Sabtu, 05 Maret 2016

Aklimatisasi Hati

Aku melintasi jalan itu seperti biasa. Alunan klasik menelusup lewat headphone merah jambu. Langkahku lambat seperti biasa. Menikmati pagi yang masih berbau embun. Firasatku tiba-tiba bertabrakan dengan pagi itu. Apa ini? Bau kenangan? Aromanya sangat lekat di depan penciuman. Warnanya pun begitu khas masa lalu—hitam putih dan abu-abu. Aku tak tahu apa yang membuat langkahku menemui detik yang dulu pernah kulalui bersamanya. Mungkin karena puisi dan juga bahasa indah.
Aku melihat kau sedang menatap langit yang mulai gelap. Bahasamu lebih santun dari terakhir pertemuan kita. Kujabat tanganmu dan kulempar senyum seperti biasa. Jadi, kau masih menulis puisi? Ungkapku melihat selembar kertas bertuliskan senja. Kau hanya tersenyum pada alam lalu menulis kata selanjutnya, indah—senja yang indah.
Ini akan menjadi pandangan buruk. Anak kiyai Rosidin belum kembali ke pondok di senja seperti ini. Begitu katamu menyapaku di kesenjaan. Kita langkahkan langkah kecil-kecil menuju taman yang dikerumuni banyak orang. Setidaknya kita tidak hanya berduaan saja. Begitu lagi ucapmu membela keadaan.
Kita sudah menunaikan solat. Kutemukan wajahmu bercahaya. Aku kira itu adalah efek lampu penerangan jalan. Kau membawaku menuju pinggiran jalan di mana orang-orang berlalu-lalang. Mulutmu masih terkunci rapat. Sementara aku terus memikirkan kalimat apa yang paling baik untuk menyudahi pertemuan itu. Wajahmu masih terlihat bahagia. Kulihat sudah 1 bait kau menulis syair itu. Kau yakin masih ingin di sini? Pertanyaanmu mengetuk keras pikirku. Aku memang ingin pulang tapi—aku menunggu kalimat yang ingin aku dengar.
“Kau tahu, aku bermimpi tentang diriku sendiri. Itulah yang membuatku memintamu untuk hadir di sini—di antara syair yang akan tertulis. Aku melihat diriku berjalan sendirian, tanpa arah maupun tujuan. Aromaku khas keputusasaan. Tatapku berkunang-kunang memandangi deretan lampu kota berwana kuning. Angin malam semakin menekan mataku. Pun dengan alam yang menurunkan hujan. Hujan yang menurutku tidak menyejukkan sama sekali kala itu. Langkahku sampai pada jembatan tua. Aku dengar jembatan itu sangat bersejarah. Konon—di sana adalah tempat Dewi Kelana membunuh dirinya sendiri. Bagi siapa saja yang melintasi jalan itu dengan perasaan patah hati, Dewi Kelana akan hadir dan menyembuhkan lukamu. Aku tak merasa patah hati saat itu. Tapi langkahku terus menju ke jembatan itu.” Aku menyimak perkataannya dengan seksama.
Ketika aku sampai di jembatan itu, aku tak menemukan siapapun di sana. Hanya angin malam yang semakin menekan, juga rinai yang kini berinai-rinai. Aromaku semakin tak karuan, antara kegelisahan juga ketidakserasian. Aku tinggal di sebuah pesantren. Di sana aku mengagumi sosok wanita yang sangat anggun. Mimpiku mengatakan bahwa wanita itu bernama Dewi, anak pak Kiyai Rosidin. Aku tercengang dan semakin penasaran.
“Mimpi itu belum berakhir. Hingga langkahku terhenti di ujung jembatan. Jembatan yang saat ini sedang kita duduk dan kuceritakan mimpiku.” Aku menghela nafas panjang mempersiapkan konsentrasiku. “Lalu hadir cahaya yang sangat terang menjemputku dan aku terbangun dari mimpiku. Kemudian aku menuliskan cerita tentang Dewi, yang katanya adalah anak Kiyai Rosidin. Sejak itu aku mencari alamat pesantren Daarul Madani dan memutuskan untuk tinggal di sana.”
Aku berkedip-kedip penasaran akan arti mimpi itu. Padahal aku dan dia memang sudah asling mengenal sejak dulu. Apa maksudnya dengan mencari tahu tentangku? Bahkan jika boleh diulang—dia adalah mantan kekasihku—dulu sekali saat aku baru mengenal lawan jenis. Begitu pun dia yang mengakhiri hubungan kami lantaran keyakinannya pada aturan islam yang mengharamkan pacaran.
Langit mendung tak karuan. Angin bukan lagi menekan, mungkin ia menusuk. Beberapa orang melintasi kami dengan tatapan aneh. Tentu saja aneh. Kami—aku yang berkerudung panjang sedang duduk dengan pria berpeci. Atau mereka berpikir bahwa kami sudah menikah? Aku mulai sadar bahwa larut sudah sangat dekat.
Kau melirik pada jalanan yang mulai sepi. Begitu pun aku merasakan sunyi mulai meliputi keadaan. Aku berdiri dan mengucapkan salam. Dia mengangguk dan mengatakan bahwa esok akan datang menemui ayahku. Nadanya menekan ketika ucapannya adalah “Ayahmu”.
Bersambung

0 komentar:

Posting Komentar

 

Kartini Nurhasanah Template by Ipietoon Cute Blog Design