Kamis, 10 Maret 2016

Sebuah Upaya


Ini tentang upaya membangun sebuah kebiasaan. Menulis namanya. Aku rasa, terdengar mudah bila hanya untuk mengetik atau membuat manuskrip. Nyatanya, ide-ide itu tak jua muncul ketika telah lama menatapi layar netbook yang cahayanya sudah aku redupkan. Aku ingin menulis agar aku abadi di dalamnya. Lebih abadi dari sebuah luka yang telah lama terpendam dan tak bisa dilupakan. Bukan karena tak ada hal yang lebih penting dari sekedar melupakan kenangan pahit. Tapi waktu belum mengizinkan luka itu disapu oleh kebahagiaan.
Menulis bebas katanya. Begitu orang bijak mengatkan ketika kita sedang tidak punya ide untuk menulis. Hal tersebut sudah menjadi hal umum selain ampuhnya sebuah pengalaman pribadi.
Ini tentang sebuah kegalauan. Boleh kan seorang penulis galau? Tentu saja boleh. Apakah terlalu banyak ide di kepala ini? Atau kalimat indah dan motorik masih belum bertemu tepat? Aku masih saja sebuah kata yang tak ingin aku biarkan bersarang di dalamnya—bingung.
Kadang aku merasa, waktu sedang mempermainkanku. Perihal menulis ini sungguh sangat krusial. Karena terlampau krusial-lah semuanya serba menyeramkan. Takut-takut yang ditulis itu tidak seindah yang dibayangkan. Kan memang begitu. Yang terencana saja bisa berntakan. Ekspektasi kadang berbalik dengan realita.
Jadi, apa maksudnya tulisan ini? Tentulah perkara waktu. Ia adalah paten tidak bisa diulang. Hanya diratapi dan masihlah sebuah kenangan. Jika ini adalah waktumu untuk mengabadikan diri, maka lalukanlah. Sekalipun menuliskan sebuah kata itu sangat sulit. Seperti halnya saat aku menulis untaian yang entah apa. (*)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design