Rabu, 02 Maret 2016

Semburat dalam Kegelapan


Lasmi. Dia adalah gadis keturunan Sunda-Jawa. Warna kulitnya kuning langsat. Matanya selalu berbinar ketika hujan turun. Bila kau melihat kedalam tatapannya, kau akan merasakan cinta. Laksana embun pagi yang selalu setia membasahi dan lenyap didekap cahaya. Semakin hujan turun, semakin kau mencintainya.
***
Dia duduk menatap bayang yang semakin memburam dibatas hari. Garis jingga yang semburat ke arahnya, kini hanya bersisa sebuah kegelapan. Alunan khas penghuni malam terdengar nyaring kala itu. Tangannya yang gemetaran menggenggam gagang pintu almunium yang kedinginan. Langkah perlahan mengantarkannya tepat menghadap dunia yang gelap gulita. Ya. Aku masih menunggumu! Ucapnya lantang dalam batin.
Sendiri lagi tergeletak di bangku berbahan bambu. Begitu pemadangan setiap pagi yang terlukis di halaman rumah milik Lasmi. Warga sekitar paham betul akan kesetian Lasmi. Sudah 8 bulan Santo suaminya tidak kembali ke rumah. Matanya yang indah mulai terbuka ketika semburat menyentuh wajahnya yang ayu. Derap langkah gagah terdengar mantap. “Kau kah itu Mas?” Suaranya yang lembut membuat siapapun jatuh cinta. Seharusnya begitu. Namun langkah yang mantap itu mulai menjauh dari balik semak. Ia melongokkan kepalanya seraya menyelipkan rambutnya dibelakang telinga. Sayang, ronanya kini sudah hilang.
Angin malam menelusup celah jendela. Kegelisahan. Belum berani berucap maksud, matanya yang indah menemuinya. Ah sudahlah! “Dinda. Mas ada tugas mendadak. Tadi pemimpin pasukan meminta Mas untuk melawan tentara Jepang. Esok pagi, Mas dan Andi akan berangkat pagi-pagi sekali.” Kasar telapaknya menyentuh lembut jemari mungil Lasmi. “Berapa lama Mas akan pergi?” Genggamnya erat. Senyum tulus mengantarkan keyakinan. “Tidak lama.” Si cantik tersenyum simpul.
Tas besar melekat di pundaknya yang kekar. Langkah tegas Santo membawa serta Lasmi mengantarnya ke depan rumah. Angin menyapa lembut rambut sebahunya. “Mas akan segera pulang. Dinda jangan merisaukan Mas.” Sembari mengusap kepalanya. “Dinda akan setia menunggu, Mas.” Santo menghilang di ujung jalan. Aroma kesunyian mulai tercium. Sangat tajam.
Hari berganti. Santo belum juga datang. Suara radio terus memperdengarkan berita terkini. Tapi tak satu pun kabar tentang suaminya mengudara. Hanya kegelisahan yang menjadi-jadi. “Hanya sebentar. Nanti Mas akan cepat pulang.” Begitu ngiangnya.
Langkahnya melayang. Ia memnayangkan genggaman tangan Santo yang selalu hangat. Lalu dari sudut yang mulai berlinang. Terduduk kembali sendiri di tempat yang baru 1 bulan mereka tempati. Nyaring terdengar perut mulai kelaparan. Namun tak sesuap pun nasi masuk kedalamnya. Pandangnya semakin berkunang-kunang menyambut potret Santo di pelukan.
***
Latihan sudah dimulai sejak kedatangan mereka kemarin. Semua orang bersiap dengan senjata kebanggaannya. Tak terkecuali Santo yang baru menguasai alat perang. Ia begitu bangga membela bumi pertiwi sekalipun harus meninggalkan istri tercintanya.
Hari ini latihan cukup melelahkan. Santo sampai mengigau cukup keras--sangat kelelahan. Esok pertempuran akan di lakukan di jalan Batavia. Andi mulai terlelap walau sebenarnya pikirannya begitu kalut.
