Minggu, 06 Maret 2016

Ketika Pohon Itu Masih Bertahan

Aku berjalan melintasi pagar-pagar bambu milik tetangga. Semua bangunan masih utuh dan khas tanah Jawa, tepatnya Jawa Tengah. Tepat di depan rumahku adalah rumahnya Supri, teman kecilku dan juga anak dari bibiku. Rumahku tak berubah sejak terakhir kali aku berfoto bersamanya. Juga dengan sebatang pohon berbunga merah yang masih lekat di hadapannya. Pohon Caliandra. Begitu warga sekitar menyebutnya sebagai pohon yang tak berguna. Namun ibu selalu merawatnya hingga kini batangnya dapat setengah kupeluk.
Hujan sedang turun menemani perjalananku yang kelelahan karena jalan menuju rumahku menanjak. Aku merasakan nafasku ngik-ngik ala ibu-ibu berusia 60 tahun. Aku menatap pada pohon itu dengan seksama. Seperti biasanya aku merasakan seolah gugur daunnya menyambut kedatanganku. Setiap 1 tahun sekali aku akan pulang menemui ibu dan membawakannya manisan. Wanita itu sedang duduk dengan seikat daun singkong di tangannya yang mulai keriput. Sesekali tatapnya menoleh pada pohon itu dan kemudian berlalu menutup pintu. Tak lama kemudian pintu itu terbuka lagi dan kini tatapnya menangkapku lekat.
“Kau sudah pulang.” Nadanya tak jelas bertanya atau menyatakan.
Lalu ia menghampiri lagi pohon Caliandra itu seolah mengajaknya berbicara. Ucapan ibu pun berlalu seperti angin yang menerpaku yang mematung sedang menatap pada Caliandra.
“Bu, mengapa bunga Caliandra masih menguncup? Apakah lebah tak datang untuk membangunkan mereka?”
“Lebah sedang tidur panjang jika musim hujan seperti ini.”
“Bu, esok aku akan melakukan penelitian pada Caliandra. Terutama pada daunnya.”
Ibu tak menjawab dan langsung merangkulku masuk ke dalam.
Aku menatapi Caliandra dari balik jendela. Dia melambai-lambai diterpa angin di kesenjaan. Aku ingat perkataan ibu soal Caliandra yang menurut banyak orang hanyalah pohon yang tak berguna. Ibu bercerita padaku bahwa daunnya pernah menyembuhkan ternak yang sakit. Ketika itu ibu sedang kebingungan dengan ternak yang tiba-tiba menurun nafsu makannya. Ibu mengambil beberapa helai daun Caliandra dan memberikannya pada ternak-ternak. Esok harinya, ternak-ternak itu sudah kembali normal dan mau makan seperti biasa.
Ayam membangunkan kami di subuh hari. Dingin menyentuh kulitku dan membangunkan bulu tanganku. Kutengok Caliandra masih tertidur karena mentari belum menyentuhnya. Hingga cahaya mentari berpendar kearahnya dan daunnya mulai gagah berjejer rapi. Sepagi ini ibu sudah pergi ke gunung untuk memeriksa air yang belakangan ini macet. Di desa kami, sumber air bersih berasal dari gunung. Namun, beberapa waktu ini air tidak mengalir. Aku diamanahi ibu untuk memasak dan membereskan rumah. Pagi itu, aku ditemani bayang Caliandra yang sampai ke teras rumah.
***
Setahun kemudian ketika aku pulang ke rumah, aku melihat Caliandra mulai keriput. Daunnya pun nampak tak lebat seperti terakhir kali aku melihatnya. Aku menatapnya kosong hingga terbawa suasana. Dulu, di bawah pohon Caliandra, Ibu, Aku, dan Ayah selalu berkumpul menikamati sore hari  dengan bercerita kejadian ‘unik’ di hutan. Kini, setelah Ayah berpulang ke Rahmatullah, Ibu selalu memandangi pohon itu dengan mata berkaca-kaca. Kadang, ibu duduk di bawahnya sendirian sambil menatapi daun Caliandra yang dihembus angin.
