari itu kau mulai aktif di dunia jurnalis.
Seperti pagi ini kau terbangun dengan manuskrip yang masih harus kau benahi. Matamu agak sembab lantaran kau baru saja kehilangan sahabatmu. Kau berbisik pada foto di lemari kaca itu, “Aku akan datang bersama calon istriku.”
Kartu pers menggantung di lehermu. Dia berayun beriringan dengan langkahmu. Juga dengan beberapa catatan kecil yang akan menemani pekerjaanmu hari ini. Kau mendengar kabar bahwa seorang wartawati telah meninggal dunia di kamar indekosnya. Kau akan mengungkap kematiannya.
***
Lampu kamarmu belum menyala. Kau belum pulang nampaknya. Aku sudah menunggumu dari sejak tadi pagi kau menutup pintu rumahmu. Aku sudah menyiapkan teh, walau hanya aku sendiri yang bisa merasakannya. Aku pun sudah menyiapkan air hangat untuk kau mandi. Kreek.. Pintu terbuka. Wajahmu begitu kusam dan juga aroma matahari masih melekat pada rambutmu yang hitam lebat. Kau bergegas untuk istirahat. Aku paham, kau pasti lelah dan sedang tak ingin membicarakan tentang calon istrimu.
Pagi ini kau sudah siap lagi dengan baju dinasmu. Aku menaksir tas itu pasti penuh dengan tugas-tugasmu hari ini. Langkahmu kembali terhenti di hadapan lemari itu. Kau menghampiri. Wajahmu sejenak menunduk. Menyentuh pigura dan mencium foto kita. Calon istriku sedang sakit. Pernikahan kami ditunda. Ucapmu. Kemudian langkahmu meninggalkan rumah ini.
Aku hadir dalam buku ini sudah sangat lama. Sejak pertama kali kau menuliskan kisah kita. “Melubangi dada Mama” Tulisan pertamamu di koran. Aku tak mengerti. Padahal, kau sama sekali tak melubangi dadaku. Paman Fikri membiarkanmu hidup mandiri sejak kau bersekolah di SJI. Kau menerimanya sukarela dan menghidupi dirimu dari hasil menulis.
***
“Ibu?” Pertanyaanmu setengah berseru saat pertama kali berjumpa dalam buku berspiral itu. Kau membawakan sebuah karya terbarumu. Kau telaten memajang setiap karyamu di majalah dinding di kamarmu.
“Kau sosok yang seperti apa sekarang? Aku hanya bisa mendengar suaramu.” Katamu pada suatu malam.
“Entahlah.. Aku merasa seperti bidadari yang selalu mengawasimu.”
“Lalu.. Mengapa saat itu aku sangat menginginkan buku ini?”
“Aku tak tahu pasti. Tapi kau selalu meniru kebiasaan ayahmu. Pria yang menurutmu sikapnya sangat dingin padamu.”
Kau terlelap dalam alunan musik klasik. Kau masih manis. Setiap hari, buku itu selalu berisi cerita. Lembar demi lembar terisi. Mengisahkan betapa bahagianya memiliki seorang ayah yang cuek namun ada makna dibaliknya. Anakku Santi, seorang jurnalis.

2 komentar:

  1. agak bingung saya bacanya karena perpindahan tokohnya terlalu cepat. dan juga pengenalan tokohnya kurang begitu subjektif, jatuhnya kyk monolog gitu hehehe

    BalasHapus
  2. Hehehe. Iya mas. Maklum. Tulisan itu belum sempurna :')
    Makasih masukannya hehe :D

    BalasHapus

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design