Suaranya sangat jelas. Dor.. Dor.. Terlepas dan bersarang di dadanya. Tubuh yang kekar dan kokoh itu tumbang di balik pepohonan. Andi segera menghampiri Santo. Bala tentara yang lain mencoba membalas tembakan. Matanya tertutup. Tangannya memeluk senjata kebanggaannya. Santo selesai di perjuangan ini. “Mohon kutitip dinda Lasmi padamu.”
“Aku memang sempat mencintai Lasmi. Tapi aku sudah merelakannya.” Langkahnya tak karuan. Pikirnya masih pada Santo. Mana mungkin aku menyanding bekas istri sahabatku! Sungguh tak waras! Bukan sekali Andi datang hendak menyampaikan maksud. Namun keberaniannya seketika lenyap. Lenggangnya sudah tak seluas dulu namun masih terdengar gagah. Langkah seorang tentara. “Kau kah itu Mas?” Aku tak sanggup! Langkahnya menjauh dari semak-semak.
Semilir khas pedesaan di pagi hari. Aromanya masih nikmat sampai ke pangkal penciuman. Aku harus mengatakannya! Ya. Aku harus! Kepalnya mengencang. Desa Andi dan Lasmi biasa ditempuh dalam 30 menit berjalan kaki. Langkahnya kini sudah mantap. Instingnya sudah kembali. Terik menyengat melewati celah dedaunan di hutan. Nada merdu bernyanyi menemani perjalan.
Matanya membesar. Di ujung pintu telah berdiri seseorang. Bayangnya jelas sampai kepada ujung pintu kamar Lasmi. Terseok menjemput si pemilik bayang. Matanya berbinar. Degupnya begitu cepat. Tangan mungilnya gemetaran.
“Andi.” Sambil melihat ke balik badannya. “Mana Mas Santo? Dia tidak datang bersamamu?”
Berjalan ke bangku bilik. “Kemari, Lasmi. Ada yang ingin aku sampaikan.”
“Ada apa, Andi?”
“Mas Santo..” Sejenak menarik nafas. “Mas Santo sudah melakukan tugasnnya dengan baik menjaga negara ini.  Begitupun dia sangat mencintaimu.”
“Alhamdulillah..”
“Tapi Lasmi, Mas Santo sudah tiada.” Hujan turun sangat deras.
Hening menyergap. Semua gelap dan berlinang di ke empatnya.
Matanya terpejam namun masih berlinang. Dengan penuh keraguan, tangannya menggenggam telapak Lasmi yang halus. Malam sudah menjelang. Lasmi masih menutup mata. Andi melihat sudutnya menyimpul. “Binar tak hadir saja kau terlihat sangat cantik, Lasmi.” Matanya membuka seketika. Mereka saling menatap dalam kerisauan. Hening kembali.
Bulan berganti bulan. Pikirnya keras teringat satu amanat yang belum ia sampaikan. Beredar kabar bahwa Lasmi mulai depresi. Dahinya mengerut, dadanya sesak. Jemarinya beradu-adu menanti gagang alumunium itu bergerak. Suasana sangat panas padahal pagi masih berteman embun. Warga desa beriringan hendak menanam padi. Senyum ramah bertebaran di mana-mana. Krek. Detaknya semakin tak karuan. Matanya sembunyi di balik pintu.
“Lasmi, kau sudah baikan?”
“Bagaimana mungkin keadaanku membaik Andi?”
Andi berhadapan dengan Lasmi. “Lasmi. Sebenarnya ada pesan Santo yang belum aku sampaikan. Dia meminta aku untuk menjagamu. Aku tak menerima atau menolak permintaannya. Aku serahkan semua padamu, Lasmi.” Suaranya merendah.
Lasmi tak begeming.
“Aku tak ingin menganggu. Sungguh. Ini pun bukan cerita kita yang dulu pernah terukir indah. Bukan. Ini hanya permintaan seorang sahabat.”
“Aku tak bisa, Andi.”
“Baiklah. Tapi jangan sungkan padaku jika kau membutuhkanku.”
Mundur dan semakin jauh. Dipandanginya pundak yang dulu pun pernah menjadi sandarannya. Ucapnya tertahan tak sampai ke udara. Hujan berderai lagi. Langkahnya sempat terhenti dan ucap Lasmi hampir keluar. Andi! Teriaknya dalam hati. Langkahnya kembali berlalu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design