“Kau merindukannya? Caliandra berdaun rimbun?” Ucap ibu memecah keheningan.
“Ya Bu. Aku pun sedang merindukan Ayah.” Ucapku terlontar tak sengaja mengorek kesedihan.
“Bu, mengapa daun Caliandra mulai habis? Apakah selama aku pergi, ia terserang hama?”
“Tidak, Nak. Beberapa orang di desa memintanya untuk dijadikan obat. Setelah penelitianmu berhasil membuktikan manfaat Caliandra, warga desa banyak yang berdatangan kemari untuk memintanya.”
Ya. Di desaku, hanya Ibu yang memiliki Caliandra. Musabab Caliandra sempat dipandang sebelah mata. Lebih membuatku tak mengerti, Caliandra hanya bisa tumbuh di halaman rumahku. Aku berlalu bersama ibu dan meninggalkan Caliandra yang kesepian.
Caliandra sudah tua. Dia sudah menemaniku sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. “Caliandra akan membuatmu bahagia.” Begitu pesan Ayah sebulan sebelum ia meninggal. Warga sekitar sempat ingin menebang Caliandra. Namun ibuku bersikeras ingin mempertahankannya. Terlebih tempat itu memiliki sejarah di dalam hatinya. Bahkan ibu sampai menelponku untuk segera pulang karena Caliandra terancam mati. Karena aku sedang berkuliah di program studi budidaya tanaman. Ibu yang memintaku mengambil konsentrasi itu. “Nanti kau bisa membudidayakan Caliandra kan, Nak?”
Ibu semakin rentan. Kini ia sering batuk-batuk. Kata ibu, itu hanyalah penyakit orang tua. Aku memandangi Caliandra. Barang kemungkinan ia bisa menyembuhkan ibu. Aku melakukan riset pada Caliandra dan dihubungkan dengan penyakit ibu. Hasilnya menunjukkan bahwa Caliandra bisa menyembuhkan ibu dalam waktu 1 minggu. Aku tersenyum dan lekas kembali ke rumah untuk memberikan obat yang sudah kuramu.
Hujan tidak turun. Angin pun tidak berhembus lantas menggoyangkan daunnya yang bersisa. Kudapati pintu tertutup rapat. Lampu teras masih menyala tak biasanya. Aku memasuki rumah seperti biasa. Tiba-tiba udara dingin menyergapku. Aku khawatir dengan keadaan ibu dan lantas mencari ibu di kamarnya. Ibu berselimutkan sarung milik Ayah. Mungkin ibu sedang merindukannya. Aku tersenyum melihat wajah damai yang tertidur pulas. Kutinggalkan stoples berisi obat untuk ibu di sebuah meja di kamarnya.
Matahari tepat berada di atas kepalaku. Aku sudah merapikan rumah dan menyiapkan makan untuk aku dan Ibu. Aku masih belum mendengar suara ibu hari ini. Kuhampiri lagi ibu yang kala itu masih tertidur. Aku mendekat dan mengusap tangannya yang selalu terasa hangat. Dingin! Dingin sekali. Kali ini aku merasakan dingin tangan ibu untuk pertama kalinya. Aku mendekatkan telunjukku dengan gemetar pada hidungnya. Tak ada udara yang berhembus. Aku terduduk lemas tak mempercayainya. Toloong!!
***
Kebahagiaanku direnggut waktu. Semua nada yang terdengar indah tinggal hanya nada yang berhembus kesepian. Aku menatap Caliandra yang masih berdiri dengan sisa daun di tangkainya yang kokoh. Cahaya berpendar. Esok adalah hari penghargaan untukku. Aku lulus dari Universitas tanpa senyum tulus Ibu dan Ayah yang mekar. Aku berderaian air mata dalam kesunyian.
