Jumat, 04 Maret 2016

Pelangi

Aku datang membawa kerinduan yang tertunda. Kulalui jalan yang masih sama seperti dulu--jalan berbatu dengan bunga sepatu di sepanjang jalan. Pria dengan celana hitam panjang sedang duduk di tengah pintu. Memangku sebuah kertas yang aku rasa masih suci. Mungkin ia tak takut apabila jodohnya kembali lagi kerumhanya lantaran ia menghalangi pintu masuknya. Ya, karena ia mungkin sudah berkeluarga. Aku langkahkan kakiku mencoba gaduh. Liriknya sempat menangkapku, namun ia terlepas lagi dan memilih selembar tak berdosa di pangkuannya.

Aku memanggilnya Mas Salim. Usianya terpaut dua tahun denganku. Dia kakak kelasku yang pandai berpuisi ketika aku masih SMA Dulu, kami selalu memandangi langit senja bersama. Memuisikan alam, angin, dan hujan.

Wangi tubuhku khas ala gadis desa. Warna kulitku, baju kebaya yang kuikat ujungnya pun sudah sangat menyerupai gadis desa. Tinggal logatku yang--sunda sekali. Orang berlalu-lalang melintasi rumah nenekku. Beberapa diantaranya melempar senyum dan menanyakan kabarku. Aku mengerti yang mereka katakan. Karena itulah aku menjawabnya, walau dalam bahasa Indonesia.

Pukul 09:00. Nenek dan kakeku baru saja datang dari mencari pakan ternak. Aku ingin sekali ikut ke 'alas'. Barang mungkin aku bisa bertemu dengan nada yang indah di sana. "Nanti kulitmu yang halus bisa tergores ranting." Itu ucap nenek saat aku ingin pergi.


Langkah damai di sore hari membawaku ke sungai Serayu. Kata ibu, sungai itu 'dihuni' oleh sosok pria tampan. Ia akah hadir selepas hujan bersama pelangi yang bersembunyi dibalik gunung besar yang entah gunung apa namanya. Aku duduk menunggu hujan. Di sebuah gubuk tua bersama pencahayaan kecil dari handphone-ku. Keadaan di sini cukup berbeda. Di pinggir sungai aku melihat sebuah batu tertata bersama batu kecil yang biasa aku duduki Ketika SMA. Hari mulai gelap. Hujan mulai menemani. Alam pun memberikan pertanda dari sebuah rintikan yang teratur menyentuh bumi. Warnanya perlahan semakin jelas. Namun mataku masih kabur menatap warna yang tercipta pasti. Me-ji-ku-hi-bi-ni-u. Begitu warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu terbentuk.

"Hai. Boleh duduk di sini?" Begitu ucapmu mengangetkanku. Aku jelas terperanjat dan meng-iyakan permintaanmu. Kau membawa selembar yang aku pikir, ia masih suci. Dan benar saja ia masih suci. Aku tampak kikuk. Melihat pemandangan yang hampir sempurna bila kau ada di sampingku. Belum lagi degup jantungku yang seharusnya baik-baik saja. Seharusnya.

Menunggu hujan? Ah tidak. Jangan seperti itu. Mmm.. Mencari inspirasi? Oh dia pasti akan mengatakan aku sudah menciptakannya.

Aku sedang menunggu suara lembut milik, Yunita. Begitu ucapmu seakan bisa membaca pikiranku. Aku meringis. Ternyata kau masih mengingatku. Hujan mulai reda namun sisanya masih kebimbangan. Suara alam mulai tetdengar jelas. Kau menutup telingaku dengan headphone putihmu. Aku menatapmu. Kau tak suka bunyi jangkrik. Begitu mulutmu terbaca.

Angin menerpa kita. Kau menutup mata seolah menikmati setiap sentuhannya pada tubuhmu yang hanya dibalut dengan sebuah kaos berwarna putih. "Kenapa kau masih tak bernada?" Aku melepas satu penutup telingaku. Memastikan apa yang baru saja kau ucap. "Mengapa kau masih tak bernada?"

Aku menarik napas dalam.

Wangi angin..
Padang rumput di sore hari..
Sampaikan.. Salam.. Gembira..
Hal yang menyenangkan hati,
Banyak sekali bahkan kalau kita bermimpi.
Sekarang ganti baju, agar menarik hati,
Ayo kita mencari teman.

Begitu lagunya. Lagu yang membuat kita bersama dan saling mengingat sampai kini setelah 5 tahun kita berpisah.

Suaramu masih merdu. Khas anak kelas 2 SMA. Ucapmu memecah kesunyian setelah beberapa menit kita menutup mata. Aku ingat. Kau selalu mengatakan itu setelah aku bernyanyi lagu kesukaan kita.

Kau masih berpuisi? Ucapku kemudian. Kau mengangguk malu dan memberikan aku selembar kertas berjudul Alam dan Kesedihan. Puisi itu ditulis pada tanggal 12 Juni 2010. Tepat saat kepergianku ke kota rantau (baca: Bandung)

Aku selalu datang kemari untuk menjaga pangeranmu, pelangi, dan juga senja yang kau cintai. Aku pun mengenali bunyi sepatu yang kau hentakkan sepanjang melintasi rumahku. Ucapmu kemudian.

Aku menyimpan kebahagiaan. Rasanya hampir meletup-letup seperti pop-corn. Apakah itu berarti dia masih menyukaiku?  Hei! Dia sudah berkeluarga. Mana mungkin dia menungguku.

"Apa kau mengira aku susah menikah?" Lagi-lagi kau membaca pikiranku. Aku menunduk dan mengiyakan pertanyaanmu. "Aku sengaja menjaga pintu rumahku agar tak ada yang bisa memasukinya selain dirimu." Aku semakin gila.

Dia hilang. Pelangi itu mungkin sudah terbawa angin. Warnanya tinggal pemandangan langit sore. Tawa kita memenuhi alam yang kesepian. Sampai kau berkata, " Bolehkah kujadikan kau bidadari yang akan hadir menggantikan pangeran ketika pelangi muncul? Dan bisakah aku menjadi pangeran di duniamu yang sepi?"

2 komentar:

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design