Jumat, 04 Maret 2016

Kelabu

Langit cerah. Wangi angin sore di padang rumput hijau aroma kebahagiaan. Seharusnya begitu. Lantunan musik saja masih terdengar merdu. Hingga kau hadir dengan wajah dipenuhi kesedihan. Kau menunduk beserta selembar kertas di tanganmu.
Aku mendengar bahwa kehidupanmu akan berubah. Begitu kau sering mengulang kata itu: berubah. Aku pun sadar betul dengan arti kata itu. Kau mulai berubah dari semua sisi, termasuk perhatianmu yang akhir-akhir ini tak ada lagi di hariku. Novel yang kubaca bahkan tak membuatku emosi dengannya. Semua mulai terasa—hambar. Cerita yang berulang terjadi, kini hanya kenangan. Kau berjalan ke barat dan aku tak mengikutimu.
Rupanya kau sedang berbahagia. Alam memberiku kabar bahwa kau sedang bersama duniamu yang baru. Kau berseda gurau dengannya. Aku berjalan tepat melewati batang hidungmu dan kau tak melihatku. Apa kau berpikir bahwa aku adalah angin lalu? Yang hanya melintas lalu menghilang.
Aku baca berkali-kali kisah yang pernah terukir di buku bersampul biru. Warnanya begitu bahagia. Terlebih dengan kedekatan kita—pada awalnya. Hingga kini semua itu hilang. Aku menerka-nerka akan apakah yang membuatmu berpaling begitu mudahnya?
Bukan angin lalu. Mungkin aku adalah detik yang berjalan kebelakang. Mencari-cari sisa kenangan untuk aku kenang atau aku simpan dalam ingatan. Rasanya pahit—begitu banyak orang mengatakannya. Namun aku tak ingin melupakan itu dengan mudahnya, belum lagi tulisanmu yang berterbangan di sosial media. Semua terasa nyata. Seperti awal ketika kita—sedang jatuh cinta.
Apakah aku terlalu mencintaimu? Rasanya sungguh berat ketika semua nada, detik yang pernah berlalu, dan genggaman yang hangat itu kini sudah tak berarti lagi. Aku begitu berharap bahwa sore itu aku tak bertemu denganmu jika kau akan pergi pada akhirnya. “Stasiun kereta api: ada yang naik dan ada yang turun.” Lalu, mengapa kita tak berjalan bersama saja?
Rinai itu mengingatkanku kepadamu. Semua hal yang kutemui mengingatkanku kepadamu. Aku mempertanyakan pada waktu, apakah kau sudah melupakan itu semua? Apakah semua itu sudah tiada artinya lagi? Aku ingin lekas meninggalkan perasaan ini. Seperti halnya kau yang kini sedang bahagia dengan duniamu. Namun itu lagi permasalahannya. Aku—terlalu mendambakanmu. Dongeng indah tentang dinda dan kanda yang kita ciptakan, masih aku rasakan. Walau mungkin kini kanda sudah tiada.
Aku, Alinda. Hidupku kelabu sejak kau meninggalkanku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design