Aku berhasil membudidayakan Caliandra. Ilmu yang kudapat, cukup membuat Caliandra hidup di halam rumahku yang baru. Aku memilih mengasingkan diri di sebuah desa yang jauh dengan rumah. Namun sesekali aku mengunjungi Caliandra yang semakin tua di depan rumah lamaku yang tak terawat. Aku duduk sendiri menatapi Caliandra yang memekarkan sebuah bunga berwarna merah. Aku melihat padanya dengan seksama. Memperhatikan 3 putik yang hadir di sana. Aku membayangkan kami sedang bercerita di sana. Namun yang kudengar hanyalah kesunyian.
Aku melangkahkan kaki tak merasakan gravitasi. Aku tersandung dan mengeluarkan darah di lututku. Seorang pemuda datang kepadaku dan menguyah daun Caliandra. Ditempelkannya pada lukaku. Aku tak mengenal siapa pria itu. Tapi, senyumnya begitu indah di sebuah kesenjaan yang kurasa sangat dramatis.
***
Aku menikah dengan pria itu. Namanya Seno. Dia membuatku percaya bahwa ibuku tak pernah marah karena aku terlambat memberinya obat. Dia memintaku untuk terus melakukan riset pada Caliandra. Kali ini pada bunganya yang cantik. Seno hadir dan mengisi kekosongan dalam hatiku. Sejak Ibu pergi, tak ada yang mampu membuatku tersenyum selain, Seno. Seno pun membantu risetku karena ia memiliki minat yang sama pada tanaman. Lebih tepatnya, Seno adalah kakak tingkatku yang sudah lulus 3 tahun yang lalu.
Halaman rumahku semakin berwarna. Kini Caliandra dapat menghasilkan bunga berwarna kuning dan biru. Aku memiliki anak kecil berusia 4 tahun. Listi namanya. Ia selalu mengajakku bermain di bawah pohon Caliandra. Listi selalu bertanya mengapa ia merasa bahagia ketika sedang duduk di bawah pohon itu. Aku pun tak mengerti mengapa ucapan itu bisa terlontar dari mulut anakku. Aku tersenyum dan menunjuk  satu warna pada bunga Caliandra.
“Listi suka warna biru kan?”
“Iya. Listi sangat suka.”
“Itulah mengapa listi bahagia. Esok, ibu akan menghadirkan warna oranye di pohon yang baru ditanam ayah.”
Listi memelukku.
Aku melihat, Seno sedang menatapi pohon terbarunya. Aku mengampiri dan mematung di sampingnya. Matanya melirik lalu tersenyum.
“Ia akan hadir di sini.” Ucap Seno.
“Siapa?”
“Caliandra yang kita sukai.”
“Bukankah kita memang sudah menghadirkannya di sini?”
“Caliandra milikmu sewaktu kecil. Caliandra yang akan sama besar dengan yang ada di rumahmu yang lama.”
Aku tak bergeming,
Awan memanggil hujan. Sudah beberapa hari ini cuaca tak menentu. Beberapa Caliandra di depan rumahku mati. Kecuali Caliandra milik Seno. Ia masih kokoh walau diamternya baru 5 cm. Seno menirukanku memandangi Caliandra dari balik jendela. “Ia akan baik-baik saja.” Bisik seno.
“Seno.”
“Ya?”
“Mengapa kau melakukan ini? Menghadirkan Caliandra itu di halaman rumah kita?
“Karena aku ingin kau selalu bahagia. Senyummu selalu mengembang ketika bunga itu mekar.”
“Terimakasih, Seno.” Ucapku terbawa angin.

***
Caliandra. Mengapa kau pernah kesepian? Dan mengapa kini kau gugur lagi? Aku sudah lama mencintaimu. Bahkan sejak aku masih SD. Kau pun selalu mengingatkanku pada orang tuaku. Hembusan angin belum memekarkan bunga. Apakah kau akan hanya mekar jika kumbang datang?
Caliandra. Pada akhirnya mereka akan menyadari kekuatanmu. Kau yang dipandang sebelah mata kini banyak dicari-cari. Semua ucapan memujimu, Caliandra. Jika hari ini kumbang tak bisa membuatmu jatuh cinta pada alam, bisakah setidaknya kau jatuh cinta padaku? Bertahan untukku, Seno, dan juga Listi.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design